Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RS | Part 7

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kita hanya pemeran dalam sebuah tayangan, yang jalan ceritanya sudah Allah rancang dengan sangat matang."

Rintik Sendu
by Idrianiiin

SEMUA Pasang mata menatap takjub dengan keindahan serta kemewahan gedung, di mana sebentar lagi akan berlangsungnya acara akad nikah. Tempat yang memiliki kapasitas lebih dari 1000 orang itu penuh sesak oleh tamu.

Berbagai macam hidangan tertata apik dan siap memanjakan lidah para tamu undangan yang hadir. Hiburan khas kesenian Jawa Barat pun ikut meramaikan.

Setelah penantian panjang, akhirnya Hamzah akan segera melepas lajang.

"Ham persiapkan diri sebentar lagi ijab kabul," ujar Anggi saat memasuki ruangan khusus untuk mempelai pengantin pria.

Hamzah yang saat ini begitu tampan dan gagah dengan balutan beskap mengangguk singkat.

"Enggak usah tegang gitu, gugup banget kamu kelihatannya," ujar Anggi sedikit terkekeh.

"Wajar kalau Hamzah merasa seperti itu, lagian ini kali pertama untuknya. Kamu sudah hapal, kan, Ham kabulnya? Jangan sampai salah," timpal Lingga.

"Insyaallah, Yah. Za di mana?"

"Sama Zanitha, lengket banget anak itu kalau sudah ketemu," sahut Lingga.

Hamzah mengangguk setuju. "Maklum ibunya, kan juga kayak gitu. Jadi nurun ke anaknya."

"Malah bahas istri orang, lupa kalau hari ini status kamu akan berubah jadi suami Hanum, Ham?! Ayah juga malah bahas perempuan itu. Kayak nggak ada hal lain yang lebih penting saja!"

Lingga dan Hamzah saling berpandangan lantas kompak mengembuskan napas berat. Mereka tak habis pikir dengan Anggi yang sekarang jadi tidak menyukai Zanitha, padahal dulu dia sangat dekat dan begitu berambisi untuk menjadikan perempuan itu sebagai menantu.

Hati manusia memang tidak ada yang tahu.

Dentingan gawai mengalihkan sedikit ketegangan yang terjadi. Dengan segera Hamzah melihat pesan masuk tersebut.

Hanum Mudrika

Maaf, A Hamzah aku nggak bisa melanjutkan pernikahan.

Tubuh pria berusia 35 tahun itu menegang di tempat. Dia sama sekali tak bergerak, tapi gemuruh di dada bergejolak hebat.

"Kenapa, Ham?" tanya Lingga keheranan.

Telinga Hamzah seolah disumpal, dia sama sekali tak mendengar pertanyaan sang ayah. Otaknya melanglang buana entah ke mana.

"Hamzah!" serunya lagi. Untuk kali ini dibarengi dengan tepukan di bahu sang putra.

Hamzah memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut terlebih dahulu. Dia menatap Anggi dan Lingga secara bergantian, otaknya berpikir keras untuk memilih kosakata yang layak.

"Pesan dari siapa, Ham?" Kini Anggi pun ikut angkat suara.

Hamzah kehabisan kosakata, dia hanya mampu menunjukkan gawainya pada sang ibu. Tubuhnya langsung lemas dan terduduk di kursi.

"Hanum membatalkan pernikahan," gumamnya antara percaya tidak percaya.

Anggi histeris dibuatnya, bahkan wanita yang sudah tidak muda lagi itu sampai limbung hingga hilang kesadaran. Dia pingsan.

Lingga berusaha untuk tetap waras dan tenang, dia membopong tubuh sang istri dan direbahkannya di sofa panjang yang kebetulan ada dalam ruangan tersebut.

Setelahnya dia kembali mendatangi Hamzah yang terduduk lesu dengan pandangan kosong.

Suara ketukan pintu menyita perhatian dua pria beda generasi tersebut. Saat dibuka, senyum riang Haleeza yang tengah dipangku Dipta langsung menyambut Lingga.

"Acaranya kapan dimulai, Pak? Penghulunya sudah ada di meja akad, tinggal menunggu Hamzah saja. Apa mempelai pengantin perempuannya ikut dihadirkan dalam acara akad?"

Lingga diam membisu, dia sama sekali bingung harus menjawab apa. Alhasil hanya senyum tipis yang dipaksakanlah yang mewakili.

"Mama Hanum di mana, Opa? Za mau ketemu," oceh bocah kecil tersebut.

Tak kunjung ada sahutan, Haleeza meminta turun untuk menghampiri Hamzah yang tengah termenung.

"Apa ada kendala, Pak?" seloroh Dipta menangkap aura yang berbeda, bahkan sudut netranya mendapati Anggi yang tengah terbaring di sudut ruangan.

"Papa!" panggil Haleeza seraya naik ke atas pangkuan Hamzah.

"Lihat deh, Pa, baju Za bagus, kan? Za cantik, kan?" ocehnya dengan mata berbinar.

Hamzah berusaha untuk mengukir senyum dan mengangguk pelan. "Cantik."

Haleeza mengecup lembut pipi kanan Hamzah. "Za sayang, Papa. Za seneng sebentar lagi punya Mama."

Hamzah langsung memeluk erat Haleeza, dia mencium puncak kepalanya cukup lama. "Za maafin, Papa, ya."

Mata bocah kecil itu mengerjap beberapa kali. Dia bingung sekaligus tak mengerti dengan permohonan maaf yang dilayangkan oleh Hamzah.

"Ham," panggil Dipta seraya menepuk lembut pundak sang sahabat.

Hamzah mengukir senyum tipis lalu bangkit seraya menggendong Haleeza. "Saya titip Haleeza sebentar."

"Za sama Om Dipta dulu ya," sambungnya setelah menyerahkan Haleeza pada Dipta.

"Mau ke mana, Ham?" tanya Lingga saat putranya akan menutup pintu.

Hamzah tak menjawab, tapi senyum lebarnya seolah menenangkan Lingga, kalau semua akan baik-baik saja.

Langkah gontainya terhenti, dia melihat ke sekeliling. Di mana gedung tempat acara sudah dihuni oleh para tamu undangan. Netranya tertuju pada seseorang di tengah kerumunan, seseorang yang diharapkan bisa menyelamatkan wajah keluarganya dari rasa malu.

"Bisa bicara sebentar?" seloroh Hamzah.

Sebuah anggukan dia berikan. Keduanya sejenak melipir ke tempat yang tidak begitu ramai.

"Saya tahu ini pasti terdengar sangat tidak sopan. Tapi ..., apa kamu berkenan untuk menikah dengan saya?"

Mata perempuan itu membulat sempurna. "Bapak gila! Saya datang ke mari untuk memenuhi undangan Bapak. Kenapa sekarang malah Bapak ajak saya menikah?!"

"Calon istri saya tidak datang, dia membatalkan pernikahan."

"Ya terus apa hubungannya dengan saya?!" sengitnya tak terima.

"Hanya kamu perempuan yang saya dan Haleeza kenal. Saya mohon, bantu saya untuk kali ini saja."

"Bapak nggak pernah merepotkan saya, tapi sekalinya meminta tolong malah hendak merepotkan saya seumur hidup. Seenak jidat mempermainkan pernikahan!"

"Saya akan cukupi kebutuhan kamu, saya akan berikan apa pun yang kamu mau. Tolong bantu saya, Hamna."

"Bapak hendak membeli saya maksudnya? Semurah itu harga diri saya di mata Bapak, hah?!"

Hamzah menggeleng kuat. "Bukan seperti itu maksud saya. Saya menawarkan kesepakatan yang sekiranya bisa menguntungkan kamu. Simbiosis mutualisme, kamu bantu saya, dan saya akan jamin hidup kamu kalau bersedia menjadi istri saya."

Hamna berdecak. "Dengan kesadaran penuh saya menolak tawaran, Bapak!"

"Ibu saya pingsan, belum kunjung sadar. Apa jadinya kalau beliau bangun nanti malah mendapati kekacauan ini? Ibu saya ada riwayat penyakit jantung."

"Itu urusan Bapak, kenapa harus menumbalkan saya?!"

"Saya mohon, Hamna, bantu saya untuk kali ini saja."

"Apa susahnya tinggal umumkan kalau pernikahan ini batal? Bapak tidak usah repot-repot mencari pengantin pengganti dan menjebak saya dalam rumitnya hidup Bapak. Saya sungguh tidak tertarik!"

Hamzah mengangguk paham. "Saya mungkin bisa melakukan itu, tapi saya tidak setega itu untuk melemparkan kotoran di wajah orang tua saya. Saya tidak ingin membuat mereka malu atas gagalnya pernikahan saya."

"Putri saya sangat menginginkan sosok ibu, dan saya tidak ingin menghancurkan mimpinya. Apa salah kalau saya ingin membuat ibu serta putri saya bahagia?"

"Tapi kenapa harus saya? Kenapa saya yang Bapak jadikan tumbal? Ada jaminan apa sampai Bapak seberani ini, hah?!"

"Saya tidak bisa menjaminkan apa pun pada kamu, tapi saya akan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Saya akan bahagiakan kamu semampu saya."

Hamna memutar bola mata malas. "Harus Bapak ingat, kalau saya tidak akan semudah itu termakan bujuk rayu duda beranak satu!"

"Kamu menolak saya karena status?"

"Ya Bapak pikir saja sendiri!" ucapnya seraya melangkah pergi.

"Saya belum pernah menikah, Haleeza keponakan saya. Saya single, bukan duda anak satu seperti yang kamu kira," terang Hamzah berhasil menghentikan langkah Hamna.

BERSAMBUNG

Padalarang, 09 November 2023

Ada apaan tuh? 🤣🤭 ... Lanjut nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro