RS | Part 50
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Perubahan drastis pada seseorang kerapkali dicurigai, seolah hal tersebut merupakan tindakan yang patut untuk diwaspadai."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
HAMZAH menghapus peluh yang membanjiri wajah sang istri, bahkan dengan inisiatif dia pun menguncir rambut Hamna agar istrinya merasa lebih nyaman. Dipijatnya tengkuk Hamna dengan lembut dan perlahan, berharap dengan cara tersebut bisa membuat rasa mual sang istri sedikit mereda.
"Saya bantu," tutur Hamzah saat Hamna hendak berjalan dan mencari kursi untuk mendudukkan tubuh lemasnya.
Dia sudah sangat lelah, karena semenjak bangun tidur bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan cairan bening. Belum lagi ditambah dengan rasa pening yang kian menyiksa.
"Saya sudah buatkan jahe hangat untuk kamu, diminum dulu," ungkap Hamzah seraya membantu istrinya.
Hamna hanya meneguk setengahnya. "Sudah, A, cukup."
"Masih mual? Muka kamu pucat banget, Na. Kita ke rumah sakit ya, saya khawatir lihat kamu kayak gini."
Hamna menggeleng lemah. "Nggak usah, morning sickness pasti ini. Kata dr. Sartika, kan lumrahnya wanita hamil akan mengalami morning sickness di trimester pertama, tepatnya enam minggu kehamilan atau pada saat memasuki bulan kedua kehamilan."
"Makan dulu atuh, ya, mau apa?" tanya Hamzah kemudian.
Hamna menggeleng. "Kepala saya pusing, mau tiduran saja."
"Tapi kamu harus makan dulu, Na. Kemarin Mama kasih ayam suwir kemangi, kan. Saya hangatkan dulu untuk kamu ya? Atau mau saya buatkan yang lain? Beli makanan di luar? Mau apa bilang sama saya."
"Saya nggak lapar, Aa."
"Muka kamu pucat, Na, ini tangan kamu juga dingin sama gemetar. Makan ya, sedikit saja, saya suapi?"
"Saya mau yang berkuah-kuah dan pedas, mungkin dengan itu mual saya akan benar-benar hilang."
"Masih pagi sudah minta yang pedas, jangan atuh, Na. Sakit perut nanti kamu, saya buatkan sayur asem mau? Supaya seger."
Hamna hanya mengangguk kecil. "Terserah, Aa."
"Ya sudah kalau gitu kamu tiduran dulu di kamar sebentar, saya mau masak. Nanti kalau sudah siap saya akan bangunkan kamu ya," katanya.
Hamna melirik arloji yang menempel di dinding. "Katanya Aa mau ada seminar ke luar kota, harus berangkat pagi, kan? Telat nanti kalau harus masak dan mengurus saya."
Hamzah membantu istrinya berdiri dan berjalan menuju kamar. "Kamu itu prioritas dan tanggung jawab utama saya, Na. Untuk urusan seminar, bisa digantikan rekan saya dulu. Yang penting sekarang itu, kamu sehat dulu."
"Aa serius?"
Hamzah mengangguk mantap. "Tentu saja, apa sih yang nggak buat kamu, Na. Sudah jangan banyak pikiran, kamu ini lagi hamil muda. Kemarin juga kecapekan, kan habis acara. Saya nggak mungkin setega itu meninggalkan kamu sendirian di rumah."
"Baiknya suami saya yang satu ini."
"Iya, baru nyadar kamu?"
Hamna berdecak pelan. "Baru juga dipuji, sudah melambung tinggi rasa percaya dirinya. Nyesel saya muji-muji Bapak."
Hamzah malah terkekeh. Dengan telaten dia menyelimuti istrinya, lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Beruntung Haleeza memilih untuk menginap di rumah orang tuanya, kalau tidak dia pasti akan semakin kerepotan. Belum mengurus Hamna, ditambah pula harus mengurus Haleeza.
Hamzah terlihat khusyuk memasak, dia benar-benar apik jika sudah berada di depan kompor. Lain hal dengan istrinya, untuk perkara menyalakan kompor saja Hamna masih kerapkali meminta tolong Hamzah karena takut meledak.
Setelah berkutat cukup lama, akhirnya sayur asem dengan dilengkapi ayam goreng pun jadi. Dia langsung membawanya ke kamar, dan menemui sang istri yang ternyata tidak tidur. Malah guling-guling tak jelas di atas pembaringan.
"Makan dulu, Na," katanya seraya membantu Hamna untuk duduk bersandar di kepala ranjang.
Hamzah hendak menyuapi sang istri, tapi ditolak mentah-mentah oleh Hamna.
"Saya bisa sendiri."
"Habiskan ya," ujarnya yang dibalas anggukan kecil.
"Enak, Na? Coba apa yang kurang?"
"Nggak ada kurangnya sih, tapi agak asin dikit."
Detik itu juga Hamzah langsung merampas mangkuk yang ada di tangan istrinya. "Kalau gitu nggak usah kamu makan. Pasti nggak enak, kayaknya tadi saya kurang fokus dan malah kebanyakan kasih garam."
"Nggak papa enak kok, serius," sanggah Hamna lalu menariknya lagi.
Hamzah tidak langsung menyerahkannya, dia lebih memilih untuk mencicipi sayur asem buatannya terlebih dahulu. "Ya Allah, Na, ini bukan agak asin lagi tapi emang asin banget. Sudah, jangan dimakan lagi!"
"Terus itu mau dikemanakan? Sayang kalau dibuang. Nggak papa, saya makan."
"Nggak akan saya buang, nanti saya coba perbaiki lagi supaya rasanya jauh lebih baik. Sekarang untuk sarapannya kita beli ya. Mau apa?"
Hamna menggeleng lemah. "Ada roti tawar, kan? Ya sudah buatkan itu saja, pakai selai cokelat."
"Tunggu sebentar," sahut Hamzah lalu melesat pergi.
Hamna hanya geleng-geleng melihat kegesitan sang suami. Lalu matanya kembali tertuju pada mangkuk sayur asem yang tadi diambil alih Hamzah.
"Lagian ini enak kok, sayang kalau dibuang. Asin sedikit nggak papa, yang penting hasil tangan A Hamzah," celotehnya lalu dengan lahap memasukan suap demi suap sayur asem beserta nasi putih.
Hamzah terperangah saat melihat Hamna sudah menghabiskan makanannya. "Na itu serius kamu makan?"
Hamna mengangguk dan tersenyum lebar. "Enak, saya suka."
"Kamu jangan bohongin saya, itu asin lho."
"Asin sedikit, seimbang kok rasanya, ada manis dan juga asem. Enak, seger, nggak mual-mual lagi saya."
Hamzah geleng-geleng kepala. "Rotinya masih mau?"
"Mau atuh, apa pun saya makan asal Aa yang buatkan," katanya lalu melahap roti tersebut.
Hamzah merasa bingung dengan sikap Hamna, dia sampai meraba kening istrinya untuk memastikan kalau sang istri dalam kondisi baik-baik saja. "Nggak panas kok, Na, tapi kenapa pagi ini kamu aneh banget?"
"Aneh apanya sih, A? Nggak kok."
"Kamu agak jinak, biasanya kalau pagi-pagi kamu sudah kayak singa kelaparan. Buas banget."
Hamna malah tertawa tanpa dosa. "Harus pake jinak dan buas banget nih perumpamaannya?"
"Maaf saya nggak bermaksud untuk menyinggung kamu."
"Ish, apaan sih pake minta maaf segala. Aa nggak salah apa-apa kali."
"Tuh, kan kamu makin aneh!"
"Haleeza kapan diantar ke sini?" tanya Hamna mengalihkan pembicaraan.
"Mungkin nanti sore. Memangnya kenapa?"
"Nggak papa, mau tahu saja. Sini, A duduk samping saya."
Hamzah menurut meskipun sedikit bingung. Dia terkesiap kala Hamna menjatuhkan kepala di bahunya. Kebingungan belum surut, sang istri sudah berulah menarik tangan Hamzah agar mengelus permukaan perutnya.
"Dielus dong, A perutnya. Kok malah ngelamun sih?" tegur Hamna seraya menatap heran Hamzah.
"Kamu aneh, Na. Biasanya juga antipati banget berdekatan sama saya, ini kok malah kamu yang mulai duluan sih. Pake acara nyender sambil elus-elus segala lagi. Kamu sehat?"
Bukannya tersinggung Hamna malah terkekeh. "Ya mau saja atuh, kenapa? Aa merasa keberatan?"
Spontan Hamzah pun menggeleng. "Nggak, Na, saya justru merasa aneh dan janggal. Saya khawatir lihat kamu bersikap kayak gini."
"Saya baik-baik saja, Aa. Dielus lagi atuh perutnya," pinta Hamna tanpa tahu malu.
Hamzah tersenyum samar. "Na kamu kalau lagi kayak gini manis banget, sering-sering saja ya kayak gini. Supaya saya nggak kaget."
"Boleh."
Hamzah membulatkan matanya tak percaya. "Ini kamu nggak ada niat buruk, kan? Atau lagi merencanakan sesuatu? Kamu mau sesuatu ya? Tumben banget manis dan manja gini."
"Kok jadi suudzan sih sama saya."
"Ya, karena sebelumnya kamu nggak pernah kayak gini, Hamna."
"Kalau mulai sekarang dan seterusnya kayak gini gimana?"
"Ehhh, alhamdulilah atuh, Na, alhamdulilah."
Refleks Hamna mendaratkan kecupan singkat di salah satu pipi suaminya.
Hamzah yang mendapat serangan mendadak, seketika kaku dan tubuhnya menegang hebat. Tidak percaya, istri galak dan judesnya bisa melakukan hal seberani itu.
Apa ini nyata, atau hanya sekadar halusinasi semata?
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 12 Desember 2023
Hamzah dibuat planga-plongo sama istrinya sendiri 😂✌️ ... Emang seaneh itu ya kalau Hamna bermanis-manis manja kayak gini 😌
Gaskennn??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro