Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RS | Part 32

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Carilah pasangan yang sepadan agar sikap manja yang kita tunjukkan, tidak dianggap sebagai bentuk kekanak-kanakan."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

HAMZAH membaringkan tubuh di atas lembutnya pasir putih. Dia sama sekali tak terusik saat buih ombak menyapu ujung kakinya. Lain hal dengan Hamna yang berdiri sembari menikmati indahnya matahari yang baru beranjak naik.

Pantai Gili Trawangan memang menyajikan keindahan serta ketenangan.

Dengan cara bertadabbur alam kita bisa meningkatkan keimanan, sebab dengan begitu kita dapat menikmati bukti kemahabesaran Sang Pencipta.

Dengan usil Hamna mengubur tubuh sang suami menggunakan pasir, bahkan dia terkikik geli karena Hamzah belum kunjung menyadari. Mata lelaki itu ditutup oleh tangannya sendiri, atau mungkin malah asik terlelap saking nyamannya.

Hamna duduk di atas tubuh Hamzah yang sudah dipenuhi pasir, hanya kepala dan leher lelaki itu yang terbebas dari keusilan Hamna.

Hamzah sontak membuka matanya, dia terperangah melihat kondisi tubuhnya. "Kamu mau kubur saya hidup-hidup, Na?"

Hamna menjulurkan lidahnya. "Iya, kan lumayan saya bisa mendapat warisan dalam waktu yang cepat kalau Aa wafat."

"Astaghfirullah, itu mulut kamu sembarangan banget."

Hamna malah tertawa tanpa dosa.

"Bangun, Na berat tahu," keluh Hamzah.

"Orang saya kecil mungil begini, bohong banget."

Tanpa aba-aba Hamzah bangkit, hal itu membuat Hamna hampir terjungkal kalau saja tubuhnya tak ditahan oleh Hamzah.

"Kalau mau bangun bilang dong!" dumelnya lalu duduk di sisi sang suami.

"Suka-suka saya, lha."

Hamna hanya memutar bola mata malas.

"Menurut kamu lebih bagus sunrise atau sunset?"

"Dua-duanya juga bagus, emang kenapa?"

"Rata-rata orang lebih menyukai sunset, konon katanya di saat matahari mulai meninggalkan peraduan, di saat itulah keindahan datang. Tapi, saya lebih menyukai sunrise karena menurut saya, sunrise itu sumber pengharapan."

"Kenapa?"

"Sunrise itu sumber pengharapan manusia, di mana orang saling berlomba-lomba untuk membangun kehidupan dunia. Semua orang sibuk bersiap untuk bekerja, dengan harapan bisa memberi kehidupan layak untuk keluarganya."

"Pantas ada istilah kalau bangun kesiangan rezekinya akan dipatok ayam. Mungkin, itu kali yang membuat sebagian manusia hilang pengharapan, ya karena bangunnya pas matahari sudah naik."

Hamzah mengacak puncak kepala Hamna yang kini tertutup khimar berwarna biru dongker. "Makanya kalau bangun jangan terlalu siang."

"Nyelam kayaknya seru, tapi saya nggak bisa berenang."

"Bagaimana mungkin kamu bilang seru, padahal belum pernah merasakannya."

"Saya, kan bilang kayaknya A Hamzah."

"Kamu serius mau nyelam, Na?"

Hamna menggeleng. "Nggak jadi ah, takut tenggelam saya. Mati muda tidak ada dalam kamus saya."

"Emangnya kematian bisa dinego?"

"Nggak bisa sih, tapi ya saya mau maksa sama Allah. Jangan sekarang dulu, mending Bapak yang duluan, supaya saya bisa menikmati peran sebagai janda muda kaya raya. Keren, kan?"

Tanpa ampun Hamzah melingkarkan tangannya di leher Hamna, lalu dia letakan kepala Hamna di bawah ketiaknya. "Ampun nggak?! Jangan ngomong kayak gitu lagi!"

"Iya ..., iya ..., ampun saya doain deh supaya kita panjang umur."

"Nah itu lebih bagus."

Hamna mendongak. "Lepasin kepala saya dong, Pak! Hati-hati nyaman nanti, berabe lagi. Saya nggak mau tanggung jawab."

Hamzah pun menurut. "Lebih enak tinggal di resort ya, Na. Mana akses ke pandai mudah lagi, vibes liburannya berasa banget."

Hamna mengangguk setuju. "Iya, kalau tahu gitu kita nggak usah mampir nginep di hotel dulu. Lumayan itu, kita nginap di hotel tiga malam. Mana diem-diem bae, kayak induk ayam lagi mengerami telur."

"Itu, kan salah kamu, Na, mager banget. Kerjaan makan tidur, makan tidur, bahkan mandi saja malas kalau nggak saya paksa."

"Alah, Aa juga sama kok kayak saya."

"Balik ke resort yuk, Na, makin rame orang. Kurang nyaman saya."

Saat Hamzah hendak berdiri, Hamna dengan gesit naik ke atas punggung suaminya. "Kaki saya pegel, gendong sampai resort, oke?"

"Siasat macam apa lagi ini?! Biasanya paling anti dekat-dekatan, lha ini kamu asal nemplok di punggung saya."

"Seriusan deh, kaki saya beneran pegel dari ba'da subuh kita di sini. Saya lari-larian di pantai, main ombak, main pasir, baru kerasa sekarang capeknya. Iba sedikit, lha sama istri?"

"Tapi ini nggak gratis ya?" sahut Hamzah lalu mengayunkan langkah.

"Iya mau dibayar berapa?"

"Nanti deh saya pikirin dulu."

"Oke!"

Sesampainya di resort, Hamzah bergegas untuk membersikan diri. Lain dengan Hamna yang malah asik ongkang-ongkang kaki seraya menonton telivisi, menikmati camilan yang tadi mereka beli di mini market.

"Mandi, Hamna," titah Hamzah seraya melempar handuk ke arah istrinya, tapi meleset karena Hamna lebih dulu mengamakan diri.

"Dingin, nanti sajalah," jawabnya enteng.

Hamzah duduk di sisi Hamna, lalu ikut menikmati snacks yang memiliki kadar micin cukup tinggi tersebut. "Kamu itu suka banget sih nonton drama-drama romansa. Kenapa?"

"Ya suka saja."

"Pantas hidup kamu banyak drama, Na."

Hamna menatap sengit ke arah suaminya. "Sembarangan banget itu mulut!"

Hamzah sontak mematikan televisi saat ada dua tokoh utama saling berpelukan dan hendak berciuman. "Tontonan kamu nggak mutu banget sih, Na!" omelnya.

Hamna menunjukkan dua jarinya, tanda damai. "Saya mana tahu kalau ada adegan kayak gitu. Serius, saya juga geli lihatnya. Untung tadi Bapak gerecep matiin televisi."

"Kamu nggak lagi bohong, kan?"

"Nggaklah, Pak. Seriusan saya lebih suka nonton romance-komedi yang lebih banyak lawaknya dibanding scene soal cinta-cintaannya."

"Terus tadi itu apa?"

"Ya mana saya tahu, orang baru nonton juga. Itu episode pertama, baru jalan lima belas menit pula."

"Harus jadi penonton yang bijak, Na."

"Iya bawel ih, itu mah kebetulan saja kali. Lagian kenapa juga Aa malah ikut-ikutan nonton bareng saya?"

"Saya bingung mau ngapain lagi."

"Nguras pantai Gili Trawangan gimana? Supaya nggak bosan!"

"Ngaco kamu!"

Hamna tertawa puas melihat wajah kesal Hamzah.

"Kalau besok pulang nggak papa, Na?"

"Kenapa?"

"Hati saya nggak tenang kalau terlalu lama meninggalkan Haleeza."

"Emangnya nggak takut diamuk Ibu Anda apa? Kita pulang sebelum waktunya, mana saya belum ngorek-ngorek tempat sampah buat nyari testpack lagi."

"Sudahlah, Na lupakan soal syarat Mama."

"Sebenarnya saya senang dengan keputusan Aa, tapi saya juga sedih karena secara nggak langsung saya sudah membuat Aa jadi pribadi yang suka membangkang orang tua."

"Kenapa tiba-tiba jadi melow?"

"Bukan melow, tapi saya merasa sudah memberi dampak buruk dalam kehidupan Aa. Hidup Aa, kan lurus-lurus saja, patuh banget sama orang tua. Eh, nikah sama saya malah jadi sering berkonflik sama orang tua."

"Kamu jangan berpikiran seperti itu."

"Saya merasa nggak layak jadi istri Aa."

"Kamu habis nonton drama apa? Kenapa tiba-tiba kayak gini?"

"Saya serius, Pak, nggak lagi bercanda."

"Saya takut kalau kamu kayak gini, Na," cetus Hamzah.

Hamna terdiam, dia menatap lekat mata Hamzah yang menyorotkan kebingungan.

"Kenapa kamu lihatin saya sampai segitunya?"

"Oke, cukup," katanya beberapa detik kemudian.

"Apanya yang cukup?"

"Nggak, saya hanya ingin memastikan sesuatu."

"Apa?"

Bukannya menjawab, Hamna malah melengos begitu saja meninggalkan Hamzah dengan segudang tanda tanya.

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 28 November 2023

Hamna itu anaknya emang random banget 🤣😂 ... Harus pake telepati untuk bisa membaca isi pikirannya 😅🤭

Masih mau digasskeun?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro