RS | Part 19
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jodoh itu datangnya secara tiba-tiba, dan dari arah yang tidak disangka-sangka."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
HAMNA terperangah kala melihat sebuah hunian bergaya klasik minimalis. Dia melirik ke arah Hamzah, tapi lelaki itu hanya senyum-senyum sendiri. Rasanya Hamna ingin memasukan sang suami ke dalam karung lalu membuangnya ke kali.
"Saya lihat-lihat makin hari Bapak makin sering senyum-senyum sendiri. Ada gejala-gejala kegilaan sepertinya dalam diri Bapak!"
"Sembarangan sekali kamu kalau ngomong, Na."
"Ya, lagian Bapak juga sih. Nggak jelas banget!"
Hamzah hendak menggandeng Hamna, tapi dengan gesit perempuan itu mengamankan tangannya dan memberi Hamzah pelototan tajam. "Nggak usah modus terus!"
"Yuk masuk, insyaallah rumah ini akan kita tempati bertiga. Furniture-nya pun sudah lengkap, rumah ini sudah siap huni. Tapi, saya ingin memastikan dulu apakah rumah ini cocok untuk kamu atau tidak," terang Hamzah lalu membuka pintu selebar-lebarnya.
"Ini beli atau nyicil?" tanya Hamna.
"Saya bangun sendiri."
"Kapan bangunnya?"
"Semalam waktu kamu ngotot mau minggat ke rumah Ibu sama Ayah."
Hamna memutar bola mata malas. "Tuh, kan Bapak sudah benar-benar gila! Dikira kita sedang ada di cerita legenda kali, yang bangun candi dalam waktu semalam."
"Berhubung bangun candi dalam semalam adalah hal yang mustahil, ya sudah saya bangunkan rumah saja untuk kamu."
"Saya serius ini, Bapak jangan bercanda terus!"
"Sebulan sebelum pernikahan digelar saya membangun rumah ini, rencananya akan saya tempati bersama Hanum. Tadinya saya ingin membangun rumah baru, dan menjual rumah ini, karena saya tahu rumah ini dari awal dibangun bukan dipersembahkan untuk kamu. Saya tidak ingin menyinggung perasaan kamu, tapi berhubung ada hal darurat, akhirnya saya memutuskan untuk membawa kamu dan Haleeza tinggal di sini dulu. Itu pun kalau kamu mau."
"Kenapa nggak bilang dari awal sih kalau Bapak sudah punya rumah. Tahu gitu, langsung pindah saja dari dulu."
"Kamu nggak keberatan gitu tinggal di rumah yang saya bangun untuk mantan calon istri saya?"
Kening Hamna mengernyit. "Ya nggaklah, buat apa juga keberatan, toh rumah ini belum pernah kalian tempati. Lagi pula sayang kalau dijual, mending kita tempati saja sekalian."
"Kamu aneh, Na. Biasanya perempuan akan rewel dan merasa nggak dihargai kalau dikasih 'bekas mantan'," herannya.
"Bapak nggak ngaca apa? Bapak juga, kan 'bekas', tapi saya terima-terima saja walaupun terpaksa. Apalagi kalau cuma sekadar rumah."
Hamzah mendelik. "Saya ini masih single, Na, perjaka belum pernah menikah. Seenak jidat kamu bilang saya 'bekas'!"
"Bapak, kan duda anak satu. Saya ngomong fakta ya!"
"Harus berapa kali sih saya bilang sama kamu, kalau Haleeza itu keponakan saya, bukan benar-benar anak saya. Saya bukan duda anak satu, Hamna."
"Dosa itu, nggak mau banget kayaknya ngakuin istri pertama."
Hamzah menghela napas berat. "Saya akan bawa kamu ke makam orang tua Haleeza, Na supaya kamu percaya kalau saya ini belum pernah menikah."
"Paling juga Bapak mau ngibulin saya, kan? Maaf saya nggak semudah itu kena tipu daya Bapak."
"Untuk apa juga saya bohongin kamu, Na. Nggak ada untungnya, dosa yang ada juga."
"Ya terus?"
"Kita itu sudah menikah, tapi sama-sama asing dengan pribadi masing-masing. Sepertinya kita perlu waktu untuk saling mencari tahu," cetus Hamzah.
"Nggak usah kepoin saya!"
"Saya hanya tahu kamu sebatas nama dan merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Selebihnya nggak tahu apa-apa, Na."
"Ya salah sendiri, kenapa menikahi saya. Mana asal comot lagi. Saya datang ke acara Bapak sebagai tamu, eh malah ditarik jadi calon istri pengganti. Kan gila, nggak masuk logika!"
"Itulah yang dinamakan dengan jodoh, Na, datangnya tiba-tiba dan arah yang tidak disangka-sangka."
Hamna berdecak tak suka. "Ternyata Bapak emang sudah gila dari lama!"
Dia melengos untuk melihat ke segala penjuru ruangan, meninggalkan Hamzah yang malah asik tertawa.
"Kamarnya cuma ada dua? Kurang lha, Pak, harusnya tiga," protes Hamna dengan tangan bersidekap dada.
"Sudah pas itu, satu untuk Haleeza, satu untuk kita."
"Ogah bener satu kamar sama Bapak. Kalau kayak gitu mending saya tidur bareng saja sama Haleeza."
"Tidak baik suami istri tidur secara terpisah."
Hamna melotot tajam. "Lebih nggak baik lagi kalau saya tidur sama Bapak!"
"Mau sampai kapan kita terus seperti ini, Na?"
Hamna mengedikan bahunya. "Ya suka-suka saya!"
Terdengar helaan napas berat. "Oke, kalau memang itu mau kamu."
Hamna menunjukkan dua jempolnya tepat di depan wajah Hamzah. "Bagus!"
Perempuan itu duduk di sofa, tangannya dia rentangan di sandaran sofa dengan pose tumpang kaki. "Kalau di rumah orang tua Bapak, saya mana bisa leha-leha kayak gini. Ini baru namanya surga dunia."
Tanpa dosa Hamzah duduk di sisi Hamna, hal itu cukup membuatnya terkejut dan refleks mendorong tubuh Hamzah hingga mentok di ujung sofa.
"Refleks kamu extra tenaga, Na, untung saya nggak oleng sampai jatuh ke lantai lagi," cetus Hamzah seraya geleng-geleng.
"Makanya jangan curi-curi kesempatan sama saya!"
"Perasaan kamu itu berburuk sangka terus sama saya. Sepertinya di mata kamu saya ini selalu buruk."
"Bukan sepertinya lagi sih, tapi emang iya. Bagus deh kalau Bapak sadar diri. Mantap!"
"Kapan mau pindah ke sini?" tanya Hamzah memilih untuk mengganti topik pembicaraan.
"Ya hari ini juga lha!"
Hamzah mengangguk setuju. "Tapi kita jemput Haleeza dulu ya, Na. Saya juga harus mengemas pakaian dan barang-barang saya."
Hamna melirik sekilas ke arah suaminya. "Ke rumah Bapak lagi gitu? Males banget harus ketemu Titisan Dayang Sumbi!"
"Kita pamit baik-baik ya, sama Mama dan juga Ayah," pintanya.
"Kalau nggak dikasih izin gimana?! Nanti Bapak berubah pikiran lagi."
Hamzah menggeleng lalu berkata, "Nggak akan, Na, kita akan tetap pindah rumah, sekalipun tanpa izin dari Mama."
"Ya kalau gitu mending nggak usah izin sekalian saja."
"Ya nggak bisa kayak gitu dong, Na," sangkalnya.
"Oke deh," sahut Hamna pasrah.
"Saya lapar, Pak. Nggak ada makanan apa di kulkas?" tanyanya seraya memegang perut yang keroncongan.
"Belum ada apa-apa, mau belanja kebutuhan dapur sekarang? Sekalian cari makan di luar?" tawarnya.
"Boleh deh, tapi makan dulu baru belanja. Nggak lucu kalau saya pingsan di super market karena kelaparan."
Hamzah tertawa dibuatnya. "Kamu ini ada-ada saja, Na, terlalu hiperbola padahal tadi kita sudah sarapan di hotel."
"Sudah deh, nggak usah bahas-bahas soal hotel. Mendadak naik pitam saya!"
Tawa Hamzah semakin menguar keras.
"Nggak usah ketawa!" omelnya lalu beranjak dan melajukan langkah keluar.
Hamzah mengintil di belakang Hamna, lalu mengunci pintu rumahnya dan memasuki mobil.
"Mau makan di mana?" tanyanya setelah memasangkan sabuk pengaman.
"Seblak enak kayaknya, Pak."
"Itu jajan bukan makan. Kamu bisa bedakan nggak sih, Na?"
"Seblak juga, kan bikin kenyang."
"Ya, tapi, kan itu bukan makanan pokok."
"Bapak ini banyak protes jadi manusia. Nggak bisa apa nurut-nurut saja."
"Ya sudah mau beli seblak di mana?"
"Nggak jadi!"
Hamzah mengembuskan napas kasar. "Perkara seblak saja buat kita berantem, Na. Apa nggak bisa gitu adem ayem, akur sebagaimana pengantin baru pada umunya?"
"Dihh, ngarep banget. Ya nggak mungkinlah, orang-orang nikah karena memang sudah ter-planning, lha saya dan Bapak, kan nikah karena keadaan mendesak."
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 21 November 2023
Double up lagi deh, karena kolom komentar rame. Ramaikan lagi ya, senang aku lihatnya. 🤭😂
Gaskennn terus nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro