Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RS | Part 16

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mundur secara teratur lebih baik, daripada terjebak lebih lama bak berada di dalam penjara."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

SEPULANGNYA Hamzah dari masjid usai melaksanakan salat isya berjamaah Haleeza langsung menghampiri, dan dengan senang hati Hamzah pun membawa sang putri kecil dalam gendongan untuk menuju kamar.

"Za mau setor hapalan sama Papa," katanya saat Hamzah baru saja menutup pintu.

Hamzah mengacak gemas puncak kepala Haleeza. "Boleh dong."

Saat melihat Hamna yang sedang melipat mukena, Haleeza meminta turun dan berlari menghampiri Hamna yang masih duduk di atas sajadah.

"Jam segini baru salat, Na?" tanya Hamzah.

"Iya, waktu isya, kan panjang."

"Meskipun panjang, tapi kalau salat jangan ditunda-tunda ya. Sebisa mungkin saat mendengar azan langsung bergegas ambil wudu," titahnya lembut.

"Ya."

"Kenapa belum tidur, hm?" seloroh Hamna saat Haleeza duduk di atas pangkuannya.

"Za belum ngantuk, Buna."

"Mau tidur sama Buna di sini?" tawarnya.

Haleeza mengangguk lalu kemudian menggeleng, matanya mengerjap lucu hingga membuat Hamna spontan tertawa.

"Mau atau tidak?"

"Za mau tidur sama Buna dan Papa, tapi kata Oma nggak boleh."

Hamzah menggelar sajadah tepat di hadapan Hamna, mereka duduk saling berhadapan. "Za boleh kok tidur sama Papa dan Buna di sini."

Mata bocah kecil itu berbinar seketika. "Beneran boleh, Papa?"

"Tentu boleh, apa sih yang nggak buat Za. Iya, kan, Na?"

Hamna mengangguk setuju.

"Katanya tadi mau setor hapalan sama Papa, yuk!"

Hamna hendak pergi, dia mengangkat Haleeza yang duduk di atas pangkuannya. Namun, gerakan tangannya ditahan oleh Hamzah.

"Mau ke mana?"

"Saya lapar belum makan," katanya.

"Nanti saya temani, sekarang temani Haleeza setor hapalan dulu ya."

Hamna tak menolak, dia menurut karena teringat akan petuah sang ibu yang sangat mewanti-wanti pada dirinya agar bersikap baik selayaknya seorang istri pada sang suami.

Hamzah menyimak dengan baik hapalan putrinya, sesekali mengoreksi jika memang ada yang keliru. Kegiatan semacam ini memang sudah menjadi kegiatan rutin, Hamzah senantiasa membiasakan Haleeza untuk menghapal al-quran.

"Masyaallah, pintarnya anak Papa, besok disambung lagi ya hapalannya, Sayang," ungkap Hamzah seraya memberikan sebatang cokelat sebagai hadiah.

Haleeza mengangguk patuh dan tersenyum lebar. "Makasih, Papa."

"Hanya Haleeza yang Aa kasih cokelat, saya tidak?"

"Kamu mau?"

"Iya, lha, pake ditanya lagi."

Hamzah terkekeh kecil. "Kalau gitu, setor hapalan dulu baru nanti saya kasih cokelat."

"Ish, kok gitu sih. Kasih cokelat secara cuma-cuma emangnya nggak bisa?"

"Sebetulnya bisa, tapi sayanya yang nggak mau."

"Dasar pelit!"

Hamzah malah tertawa puas. "Bukannya pelit, untuk mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, kamu harus berjuang dulu agar bisa mendapatkannya."

"Harus banget challenge-nya setor hapalan?"

"Ya."

"Bacaan al-quran saya masih belepotan, malah lebih bagus Haleeza. Jangankan setor hapalan, ngaji saja saya masih terbata-bata."

"Ya sudah mulai besok dan seterusnya kita belajar ngaji sama-sama ya," putus Hamzah.

"Nggak ah, saya malu," tolak Hamna.

Kening Hamzah terlipat. "Kenapa harus malu?"

"Kok jadi banyak tanya sih. Kepo banget!"

"Saya akan mengajari kamu mengaji, nanti kamu setor hapalan bareng Haleeza pada saya."

"Kok maksa?!"

"Bukan maksa, saya justru menawarkan sebuah solusi agar kamu bisa lancar membaca al-quran. Bukankah itu bagus?"

Hamna menghela napas berat. "Otak saya suka ngadat kalau disuruh ngapal, apalagi al-quran."

"Kalau saya kasih ini setiap kamu setor hapalan gimana?" tanyanya seraya memperlihatkan uang pecahan seratus ribu tepat di depan wajah Hamna.

Hamna akan merampas uang tersebut, tapi gagal karena gerakan tangan Hamzah lebih cepat.

"Gimana, hm?"

"Kesannya saya ini mata duitan, masa harus diiming-imingi uang dulu baru mau ngapal."

"Nggak papa, untuk sekarang memang motivasinya uang. Tapi, saya yakin lambat laun kamu akan dengan senang hati menghapal al-quran tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Haleeza pun sama, setiap selesai hapalan selalu saya kasih cokelat sebagai hadiah. Supaya dia semangat menghapalnya."

Hamna berpikir sejenak. "Boleh deh, lumayan juga uangnya buat jajan cilok."

Hamzah hendak mengelus puncak kepala Hamna, tapi tak jadi karena Hamna lebih dulu menghindar.

"Bapak nggak usah modus ya!"

Hamzah menarik lembut kepala Hamna, lalu mengecup singkat ubun-ubunnya. "Makasih ya, Na."

"Apaan sih, Pak modusnya malah makin menjadi!"

Tanpa dosa Hamzah mengambil alih Haleeza. "Modus sama istri sendiri itu berpahala, bukan dosa."

Hamna berdecak kesal. "Nggak ada ya, Pak! Saya akan benar-benar memisahkan leher dan kepala Bapak kalau sampai berani berbuat lebih pada saya!"

Hamzah melengos lalu menidurkan Haleeza di atas kasur. Anak itu sudah terlelap sedari tadi di pangkuan Hamna. "Saya tidak takut!"

Hamna menghentakkan kakinya di lantai. Lalu bergegas keluar meninggalkan Hamzah yang tengah asik tertawa.

Setibanya di ruang makan, hanya ada nasi serta telur dadar yang terhidang di meja. Tak ingin ambil pusing, dia pun langsung melahapnya.

"Kenapa kamu hanya makan dengan telur, Na? Perasaan Mama tadi masak banyak deh," ungkap Hamzah setelah duduk di samping Hamna.

"Yang ada di meja orang cuma ini doang. Ya, daripada saya mati kelaparan mending makan yang ada saja."

Terlihat Anggi baru saja memasuki ruang makan. "Mau makan, Ham?" tanyanya.

Hamzah mengangguk.

Hamna dibuat melongo saat sang mertua mengeluarkan sejumlah teman nasi yang dia sembunyikan di dalam lemari kabinet. Ada beberapa potong ayam goreng, sayur asem, sambal, serta tempe bacem.

"Kenapa nggak dibiarkan di atas meja, Ma? Hamna, kan mau makan. Kasihan dia, cuma makan sama telur dadar doang," protes Hamzah.

"Suka ada kucing kalau disimpan di meja."

Saat itu juga Hamna bangkit dari duduknya. Dia menatap sengit ke arah Anggi. "Kalau memang Ibu tidak menyukai saya, ya sudah. Tapi, nggak harus sejelas itu juga, kan? Sampai menyamakan saya dengan kucing segala!"

"Kenapa kamu jadi marah pada saya? Salah saya di mana?!"

"Ibu tidak salah, yang salah saya karena mau-mau saja menikah dengan putra Anda!"

"Nah itu kamu sadar diri. Bagus!"

"Mama cukup!"

"Kamu apa-apaan sih, Ham!"

"Mama yang apa-apaan, perkara makanan saja sampai disembunyikan. Mama sudah benar-benar keterlaluan!"

"Kalau dia lapar ya masak sendiri, lha. Kamu kasih dia uang dapur, kan? Harusnya dia sadar diri, di sini dia hanya numpang."

Napas Hamzah memburu cepat. "Hamzah juga, kan kasih Mama uang dapur, itu untuk biaya kita makan sehari-hari. Kenapa sekarang Mama jadi perhitungan sekali?"

"Mama bukan perhitungan, tapi sebagai seorang istri, harusnya dia bisa menghidangkan makanan sendiri untuk kamu dan juga Haleeza. Bukan hanya ongkang-ongkang kaki saja!"

"Ok, kalau memang itu mau Mama. Mulai malam ini Hamzah akan bawa Hamna dan Haleeza keluar dari rumah ini. Kita bisa tinggal bertiga, tanpa ada campur tangan Mama!"

Setelah mengatakan itu, Hamzah langsung menarik tangan Hamna menuju kamar. Dia benar-benar tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi.

"Maafkan Mama ya, Na," katanya setelah berada di dalam kamar dan duduk di tepi ranjang.

Hamna hanya terdiam, tapi matanya sudah memerah menahan tangis serta amarah yang berpadu jadi satu.

"Saya tahu, saya ini nggak bisa apa-apa, di sini pun status saya hanya menumpang. Tapi, saya tidak terima jika diperlakukan seperti ini terus-menerus. Sudahlah A Hamzah, lebih baik kita sudahi saja pernikahan ini."

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 20 November 2023

Makin panas aja nih huru-hara di antara menantu dan mertua 😂🤣✌️

Di dunia nyata mertua seperti Mama Anggi apa ada? Jawabnya ada, banyak malah 😂🤧 ... Tapi, apakah ada menantu yang bisa melawan seperti Hamna, jawabannya tentu saja tidak ada 🤣🙃

Gaskennn ke bab selanjutnya nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro