RS | Part 13
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, terlebih terkait masa depan yang memang patut untuk diperjuangkan."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
RUANG keluarga mendadak hening dan mencekam, terlebih saat dengan gamblangnya Hamzah mengatakan hendak menginap di rumah sang mertua. Anggi sontak menentang keras, hingga Hamna yang semula berada di dalam kamar pun kini ikut disidang.
"Kamu jangan meracuni otak anak saya ya, Hamna!" sengitnya.
"Kalau memang saya memiliki niat buruk, bukan A Hamzah orang pertama yang saya racuni, melainkan Ibu!" sahut Hamna tak mau kalah.
"Berani-beraninya kamu mengatakan itu pada saya, hah?!"
"Ibu saja berani berlaku tidak baik pada saya, kenapa saya harus takut?"
Anggi menggeram kesal, kedua tangannya sudah terkepal kuat. "Kamu, ya!"
"Apa?" sengit Hamna tak gentar sedikit pun.
Hamzah memijat pelipisnya yang berdenyut. Menyaksikan perdebatan di antara ibu serta istrinya berhasil menghadirkan rasa pening.
"Ma, Hamzah hanya minta izin menginap dua hari di rumah orang tua Hamna. Kenapa harus dipersulit?"
"Nggak ada. Nggak boleh!"
Hamna berdecak. "Sungguh sangat kekanak-kanakan sekali. Egois dan tidak adil!"
"Kamu berani sekali mengatai saya, hah?!"
"Selagi saya benar, saya akan terus menyuarakan hak saya. Bukan berarti karena saya tinggal di sini, Ibu bisa dengan bebas memonopoli hidup saya. Jangan harap ya!"
"Kamu itu memang tidak ada dalam kriteria menantu idaman. Sangat suka mendebat orang tua!"
Hamna memutar bola mata malas. "Kalau saya hanya manggut-manggut saja, saya akan habis ditindas oleh Ibu. Ya saya nggak mau, lha. Nggak sudi!"
"Ada apa ini? Malam-malam malah ribut dan adu mulut," lerai Lingga yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.
"Ada apa, Ham?" sambungnya pada sang putra yang terlihat frustrasi menghadapi Anggi serta Hamna yang sedang saling serang.
"Hamzah hanya minta izin untuk menginap di rumah orang tua Hamna pada Mama. Itu pun nggak lama, hanya dua hari, tapi Mama malah menentang keras."
Lingga kini beralih pada istrinya. "Kenapa Mama nggak kasih izin?"
"Ya nggak boleh. Pokoknya Hamzah nggak boleh pergi ke mana-mana!"
Lingga menghela napas singkat. "Kan hanya dua hari, Ma."
Anggi menggeleng keras. "Sekali nggak boleh, ya nggak boleh."
"Sekarang Ayah mau tanya sama Hamna, ada apa? Kok tiba-tiba mau menginap di rumah orang tua kamu, Na?" tanyanya lembut penuh kehati-hatian.
"Saya hanya ingin menenangkan diri, Yah, tapi A Hamzah nggak memberi izin kalau saya pergi sendiri alhasil A Hamzah menawarkan untuk kami menginap saja."
"Kenapa harus menenangkan diri di rumah orang tua kamu, Na?"
"Soalnya kalau di sini saya nggak tenang," sahut Hamna blak-blakan.
"Mama buat masalah apalagi sama Hamna, hm?" Kini Lingga beralih pada istrinya.
"Nggak!"
Hamna berdecih. "Nggak salah lagi!"
Anggi melotot tajam.
"Coba ceritakan sama Ayah, Na, bagaimana duduk perkaranya," pinta Lingga.
Hamna menyerahkan catatan yang sudah agak ringsek pada ayah mertuanya. "Sekelas Roro Jonggrang dan Dayang Sumbi saja hanya mengajukan satu syarat, lha ini bisa-bisanya beliau mengajukan sembilan syarat yang sudah jelas-jelas bertolak belakang dengan saya."
"Tanpa beliau beritahu pun saya sudah sadar diri, kalau memang saya ini tidak termasuk dalam kriteria menantu idaman. Tapi, apa etis jika sampai melakukan hal semacam ini? Jujur saya tersinggung dan sakit hati."
Lingga memijat pelipisnya. "Mama sudah keterlaluan, kenapa harus sampai seperti ini?!"
"Mama ingin yang terbaik untuk Hamzah, seseorang yang menjadi istrinya haruslah memiliki value."
"Dari semua kriteria yang Mama tulis, tidak ada satu pun andil Hamzah di dalamnya. Mama jangan menjadikan Hamzah sebagai kambing hitam, atas apa yang Mama inginkan," ujar Hamzah kembali ikut angkat suara.
"Kenapa kalian jadi menyudutkan Mama?!"
"Ya, karena Mama salah!" sahut Lingga tegas.
"Hamna itu nggak bisa apa-apa. Disuruh masak nggak bisa, disuruh cuci piring malah dipecahin, disuruh pel lantai bukannya bersih malah licin, disuruh ngiris bawang, malah ngiris jari. Ya, wajar kalau Mama ngomel-ngomel. Bagaimana mungkin Mama bisa melepas Hamzah, sama perempuan yang nggak bisa diandalkan sama sekali. Bisanya cuma mendebat orang tua doang!"
"Hanya itu?"
"Hanya kamu bilang, Ham? Sebagai perempuan, apalagi yang sudah menikah hal-hal basic seperti itu harusnya sudah bisa dikuasi."
"Kan bisa Mama ajari Hamna pelan-pelan, nggak usah dengan cara menyingung sebagaimana yang Mama lakukan," tegur Lingga.
"Pada dasarnya Hamna itu memang nggak bisa apa-apa. Mau diajari berulang kali pun pasti nggak akan membuahkan hasil!"
"Kalau memang kriteria menantu idaman Ibu yang seperti itu, ya sudah silakan nikahkan putra ibu dengan asisten rumah tangga. Sudah terverifikasi dan piawai dalam pekerjaan rumah, tidak seperti saya yang nggak bisa apa-apa!" jawab Hamna kesal.
Anggi berkacak pinggang dan menatap Hamna penuh permusuhan. "Sembarangan sekali kamu kalau ngomong!"
"Jika perlu saya ingatkan, Ibu pun kalau ngomong suka sembarangan!"
"Sudah! Sudah! Ini sudah larut malam, kalian malah makin menjadi saja. Istirahat!" titah Lingga tegas tak terbantahkan.
"Tidur ya, Na, besok, kan hari pertama kamu kuliah. Nanti kesiangan lagi," bujuk Hamzah hendak menggandeng tangan sang istri.
Hamna menepis jauh tangan Hamzah. "Saya ingin masalah ini benar-benar clear dulu."
Hamzah menghela napas berat. Dia mengambil alih kertas yang tengah Lingga pegang lalu merobeknya hingga jadi beberapa bagian. "Sudah clear, kan? Yuk istirahat."
"Hamzah!" pekik sang ibu meradang.
"Mulai hari ini dan seterusnya kalau Mama sampai buat ulah lagi sama Hamna, Hamzah nggak akan tinggal diam. Hamzah akan benar-benar angkat kaki dari rumah ini," putus Hamzah lalu menarik paksa Hamna menuju kamar.
Sesampainya di kamar Hamna langsung menepis tangan Hamzah. "Kalau memang mau belain saya, ya nggak perlu modus pegang-pegang tangan segala!"
Hamzah menghela napas singkat. "Bukan modus, kalau saya nggak narik tangan kamu, perdebatan di antara kamu dan Mama pasti akan berlanjut sampai subuh. Saya ngantuk, Na. Saya butuh istirahat."
"Saya juga sama, capek, mau istirahat. Tapi, yang memperkeruh keadaan, kan Ibu Anda!"
"Iya, Na, iya, Mama saya yang salah."
Setelah mengatakan hal tersebut, Hamzah langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hamna memukul tubuh Hamzah menggunakan guling.
"Tidur di sofa, A Hamzah!"
"Saya nggak akan macam-macam, Na."
Hamna berdecih. "Kemarin juga bilangnya gitu, 'nggak akan macam-macam', 'nggak minat', tahunya pas saya bangun tuh tangan malah peluk-peluk saya. Nggak ada! Pokoknya tidur di sofa."
"Badan saya pegal-pegal kalau tidur di sofa, Na. Memangnya kamu mau tanggung jawab buat pijitin saya?"
"Ogah!"
"Ya, makanya jangan ribet. Toh, kita sudah suami istri juga. Tidur seranjang adalah hal yang wajar, biasa."
Tanpa dosa Hamna menendang pantat Hamzah hingga lelaki itu tersungkur di lantai. "Ringan banget itu mulut! Jangan harap ya, Pak."
"Kamu itu jadi perempuan anarkis sekali, besok saya visum tahu rasa kamu. Ini bisa dikategorikan sebagai tindak KDRT," ujar Hamzah seraya bangkit dari posisi mengenaskannya.
"Nggak usah lebay!"
"Baru tiga hari saya jadi suami kamu, tapi saya sudah memar-memar, Na. Jidat yang kepentok kaki meja karena tubuh saya kamu tendang saat saya dalam keadaan tidur, lha. Sekarang, pantat saya pun jadi korban. Besok lusa apalagi?"
"Coba Bapak request mau yang mana lagi, hm?"
Hamzah geleng-geleng dibuatnya.
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 16 November 2023
Kalau ada menantu modelan Hamna di dunia nyata, gimana ya? 😂✌️ ... Tiap hari ribut mulu sama mertua, bukannya akur malah adu urat mulu 🤣
Masih mau lanjut nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro