Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RS | Part 1

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Bohong jika ada yang mengatakan bisa move on, karena realitasnya itu hanya sekadar omong kosong."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

NYATANYA melupakan bukanlah perkara gampang. Katanya waktu yang akan menyembuhkan, tapi ternyata tidaklah demikian. Lima tahun sudah berlalu, tapi bayang-bayang masa lalu malah kian melekat apik dalam ingatan.

Entah dia yang enggan membuka hati, atau justru hatinya yang jatuh terlalu dalam?

"Mau sampai kapan kamu betah melajang, Ham?"

Pertanyaan itu sudah sering sang ibu layangkan. Bahkan, Hamzah pun sudah sangat hapal di luar kepala karena saking seringnya.

"Untuk apa? Mama mau cucu? Bukankah sudah ada Haleeza, putri satu-satunya Hanin."

Terdengar helaan napas berat. "Janganlah terkurung masa lalu. Zanitha saja yang melukai kamu sudah hidup bahagia bersama pilihannya. Lantas kamu bagaimana?"

"Perlu Hamzah koreksi, Zanitha nggak pernah melukai Hamzah!"

"Semakin hari kamu semakin berani melawan Mama, Ham?!"

Hamzah menghela napas singkat. "Hamzah sudah capek jadi boneka Mama."

"Apa salahnya sih, Ham untuk kali ini saja turuti permintaan Mama? Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu!"

Hamzah tertawa sumbang. "Untuk kali ini Mama bilang? Coba Mama paparkan, kapan Hamzah pernah tidak menuruti permintaan Mama? Kapan, Ma? Kapan?"

"Apa kata tetangga kalau kamu nggak nikah-nikah. Mau ditaruh di mana muka Mama sama Ayah?"

Hamzah bangkit dari duduknya. "Untuk apa memikirkan apa kata orang lain. Toh mereka nggak ikut andil dalam hal apa pun. Memangnya kalau Hamzah lapar, minta sama mereka? Hamzah beli sesuatu ngemis-ngemis ke mereka? Nggak, kan."

"Apa salahnya sih, Ham menikah dengan perempuan pilihan Mama?"

"Masalahnya perempuan yang Mama pilihkan bukanlah sosok yang Hamzah harapkan."

"Lantas siapa yang kamu harapkan? Zanitha! Sadar, Ham. Sadar! Dia sudah berstatus sebagai istri orang!"

"Kenapa semua hal harus disangkutpautkan dengan Zanitha? Hamzah memang tidak berkeinginan untuk menikah."

Sang ibu memijat pelipisnya yang berdenyut sakit. "Kamu itu satu-satunya harapan Mama, apalagi selepas kepergian Hanin."

Hamzah mengacak rambutnya frustrasi. "Kenapa Mama selalu menjadikan itu sebagai senjata?"

Tepat saat Haleeza berusia 6 bulan, Hanin dan Haikal mengalami kecelakaan tunggal yang mengakibatkan keduanya meninggal. Beruntung sang putri kecil tidak mengalami kemalangan tersebut, sebab tengah dititipkan di kediaman mamanya.

Sekarang, gadis kecil bernama lengkap Haleeza Awaliyyah itu sudah menginjak usia lima tahun. Berada dalam pengasuhan keluarga Hanin, karena hak asuh yang diperjuangkan akhirnya bisa mereka dapatkan.

"Haleeza butuh figur seorang ibu, Ham. Kasihan dia, kamu pun butuh pendamping yang bisa mengurus segala kebutuhan kamu. Apa Mama salah kalau menjodohkan kamu?"

"Ya, terserah Mama," putus Hamzah lantas berlalu pergi menuju kamar.

"Kamu setuju, Ham? Mau menerima perjodohan?" teriaknya begitu antusias.

Hanya deheman singkat yang sang putra berikan.

Setibanya di kamar, wajah yang semula masam berubah menjadi cerah ceria, terlebih saat mendapati sang bocah kecil yang tengah duduk anteng di atas kasur seraya membolak-balik sebuah buku.

"Papa! Papa!" serunya heboh.

Hamzah membawa Haleeza dalam gendongan dan mengecupi ubun-ubunnya beberapa kali. "Ya?"

Mata gadis kecil itu mengerjap. "Kata Oma, Za mau punya Mama. Za senang, Papa."

Hamzah mati-matian menahan emosinya yang kembali naik. Ia berusaha untuk tetap mengukir senyum. "Oh, ya?"

Sebuah anggukan semangat Haleeza berikan. "Kapan, Za ketemu, Mama?"

Pria berusia 35 tahun itu mengacak gemas puncak kepala sang keponakan yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.

"Kapan yah?" katanya diselingi gurauan.

Bibir Haleeza mengerucut lucu. "Za pengin punya Mama kayak temen-temen yang lain."

"Memangnya Papa nggak cukup?"

Ia mengalungkan tangannya di leher Hamzah, lalu terisak pelan.

Mendapati hal tersebut Hamzah cukup tercengang sekaligus kelabakan. "Kenapa, hm?"

Bocah kecil itu malah kian menangis hebat, padahal Hamzah sudah berusaha untuk menenangkannya.

"Ok, ok, besok kita ketemu Mama yah," putus Hamzah pada akhirnya.

Tangis Haleeza reda seketika, bahkan ia pun langsung menghadiahi kecupan singkat di salah satu pipi Hamzah.

"Za sayang, Papa," katanya.

Hamzah mengelap air mata dan ingus Haleeza lantas berujar, "Papa jauh lebih sayang sama Za."

Dia turun dari pangkuan Hamzah. "Za mau makan, Papa. Lapar," ungkapnya diakhiri cengiran.

Hamzah terkekeh kecil lalu turun dari ranjang, dan menggendong sang putri kecil dari belakang. Haleeza tentu kegirangan, bahkan ia tertawa sepanjang jalan menuju ruang makan.

"Za mau makan sama apa?" tanyanya saat sudah sampai di ruang makan.

"Ayam goreng."

Dengan telaten Hamzah mengambilkan nasi beserta lauknya. Ia menatap sendu ke arah Haleeza yang tengah lahap makan, bayangan Hanin selalu datang. Terlebih, wajah bocah kecil itu benar-benar mirip.

Ia menyebut Haleeza sebagai Hanin versi sachet.

Tepukan lembut yang diberikan sang ayah membuyarkan lamunan Hamzah. "Kebanyakan bengong kamu, Ham. Nggak baik itu," tegurnya.

Hamzah sedikit meringis. "Baru pulang, Yah?"

Lingga Wiratama yang merupakan ayahnya itu pun duduk di sisi sang putra. "Keinget Hanin? Atau kepikiran soal permintaan Mama?"

Tanpa ragu dia berkata, "Dua-duanya."

"Kalau memang kamu keberatan, nggak usah dipaksakan. Kelak yang akan menjalani itu kamu, bukan Mama. Sudah saatnya kamu hidup merdeka atas pilihan kamu sendiri."

Hamzah memaksakan diri untuk tersenyum. "Mungkin memang sudah takdirnya Hamzah harus selalu dibayang-bayangi Mama."

"Ham-"

Sang putra menggeleng seraya memotong perkataan ayahnya. "Hamzah nggak papa. Insyaallah ini yang terbaik."

Lingga melirik ke arah Haleeza yang masih belum menyadari kehadirannya. Bocah kecil itu kalau sudah fokus pada sesuatu memang agak sulit terpengaruh dengan keadaan sekitar, apalagi jika urusannya perihal makanan.

"Jangan bilang Mama menjadikan Haleeza sebagai tameng dan juga senjata untuk memaksa kamu," tebaknya tepat sasaran.

Hamzah tak mampu untuk menjawab, mau menyangkal pun hanya akan menambah dosa, sebab sang ayah sudah pasti tidak akan percaya.

"Siapa perempuan yang hendak dijadikan sebagai istri kamu, Ham?"

"Hanum, anak dari kerabat Mama."

Lingga geleng-geleng kepala. "Ayah tahu selera kamu seperti apa. Kenapa Mama sampai menjodohkan kamu dengan Hanum yang jelas-jelas nggak berkerudung."

"Katanya kalau soal tampilan luar bisa diperbaiki."

"Punya kuasa apa Mama bisa seyakin itu kalau kamu bisa mengubah seseorang? Orang tuanya saja tidak mampu. Lantas kamu apa kabar, Ham?"

Hamzah mengangguk setuju. "Hamzah pun sudah mengatakan hal yang demikian, tapi Ayah tahu, kan sekeras apa kepala Mama?"

"Perintah Allah saja dia larang, apalagi perintah kamu? Biar Ayah coba bicarakan masalah ini sama Mama."

Hamzah menggeleng pelan. Dia tak ingin ada keributan, apalagi dirinya yang menjadi alasan. "Enggak usah, Yah."

Lingga mengembuskan napas pasrah. "Semoga kamu nggak menyesal dengan pilihan Mama, Ham."

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 03 November 2023

Bismillahirrahmanirrahim, aku datang dengan cerita baru, yang kemungkinan besar akan mengandung banyak bawang 🤧 ... Kira-kira ada nggak sih yang kepo sama cerita ini?

Boleh dong drop komentarnya ☺️

Kalau lagi gabut, penyakit pengin nulis cerita baru suka tiba-tiba menyerang. Jadi, tolong dimaklumi yah, kawan-kawan🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro