Prologue - Ergo Dum Me Diligis
Pemandangan di depan mata terasa begitu familiar tetapi asing di waktu yang sama. Bagaikan alur cerita klise di setiap film yang berbeda. Anehnya, film baru saja ditemukan pada abad ke-19, sementara dia berada di abad ke-18.
Di sebuah tempat yang telah termakan oleh waktu, dia memandang sebuah pemerintahan yang absolut runtuh bersama antek-anteknya. Tali-tali kasar yang diikat oleh rakyat telah menjerat mereka ke tanah paling rendah, menjatuhkan mereka hingga kepala tidak bisa lepas dari ciuman kotor tanah. Nyanyian berkumandang di udara, bersama dengan kepulan asap dari api dan debu dari pasir. Sorakan liar tambah menjadi-jadi ketika kepala seorang bangsawan terputus dari leher, pisau besar yang memisahkan kepala dan butuh terciprat merah.
Sang algojo mengambil kepala yang bergelinding dari keranjang, lalu mengangkatnya agar seluruh rakyat bisa melihat nasib malang yang telah mereka berikan kepada bangsawan kejam. Sorakan gembira tambah panas.
Pemandangan yang sangat familiar.
Dia sudah hidup ribuan tahun, jauh sebelum manusia percaya dengan takhayul dan membantai tiap wanita yang memiliki kecerdasan melebihi laki-laki. Dia sudah menginjak tiap tanah di pulau mengambang, entah itu sudah ada perabadan atau belum pernah disentuh oleh tangan tamak manusia.
Meskipun begitu, tubuhnya membeku melihat tatapan kosong dari kepala yang terpanggal. Tidak ada cahaya kehidupan di sana. Sentuhan rasa bersalah juga tidak ada. Pria itu sudah mati, tetapi Neomene tidak bisa melepaskan pandangannya dari tatapan redup yang menatap lurus padanya, seolah mengutuk dia dan seluruh imortalitas yang ada di tangannya karena telah mengkhianati dia.
Seharusnya dia juga di sana--kepala di bawah guillotine, pisau akan turun di lehernya. Peduli setan dia akan meregenerasi lagi, mengubah sorak bahagia menjadi jeritan horor karena dia masih bisa berdiri tanpa kepala, bagaikan monster yang sering dijadikan sebagai placebo kepada anak-anak.
"Maman," panggilan lembut membelah kepanikan di kepala. Neomene menoleh ke bawah dengan cepat, menemukan seorang kecil yang menempel erat di balik jubahnya, kepala terbenam jauh ke dalam pinggangnya. Bel darurat berdering keras dalam kepala saat melihat keadaan putranya; wajah memerah dan dada berangsur-angsur. Asmanya kambuh.
Neomene segera membawa diri mereka keluar dari kerumunan, menjauh dari kumpulan makhluk liar yang tidak jauh berbeda dengan bangsawan yang baru saja mereka hukum mati.
Sial. Sial. Sial. Seharusnya mereka berdiri di sisi luar, jauh dari kerumunan, tetapi sisi rasa ingin tahu ingin menangkap momen kematian suami entah ke berapa agar bisa diabadikan dalam ingatan. Neomene juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
Neomene mengelap sisi air mancur dengan ujung dress lesuhnya. Sisi kering itu dipersilakan pada putranya agar bisa mengistirahatkan kaki setelah berdiri terlalu lama.
Ketika tangannya mulai sibuk untuk meraih mudge inhaler dari koper besar, putranya menepuk lengan Neomene dua kali, seolah mengatakan dia tidak butuh alat itu untuk menenangkan asmanya.
"Nak, tidak apa-apa. Kamu tidak merepotkan Maman sama sekali," ucap Neomene sambil tersenyum, tangan masih sibuk merogoh tas untuk meraih alat berbentuk teko tua.
Putranya menggeleng cepat. "A-Aku... Aku takut," isaknya di tengah nafas berantakan. Tangan kecilnya meremas tunik putih yang telah ternodai oleh tanah. "Aku... Aku akan seperti ayah juga?"
Dibantai. Digeret ke atas panggung. Dibunuh di mata umum.
Apa yang dia pikirkan membawa anaknya menonton eksekusi ayahnya sendiri?
"Oh, sayang, ayahmu akan sangat marah kepadaku jika aku membiarkanmu dibawa oleh mereka" jawab Neomene tenang, jauh berbeda dengan jantungnya berdegup keras. Dia tidak bisa membaca masa depan. Sihir memprediksi waktu tak terlihat bukanlah keahliannya. "Jangan berpikiran aneh seperti itu."
Rasa bersalah merambat ke tenggorokan. Neomene mengigit lidahnya, membiarkan tangan yang berkomunikasi dengan mendorong kepala putranya ke dalam dekapan, mengelus rambut kasar dan kering yang sudah kehilangan kelembutannya.
"Natal... Kita tidak bisa merayakan natal juga," gumamnya.
"Kata siapa?" Neomene membenamkan sisi wajahnya ke puncak kepala putranya, lalu memberikan kecupan singkat. "Selama ada kamu di sisi Maman, natal bisa dirayakan kapan saja dan di mana saja.
Aku akan melindungimu.
Dan kedua janji itu selalu dia ucapkan hingga ke abad 21.
Namun, tidak ada yang terpenuhi dari setiap bah hati yang dia lahirkan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro