Part 3 - Osculum Pacis
Hangat.
Kapel Clementia tidak pernah merasa sehangat ini. Cornelius, pria tua berwajah bayi itu selalu mengatakan dia akan memperbaiki lantai dan penghangat ruangan, tetapi janji itu tidak dipenuhi hingga sekarang. Sikap sok sibuk dan tutur bicara cerianya mengingatkan Neomene pada seseorang yang tak pernah bosan membawa amarah ke keningnya.
Neomene menjatuhkan dirinya lebih dalam ke kenyamanan dan kehangatan yang jarang dia dapatkan sejak tiba di Darkwick, tetapi sebagian jiwanya berseru dia harus bangun, mempertanyakan kelembutan yang dirasakan seluruh tubuhnya. Selimut hangat, bantal empuk, dan kasur nyaman. Kamar barunya tidak memiliki kemewahan itu.
Apakah ini keajaiban Natal?
Mustahil.
Santa tidak sebaik itu untuk memberikan kehangatan pada Neomene setelah membunuh banyak anak-anak karena keegosiannya sendiri.
Kelopak mata berkedip perlahan, mengusir rasa kantuk dan beban berat yang menggodanya untuk kembali tidur. Bukan jendela dengan pemandangan salju yang pertama kali dia lihat, melainkan sebuah balkon dan lantai kayu halus. Daripada butiran putih, rintik-rintik hujan melodis yang turun di luar, diikuti dengan suara genangan air yang begitu berisik karena rintik deras. Neomene meggerakkan kepalanya sedikit, melihat seluruh ruangan lebih jelas.
Tidak mungkin dia dicuri. Ghoul dari Sinostara tidak mungkin memberikan kenyamanan seperti ini jika mereka berniat untuk menculiknya.
"Selamat pagi, Tuan Putri," sambut suara lembut maskulin. Familiar. Suara seseorang yang selalu dia rindukan setiap hal buruk menimpanya di akademi.
"Haku-san, bagaimana bisa?" Neomene berbisik pelan. Suaranya menjadi resak karena kantuk. "Maaf, apa aku pingsan lagi?"
Haku tertawa singkat dan pelan. "Rasanya kurang tepat jika menyebutnya pingsan. Kamu ketiduran di luar saat badai salju."
"Iyakah? Jadi aku diungsikan sementara di Hotarubi?" Perempuan itu tersenyum simpul. "Terima kasih."
Pekikan pelan keluar dari antara bibir ketika Haku meletakkan punggung tangannya di kening Neomene, memeriksa apakah kehangatan telah kembali ke dalam tubuh. Ghoul itu mengangguk singkat, lalu menarik tangannya kembali ke tempat semula.
"Subaru-san membuat teh hangat dan beberapa kue kering untukmu," ujar Haku, menunjuk cangkir dan piring putih di atas meja kecil.
Neomene bergumam pelan. Rasa bersalah merangkak perlahan di dada.
Haku menyadari kegelisahan dan kebingungan di seluruh raut wajah si murid baru. Meskipun kesadaran belum datang sepenuhnya, Neomene terlihat lebih ekspresif untuk menunjukkan rasa bimbangnya. Mungkin efek kantuk. Atau karena perempuan itu akhir-akhir ini merasa resah menyambut hari Natal?
"Walaupun anggota Hotarubi dikenal dengan ketenangan mereka, saat pesta, mereka lumayan ramai. Zenji-san hampir memainkan biwa jika tidak segera dihentikan Subaru-san, tidak ingin anak-anak jadi ketakutan padahal sedang berpesta. Bisa dikatakan situasi di luar lumayan ramai, jadi aku memilih di kamar," ucap Haku.
"Aku tidak menganggu sama sekali?"
"Sebaliknya," Haku mengedikkan bahu, "Kamu menjadi alasan utamaku bisa kabur dari pesta itu."
Neomene tertawa pelan, menenggelamkan dirinya di pelukan futon. "Wakil ketua asrama macam apa kamu," guraunya. Haku ikut tersenyum, seolah kebahagiaan yang dipancarkan Neomene adalah virus kuat.
Apa yang dia rasakan begitu familiar, tetapi sedikit berbeda.
Hati gaduh dan berisik. Pada saat itu, kakinya tidak bisa berhenti lompat-lompat oleh gelisah, dan trauma baru langsung bernafas di lehernya. Neomene sesekali menoleh ke belakang, memastikan bayangan bunga monster itu tidak ada di sana--memeluknya, menghantuinya.
"Tidak apa-apa," suara asing bicara, menjadi lentera di tengah kabut. "Ambil nafas terlebih dahulu."
"Apa kau punya hobi menyelamatkan jiwa malang, Haku-san?"
"Sejauh yang aku ketahui tentang diri sendiri, aku tidak bisa mengatakannya sebagai "hobi"," ujar Haku, menggeleng pelan atas pertanyaan yang keluar tanpa diproses terlebih dahulu.
Gadis itu tersenyum lembut. Rasa kantuk kembali datang, menggodanya untuk memejamkan mata sebentar, lalu hitungan detik akan berubah menjadi hitungan jam. Namun, dia tidak akan jatuh tertidur sebelum menyampaikan kalimat yang bergantung di ujung lidah.
"Berarti kau hanya melakukan untukku, ya..."
Sejak pertemuan pertama. Sejak Neomene berencana untuk kabur tanpa rencana lanjutan. Sejak kegelisahan dan kebimbangan ingin menyeretnya ke lautan bayangan. Suara pemuda itu selalu disana, disertai senyuman yang tidak bisa Neomene pisahkan dari keberadaan dia. Haku dan senyuman lembutnya datang satu paket, bersama dengan kepribadian yang tidak bisa Neomene analisis dalam dua atau tiga kali pertemuan—itu datang sebagai bonus.
Bunga mimpi bermekaran dalam pikiran, membawanya ke ingatan lama yang sudah lama terlupakan sejak kepergian sosok terkasih.
Dalam mimpi dengan warna memudar, dia terlelap karena demam. Seorang pria yang telah mengikat janji suci bersamanya duduk di samping kasur, jari-jari cantik yang tidak pernah bosan dia kagumi mengusap surai terang Neomene, tidak memedulikan jika rambut dan keningnya basah oleh keringat.
Mimpi penuh kehangatan yang bertolakbelakang dengan rasa dingin di telapak kaki. Namun semuanya terasa begitu asli.
Neomene menjatuhkan dirinya lebih dalam saat merasakan kecupan samar di kening. Sebuah kecupan penuh kedamaian. Cinta yang tidak bisa dia temukan di jalan raya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro