Part 2 - Cum Corde
Sejujurnya, hal pertama yang terlintas dari pikiran Haku ketika melihat rakyat biasa terjerat ke urusan mereka adalah "masalah baru". Terima kasih pada Taiga dan segala keberadaan sembrononya, dia harus tetap di tinggal di kereta untuk menangani masalah tambahan yang mereka--ah, tidak, lebih tepatnya, dia dapatkan.
Siapa yang akan sangka sesuatu yang dia nilai "merepotkan" akan berubah menjadi "seseorang yang ingin dia lindungi"? Bila Zenji tahu akan pandangannya pada murid terhormat mereka, pemuda itu pasti akan mengejeknya dengan barisan kalimat penuh bunga dan percikan warna, diselingi dengan ucapan "bodoh" atau mengatakan bahwa Haku sudah jatuh ke dalam pesona tak terduga murid baru tersebut.
Makanya, dia tidak ingin seseorang yang begitu dia sayangi menghilang tanpa kabar begitu saja.
Mungkin dia berlebihan saat ini. Keamanan sekitar akademi telah bertambah ketat sejak kejadian Neomene berhasil kabur, bahkan masih sempat-sempatnya mengacungkan jari tengah pada kamera lalu terbahak dengan langkah cepat dan ringan seperti angin. Tidak butuh waktu lama bagi gadis itu kembali, ekspresi gelap dan bibir rapat, seolah dia baru saja melihat sesuatu yang lebih horor daripada anomali kelas B.
"Eh, Haku-san, kau ingin pergi kemana?" Subaru mengintip dari balik pilar kayu. Mochi beragam rasa dan teko penuh teh hangat berada dalam genggaman.
"Mau cari udara segar sebentar. Dan, aku boleh minta tolong?"
Subaru mengangguk, dilengkapi dengan senyuman lembut khasnya. "Tentu. Mau aku ambilkan payung juga?"
"Kalau itu tidak usah," Haku berdeham pelan, "Sepertinya aku sangat lama di luar, jadi kau bisa mulai acaranya tanpa aku."
"Apa tak apa? Kita tidak keberatan menunggumu."
Haku tertawa pelan. Walaupun pulau dimana Darkwick merupakan sebuah anomali, dia tidak begitu yakin jika anomali itu dapat mengubah cuaca ekstrim musim dingin tahun ini.
"Anak-anak akan kelaparan kalau menungguku. Duluan saja, aku akan kembali sebelum jam malam."
Kekhawatiran berenang jelas di kedua netra Subaru, ditambah dengan keraguan mengetahui badai salju di luar asrama bukan sesuatu yang bisa diajak bicara. Namun, dia tidak bisa menghentikan Haku yang terlihat buru-buru ingin keluar, terlihat dari matanya yang melirik hati-hati pada arloji di pergelangan tangan kanan.
"Baiklah," gumam Subaru pasrah, "Kembali dengan selamat, Haku-san."
Haku hanya tertawa pelan mendengar ucapan tersebut.
-
Mungkin apa yang dikatakan Subaru sebelum dia pergi adalah doa penting.
Jika dia pergi beberapa detik lebih awal, dia sudah tertimpa dalam tumpukan salju. Kursi taman yang dia ingat berderet rapi tak terlihat di tempatnya. Keberadaan tempat peristirahatan sejenak itu dihapus habis oleh segunung salju tebal.
Haku merinding pelan, merasakan dingin mengigit pundak dan ujung jarinya perlahan-lahan. Deru nafas yang dia hembuskan membeku di ruang kosong. Hanya dari observasi itu saja dia sudah tahu suhu udara telah menyentuh angka minus. Manusia biasa pasti membiru jika berkeliaran di suhu seperti ini.
Makanya dia bingung mengapa seorang manusia seperti Inspector ingin berkeliaran di cuaca ganas. Bahkan Ghoul seperti dia ogah untuk sekedar jalan-jalan singkat di cuaca dingin.
Jadi, ngapain dia "jalan-jalan singkat" di momen sekarang?
Haku juga perlu pertanyaan jelas untuk tingkahnya sendiri.
Panggilan disambut dengan suara operator, mengatakan nomor yang dituju tidak dapat dihubungi. Rasanya Haku ingin menghela nafas sedalam mungkin, bertanya mengapa dari sekian banyak kesempatan yang ada nomor tersebut tidak dapat dijangkau.
Apakah hari natal begitu menyakitkan gadis itu lebih memilih mengurung diri daripada ikut merayakan? Apakah hari-hari lama bersama sang ayah membawa trauma mengerikan hingga keberadaan pohon natal hanya membawa rasa pedih? Apakah kematian figur nenek hanya membawa kehampaan di dalam kotak hadiah?
Haku sangat paham hal tersebut. Dia juga sangat paham bila Neomene tidak ingin merayakan hari besar bersama dengan orang-orang yang hanya memperlambat proses penyembuhannya. Tetapi Haku bermohon, jauh di dalam hatinya, kepada dewa yang sudah lama dia tinggalkan, agar dia bisa menemukan gadis itu--entah dalam keadaan biru atau hangat. Haku hanya ingin dia selamat tanpa luka--
"Haku-kun?"
Kepalanya menoleh cepat ke sumber suara melodis.
Sebuah keberadaan muncul di antara tumpukan salju menggunung. Seseorang yang dia cari-cari hingga berdoa sepenuh jiwa berada di sana, duduk di antara es lembut dengan beberapa butir putih menumpuk di kepala dan pundak. Keranjang rotan penuh korek api berada di atas pangkuan, menjadi pegangan kenyamanan yang tidak dapat Haku mengerti ketika gadis itu menjelaskan padanya beberapa bulan lalu.
Rasanya dia ingin jatuh ke tanah atau memeluk gadis itu. Pada akhirnya, Haku tidak melakukan kedua dari pilihan tersebut; dia tersenyum pasrah, mencoba memaklumi keberadaan yang suka hilang-hilang. Hatinya tidak kuat membawa diri untuk memarahi Neomene.
"Kamu beneran suka buat orang lain khawatir, ya?" gumam Haku pasrah. "Ayo, aku antar--"
Kata selanjutnya mati di ujung lidah saat menyadari tatapan kosong Neomene. Setengah nyawanya masih terjebak di alam mimpi.
Helaan nafas tertahan keluar dari bibir. Haku menggumamkan kata maaf sebelum mengangkat gadis itu, menariknya ke dalam dekapan ketika dua tangan memangku pundak dan paha Neomene. Keranjang rotan berpegang erat pada jemari Haku yang gemetaran oleh dingin.
Kepergian mereka meninggalkan jejak yang segera menghilang oleh hujan salju kedua.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro