Page 2
.
.
.
Selembar surat tergeletak di atas lantai, Eli membuka surat tersebut, melihat nama-nama yang tertulis di sana. Lantas, ia pun membacanya dengan suara yang cukup serius.
Edgar Valden.
Akasaki Kumiko.
Emma Woods.
Norton Campbell.
"Ah, aku?" tanya sang gadis dengan helaian rambut biru muda bak gulali. Dia menghela napas, lalu berjalan ke arah Emma, memeluknya setelah tahu bahwa mereka akan menjadi satu team dalam match game kali ini, "siapa pun yang mengatur permainan ini, perlu dipertanyakan karena kenapa kita harus berpasangan dengan Mister Norton?"
"Siapa juga yang mau berpasangan denganmu?"
Norton menimpali, mendecih tatkala disinggung oleh patissier tersebut. Dalam diamnya, Edgar memperhatikan kedua orang itu yang tengah bercengkrama dengan tidak bersahabat. Kedua tangannya menyilang di depan dada; tidak suka akan kedekatan Kumiko dan Emma, serta adu mulut antara Kumiko dan Norton yang tak bisa dipisahkan tiap kali berjumpa seruangan.
"Merepotkan," tanggap Edgar dengan penuh penekanan, memutar kedua irisnya.
Mendapati sang pelukis dalam keadaan hati yang tak ramah, Kumiko lantas melangkah mendekat. Terkejut, Edgar tersentak dengan pipi yang merona merah. Namun, ia tidak membuka mulutnya. Jika ia mengangkat suara sekarang, pastilah suaranya akan terdengar cukup aneh.
"Mister Edgar! Thanks for having me! Aku menantikan permainan kita bersama nanti!"
Edgar tidak menjawab, sibuk terdiam sembari merangkai kata-kata di dalam kepalanya. Tak kunjung direspon, gadis itu mengembungkan pipinya. Setelah perkenalan silam yang tak begitu menyenangkan di antara mereka berdua, mereka terkadang bertukar obrolan; baik di ruang makan, lobi, greenhouse, atau bahkan di depan kamar masing-masing. Karena itulah, saat ini mereka nampak dekat.
"Mister Edgar, apa kamu marah denganku?"
Kali ini, si gadis kembali berujar. Iris biru tua sejernih lautan yang menatap ke arahnya itu, bagaimana bisa Edgar menolaknya? Jujur saja, ia hanya tak tahu bagaimana ia harus mengatur detak jantung yang kian cepat ini tiap kali bersama dengannya. Terlebih, dengan sepasang mata yang mengarah ke mereka.
"Diamlah. Aku tidak marah. Jangan terlalu berisik, hmph," balasnya ketus.
Oh, ia sebenarnya tidak bermaksud seperti itu. Namun, setelah sekian lama tidak bertemu dan berada di lingkungan yang kedua orang kesayangannya telah tiada, sangat sulit untuk kembali pada dirinya yang penuh afeksi itu. Iris milik Edgar lalu bergulir, hanya untuk menemukan Kumiko dengan ekspresi wajahnya yang muram.
Sudah pasti karena respon Edgar.
Ia akui, cemburu menguasai dada dan pikirannya, membuat ia bertingkah tak rasional. Tetapi, hal yang paling ia benci adalah raut wajah sedih milik Kumiko. Meski terlihat enggan, tangan Edgar tetap meraih, mengarah ke Kumiko, dan mengelus kepalanya dengan lembut. Ia mungkin sudah lupa akan sensasi ini, namun perasaan familiar tetaplah membekas.
Kumiko mengerjap, menatap Edgar dengan kebingungan. Ia tidak akan bosan untuk melakukan hal ini pada sang gadis; bila saja senyum penuh manis dari Eli, Emily, Fiona, Alice, dan Emma, lalu seringai mengejek dari Naib, Norton, dan Freddy, sisanya menatap dengan bengong, berusaha memproses suasana kini.
Oh, sungguh, jika bukan karena orang-orang seperti ini di manor, Edgar dengan senang hati akan terus melanjutkannya hingga rambut Kumiko berantakan. Baiklah, itu hanya perumpaan saja, ia tidak tega hati akan merusak tatanan rambut sang gadis.
"Kita keluar ... saja," ujar Edgar.
"Iya, iya, silahkan keluar dari ruangan, ya. Para nona dan tuan burung yang lagi bermesraan," timpal Orpheus seraya menutup matanya, menikmati adegan tersebut. Kalau saja ia adalah penulis romansa, sudah pastiーlupakan.
"Berisik!" teriak Edgar.
Tak ingin berlama-lama di sana, Edgar menarik tangan Kumiko, membawanya menuju greenhouse. Edgar tahu, Kumiko tidak mengerti akan ledekan dari para penghuni manor, hanya saja ia sudah tak tahan bila harus bertahan dalam ruangan yang sama dengan para pengejek.
Tibalah mereka di tujuan, kaca yang melindungi dari atas hingga bawah, lalu sebagian besar dipenuhi oleh warna hijau pertanda tanaman segar.
"M-mister Edgar?" panggil Kumiko.
Edgar tersadar bahwa mereka berdua masih menggenggam tangan satu sama lain. Pelukis hebat itu menghela napas, tak ingin untuk melepasnya, namun harus. Lantas, ia memalingkan wajah, menatap ke arah beberapa tanaman sebagai pengalih perhatian, "Hei, cerita kesukaanmu apa?"
"Cerita?"
"Iya, jangan buat aku mengulangi perkataanku terus, dong," ujarnya dengan dahi yang mengerut, kesal karena gadis itu selalu saja bertingkah bodoh. Herannya, Edgar malah tertarik dan jatuh lebih dalam kepadanya.
"Hm, Snow White, mungkin?"
Masih sama.
"Aku selalu ingin diselamatkan oleh pangeran, Mister Edgar! Terus, aku suka dengan musim dingin dan salju. Hamparan putih sejauh mataku memandang, bukankah itu adalah pemandangan yang indah?"
Hal itu tidak pernah berubah.
"Heh, kalau hal yang seperti itu saja kau bilang indah, maka matamu perlu diperiksa," balas Edgar. Mendengarnya, tawa kecil lolos dari bibir Kumiko, sebuah pemandangan yang mampu membuat Edgar menahan napas. Hal yang ia lihat saat ini, lebih indah dari karya seni mana pun. Terlalu melebih-lebihkan, tapi begitulah yang Edgar rasakan.
Andai saja ... keindahan itu menjadi abadi. Tidak masalah, meski gadis itu telah melupakan momen bahagia mereka berdua.
Iris biru Edgar nampak menggelap, walaupun hari belum berganti menjadi sore. Tengah hari dengan terik mentari yang menusuk kulit, meski begitu, kaca milik greenhouse melindungi mereka berdua.
Entah sejak kapan, tangan Edgar kembali menyentuh Kumiko. Namun kali ini, jari jemarinya telah berada di pipi sang gadis, bersentuhan dengan hangat. Edgar masih ingat bahwa suhu tubuh gadis itu selalu hangat kecuali telapak tangan dan kakinya.
"Mister Edgar?"
Kumiko memanggil. Tetapi, tidak ada respon. Edgar terlalu sibuk menelisik gadis di hadapannya, terbuai akan seluruh penampilannya yang menggemaskan. Sementara Kumiko hanya terdiam kaku, bingung ingin bersikap seperti apa.
"Mister Edgar?"
Lagi, Kumiko memanggilnya.
"Ha ... kalau saja, aku bisa menyimpanmu untukku seutuhnya," gumam Edgar dengan suara yang cukup berat.
"Eh?"
Sebuah pernyataan yang mampu membuat Edgar tersedak. Ia sendiri tidak sadar, mengapa ia mengutarakan hal tersebut, seperti bukan dirinya sendiri. Lihatlah, ekspresi gadis di hadapannya saat ini yang kebingungan setengah mati. Lantas, ia memijat pelipisnya. Pemuda itu mengajaknya ke sini untuk mencari udara segar, bukan untuk membuatnya takut seperti itu.
"Lupakan. Aku salah bicara."
"Aku tidak masalah, kalau Mister Edgar mau menyimpanku."
Edgar melotot, terkejut akan balasan Kumiko yang tak diduganya. Harapannya terasa dinaikkan. Tetapi, sedetik kemudian ia merasa kecewa, gelak tawa yang terdengar di telinganya itu, sudah pasti bahwa sang patissier menganggapnya sebagai lelucon belaka. Helaan napas panjang dari Edgar pun terdengar.
"Lebih baik, persiapkan saja dirimu untuk match nanti. Buat kue atau manisan yang bagus sana. Aku tidak mau terus-terusan menyelamatkanmu, Kumiko, asal kau tahu saja," ujar Edgar, memalingkan wajah.
"Tapi, Mister Edgar akan selalu ada untukku, bukan? Mister Edgar 'kan orang baik!"
"Kau ... terlalu tinggi menilaiku."
Yah, tapi Edgar akan berusaha.
Edgar Valden akan melakukan apa pun untuk Akasaki Kumiko.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro