Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 1

.
.
.

Seperti merasakan dunianya penuh warna kembali, Edgar mengerjap tatkala mendapati wajah familiar yang tengah duduk di meja makan. Gadis itu nampak sangat menikmati makanannya, mengabaikan suasana sekitar yang penuh orang-orang tak dikenal atau baru saja bersapa. Mungkin, salah satu maksud dari surat tersebut adalah untuk momen ini.

Menyadari sebuah tatapan dilayangkan padanya, ia pun menoleh ke kanan dan kiri, kemudian iris biru tua itu bertemu dengan milik Edgar. Oh, ia tersenyum. Sebuah ulasan sudut bibir yang sangat manis, melebihi minuman yang tengah disajikan di hadapannya kini. Rona merah menjalar di pipinya, sensasi panas juga canggung ikut sebagai efek dari serangan tak bersalah tersebut.

"Uhm, halo? Salam kenal, aku Akasaki Kumiko!" ujar sang patissier, menyapa dengan kikuk.

Iris biru tua dan helaian rambut biru muda yang terang. Pakaian berwarna putih dan rok renda merah, dengan apron. Pita merah putih khas. Yang berubah hanyalah tinggi badan dan gaya berpakaiannya. Selain itu, semua yang berada pada Kumiko masih sama.

Sikap, tingkah, dan senyuman polos.

Bagaimana bisa Edgar mengetahui pekerjaan gadis itu? Di koridor sebelum memasuki ruang makan tadi, beberapa penghuni manor berbisik mengenai sosok menggemaskan itu. Terkutuklah dirinya yang tak dapat mengenal gadis itulah yang menjadi topik obrolan.

Kini, duduk saling berhadapan, menyantap sarapan. Edgar ingin mengangkat suara dengan niat membalas, namun segera ia urungkan. Wajahnya ia palingkan sebagai respon dari sapaan sang gadis. Mendapati respon yang tak bersahabat, senyuman di wajah putihnya itu semakin kikuk.

"Ah, apa aku mengganggu? Maafkan aku."

Ia menggaruk pipinya yang tak gatal, menyudahi sarapan dan bangkit dari duduk. Edgar terdiam, memperhatikan dalam keheningan. Di samping sang pelukis berbakat tersebut, terdapat seorang Jurnalis, lalu di hadapan Jurnalis, seorang novelis ikut menikmati santapan dengan tenang bagai tak mengindahkan kecanggungan di antara dirinya dan Kumiko.

"Aku pamit ke kamar dulu ya, Miss Alice, Mister Orpheus, dan Mister Painter!"

Rupanya, gadis itu telah berkenalan dengan keduanya. Menyisakan dirinya yang tak dipanggil memakai nama.

"Tunggu, Kumiko," panggil Edgar, ikut menjeda, membuat nona Patissier menghentikan langkahnya sejenak.

Sekarang, seluruh perhatian terpusat pada Edgar dan ia sungguh tidak menyukainya. Meski begitu, ia perlu menghilangkan kegundahan yang mulai melanda hatinya hanya karena sebuah detail kecil; Kumiko tak memanggil namanya seperti biasa. Apa gadis itu pura-pura lupa atau sekedar bersikap agar mereka tidak mengenal satu sama lain di manor penuh misteri ini?

"Kau ... tidak mengingatku?"

"Eh?"

Panik, Kumiko mengerjapkan matanya berulang kali dan menggigit bibirnya. Iris itu melirik ke atas, berusaha memikirkan sesuatu. Ah, Edgar mengenali kebiasaan itu, sebuah sikap dimana sang gadis merasa gugup atau cemas. Hanya saja, Edgar paham betul dengan pandangan gadis tersebut padanyaーasing, seolah ini adalah pertemuan pertama mereka berdua.

Kau melupakanku?

Ingin sekali Edgar mengucapkan pertanyaan tersebut. Namun, dari gelagat Kumiko, sepertinya ia tidak perlu bertanya lebih jauh. Maka, ia menghela napas panjang, memutar irisnya dan menggeleng, "Hmph, tidak, ini kekeliruanku. Nampaknya, aku salah orang."

"Benarkah? Baiklah ..."

Dahi Edgar mengerut ketika ekspresi gadis itu berubah menjadi muram, semakin merasa tidak enak. Dia mendecih, ikut berdiri dan mencubit pipi Kumiko.

"Edgar Valden. Sebaiknya, kau mengingat namaku dengan benar. Kalau kau lupa, aku tidak akan memaafkanmu, asal kau tahu saja. Dasar, kau ini benaf-benar tidak sopan, ya."

Pastinya Kumiko merasa bahwa ini adalah pertemuan pertama mereka. Disinari cahaya mentari pagi yang hangat, masuk melalui kaca jendela ruangan. Namun tidak, pertemuan ini merupakan kesekian kalinya mereka berjumpa. Meski dengan jarak waktu yang cukup lama, menjadi kekosongan bagi relung hati Edgar.

Lantas, setelah puas mencubit pipi Kumiko, Edgar mendengkus, suara sarkasnya terdengar menggema di ruang makan hingga hampir ke koridor. Ia berujar, "Jangan biarkan orang-orang menyentuhmu seperti ini, terutama orang asing. Kenapa kau mengizinkanku mencubitmu?"

"Karena aku tidak tahu kalau Mister Valden akan mencubitku?"

Edgar mengernyit, menunjukkan tanda tidak senang karena dibalas dengan tanggapan begitu. Oh, Kumiko semakin kebingungan dibuatnya. Kira-kira apa yang membuat seorang pelukis hebat di hadapannya saat ini merasa kesal? Apa benar kalau Kumiko bernapas saja sudah membuat orang lain risih akan kehadirannya?

"Valden? Kau memanggil yang lain dengan nama depan mereka, tetapi aku disebut dengan Valden? Dimana tata kramamu itu?"

Gadis itu memejamkan matanya, sedikit merasa takut tatkala menerima tatapan sinis dari Edgar. Namun, ia mengerucutkan bibirnya, membuat ekspresinya semakin lucu. Tentu saja, begitulah dari sudut pandang Edgar.

"A-aku memanggil Miss Alice dengan nama depannya karena Miss Alice memberiku permen tadi! Miss Alice juga bilang kalau tidak perlu formal dengannya! Tapi, kalau Mister Valden 'kan ... aku dengar, anda adalah bangsawan," ujar Kumiko, nadanya semakin menurun di akhir kalimat, menunjukkan ketidakpercayaan diri dengan jelas.

Ah, benar.

Sosok yang Edgar kenal di hadapannya kini tidak mengenalnya balik. Hanya ia dan sekelebat memori hangat penuh warna ini yang tersimpan. Ia seorang diri. Ruangan saat ini hanya bersisa mereka berdua. Entah sejak kapan, jurnalis dan novelis yang tengah makan tadi telah selesai menyantap sarapannya dan melenggang pergi.

"Lakukan hal yang ... sama."

Edgar kembali mengangkat suara, kali ini dengan berbisik dan memalingkan wajahnya. Kedua tangannya bersilang di depan dada, iris birunya pun tak menatap wajah Kumiko sama sekali.

"Apa?"

"Apa kau tuli? Aku tidak akan mengulangi perkataanku. Sampai jumpa. Hmph."

Sebuah kalimat perpisahan yang terdengar angkuh. Mendengar itu, Kumiko hanya bisa mengerucutkan bibirnya sembari menatap punggung lelaki yang semakin menipiskan jarak di antara mereka berdua. Ia menoleh, menghela napas seraya memperhatikan langit biru di balik kaca jendela.

Gadis itu datang ke sini untuk mencari sesuatu yang berharga. Mana mungkin ia kembali sebelum mendapatkannya? Banyak misteri dan hal baru yang tak ia kenal, bertemu dengan orang-orang asing, berkenalan dan perlu memasang ekspresi manis dan baik. Itu melelahkan.

Jikalau bukan karena untuk mencari kakaknya yang hilang, ia tak akan menginjakkan kaki ke tempat ini. Begitulah pikirnya. Namun, mengapa sosok pelukis itu terasa familiar di hadapannya? Ia tidak mengenalnya, tetapi merasa tidak asing, meski menerima tingkah tidak bersahabat dari sang pelukis hebat.

"Perlukah aku bersahabat dengannya?"

Pelukis, sebuah pekerjaan yang Kumiko kagumi. Walaupun, mau sekeras apa pun ia berusaha, impian itu tidak akan ia gapai. Patissier hanyalah satu dari sekian hal yang ia kerjakan untuk menutupi perasaannya, distraksi yang ia lakukan agar hatinya tidak terluka lebih jauh.

"Yah, apa pun itu ..."

Kumiko tersenyum, menangkupkan kedua tangannya dengan harapan, semoga semua yang datang ke tempat ini dapat menemukan kebahagiaannya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro