Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#23

|| 1336 words ||

Kami melakukan perjalanan selama puluhan menit membelah hutan belantara. Selama itu, kami empat kali istirahat, dan tiga kali sembunyi saat mendapati dua ekor beruang jantan tengah mengais sisa daging membusuk di kubangan tanah becek. Baunya menyengat, bahkan aku agak menyesali mengganti pakaian, karena aroma daging busuk itu seolah menempel di helai demi helai kain, hingga menembus kulitku.

Dan kali ini adalah pemberhentian kami yang ke-lima. Aku boleh-boleh saja melanjutkan perjalanan bahkan sampai satu jam sekali pun di sini, tetapi kondisi Anya dan Pablo—meski keduanya telah perlahan pulih—tidak memungkinkan untuk terlalu lelah. Khususnya gadis berkaca mata itu. Kendati Anya bilang padaku jika ia bisa berjalan sendiri tanpa limbung ke kanan-kiri, aku tetap berkeras menuntunnya. Hingga akhirnya ia luluh dengan bujukankku.

"Dulu tak parah seperti ini," papar Alea. Gadis itu di depan kami semua, agak jauh sekitar satu meter lebih. Kaki kanannya menendang seonggok tulang ke sembarang arah, hingga menimbulkan bunyi becek nan aneh. "Aku yakin Bramacorah melakukan ini bukan tanpa alasan."

Pablo terbatuk, tetapi kemudian dia menetralkan suaranya. "Kau yakin menyalahkan semua ini padanya?"

"Kau berpihak padanya, ya," ujar Alea sambil terkikik. "Betapa ironisnya."

"Kalau bukan Bramacorah, siapa lagi?" Kanda menengahi. Sepertinya cukup tahu agar tak menyinggung perasaan satu sama lain.

"Aku tidak menyebutkan kalau Bramacorah tak bersalah. Tentu semua ini karenanya. Bahkan, aku seperti melupakan panorama langit malam dan siang di atas sana," jawab Pablo. "Hanya saja, aku berpikir kalau Bramacorah tak sepenuhnya melakukan ini semua. Logikanya, tak mungkin dia menyihir Hurrah dalam semalam tanpa sebab."

"Atau mungkin itu dilakukannya semata ingin," celetuk Anya. Kami terdiam sesaat, tetapi sebelum salah paham, gadis ini menambahkan, "maksudku, Bramacorah membuka portal sebagai pintu ke Hurrah dan menutupnya semaunya saja. Seakan-akan ia tengah bosan dengan hidupnya sendiri, lalu tiba-tiba ingin bermain untuk menghilangan rasa bosan itu—yah, katakanlah begitu."

Dalam ingatanku, Bramacorah adalah Raja dari Alam Bawah sebagai penguasa atau penjaga Hurrah. Nah, untuk mendapatkan posisi itu ia melakukan sesuatu pengkhianatan. Lalu posisi nenekku jatuh—karena awalnya Penjaga Hurrah adalah nenekku. Kalau ditimpali lagi dengan kalimat-kalimat makhluk berbentuk asap mengenakan jubah sebelumnya, barangkali nenekku mengikuti Bramacorah karena terpaksa, bukan untuk menyelesaikan perjanjian atau apalah.

Namun, sekali lagi, ini Hurrah. Apa yang bisa benar dan salah?

"Dia susah ditebak," kata Kanda menanggapi. "Selama ini kami yang berada di sini hanya tahu ia sebagai penguasa Hurrah. Kami tak pernah tahu dia ini perawakannya macam apa."

"Berarti, orang-orang di Daratan Hijau itu ... bawahan Bramacorah?" tanya Anya. Dia tampak berpikir, memproses segala hal yang baru saja menyambangi pikirannya.

"Bisa saja," kata Alea. Gadis itu mengetuk-ngetuk ujung sepatu but nya di tanah becek dengan sengaja. "Makanya Para Pemburu berangkat ke sana, barangkali ingin menghakimi Bramacorah atas apa yang ia lakukan selama ini. Itulah mengapa mereka juga suka membunuh, memburu dan menjajah, karena mereka ingin balas dendam pada Bramacorah."

"Kalimat yang fantastis," sarkas Pablo. "Kalau Para Pemburu ingin membalas dendam pada Bramacorah, buat apa mereka menjajah dan membunuh isi Hurrah, sementara mereka tak mengenal Bramacorah?"

Alea termangu dan diam untuk waktu yang lama. Aku pun begitu, entah apa motif Bramacorah menciptakan dunia sekelam ini. Mungkinkah ada sangkut pautnya dengan nenek ...? Aku sejujurnya ingin bercerita soal Bramacorah, nenekku, dan makhluk-makhluk aneh yang kutemui dalam mimpiku sebelumnya. Namun, sisi diriku yang lain tak membiarkan itu terjadi.

"Intinya semua ini bermuara pada Bramacorah. Hurrah, Para Pemburu, Alkonost, Enterma dan kita," ujar Pablo kemudian. Lalu ia bangkit, bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Bermenit-menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan. Kata Pablo, tak lama lagi kami sudah tiba. Aku beruntung bisa bertemu dia, Kanda dan Alea. Harapan kecil untuk membawa kami pulang kembali menyeruak timbul. Meski bagian buruknya, aku harus menemui nenekku dan Bramacorah.

"Mengapa kau tak memberitahu tahu tentang mimpimu pada mereka—bahwa kau ketemu nenekmu dan makhluk-makhluk asing yang kau ceritakan padaku dan Anya sebelumnya?" Vader setengah berbisik.

Aku menoleh padanya. Mengesampingkan bekas goresan ranting berbentuk spiral di pipi kirinya, wajah Vader sepenuhnya telah bersih dari noda-noda tanah, jelaga dan darah. Anak itu pun memakai bandana hitam yang melilit kepalanya, entah darimana ia dapatkan. "Mereka tak seharusnya tahu," kataku pada Vader.

"Namun kau tetap harus memberitahu mereka. Lihatlah bagaimana mereka menceritakan tentang Bramacorah yang misterius," kata Vader, "ceritamu mungkin saja akan membantu!"

"Diamlah," kataku tajam, "kau tak akan paham." Lalu dengan cepat menuntun Anya melangkah di balik punggung Pablo, Kanda dan Alea.

Kudengar Vader menceletuk beberapa saat kemudian, yang—tentu saja—tak kuhiraukan. Katanya, "Kapan, sih, kita bisa sependapat?!"

"Kalian berdua harus akur sekali-kali," bisik Anya padaku. Dia semakin mengeratkan lengannya yang mengalung di belakang leherku.

"Mana bisa aku akur dengan orang bahlul," kataku, "otaknya nggak ada."

"Tapi," jawab Anya, "sedari tadi kau sadar tidak, kalau dia nggak banyak bicara?"

Ada benarnya. Biasanya Vader paling banyak berceloteh tak jelas. Aku melirik pemuda itu di belakangku, dia berjalan dengan ekspresi muram. Tambah lagi mulutnya sedang menggumamkan sesuatu dengan kesal. Kataku, "Vader sedang tidak baik-baik saja."

Dalam perjalanan, aku terus-terusan teringat sesuatu ... seperti ada yang kurang. Namun, aku tak terlalu bisa menjelaskannya. Seingatku, sejak memulai perjalanan, sampai terjebak di Hurrah, aku sedang bersama Anya, Vader dan—

"Peri Mortem," kataku. Anya menoleh, "Di mana dia?!"

Satu hal yang pasti, aku betul-betul melupakan makhluk fantasi Hurrah yang itu. Padahal, jauh sebelum kegelapan dan kesuraman terjadi di sini, Peri Mortem adalah kunci. Ya, meski ia sebetulnya tak mengingat dengan jelas kronologinya bagaimana—karena ia mengikutiku dan nenek usai mengunjungi Hurrah waktu lalu. Nah, saat itulah barangkali Hurrah diselimuti dunia gelap. Entah dunia Hurrah dan duniaku memiliki perbedaan waktu yang sama atau bahkan di tempat ini lebih lama.

Karena kepanikan yang kuciptakan, Kanda, Pablo dan Alea bahkan ikut memberikan refleknya padaku. Mereka semua menoleh ke belakang dengan kening menekuk sempurna. "Ada apa?" tanya Kanda.

"Peri Mortem," kataku, "sedari tadi kami melupakannya!" Karena dilanda euforia, aku melepas rengkuhan lenganku di pundak Anya, hingga gadis itu hampir saja rubuh. "Di mana dia?!"—Aku menoleh pada Vader—"kau melihatnya?!"

Vader pun sama, ia tampak baru ingat kalau seharusnya ada Peri Mortem di antara kami. Pemuda itu menggeleng, lalu memasang ekspresi mengingat-ingat, tetapi lima detik kemudian ia gelengkan kepalanya lagi.

"Siapa, sih, dia?" tanya Alea kemudian.

"Makhluk Hurrah," jawab Kanda. Sementara, kening Alea semakin mengerut. "Seperti namanya, Peri. Dan mereka terbang."

"Mungkin ... dia menghilang saat kita di area pilar segi enam sebelumnya," kata Vader berpendapat. Lalu dia dengan sengaja mengeraskan suara ketika berucap—dan keningnya ia angkat sambil menatapku, "Siapa suruh kau pingsan, lalu memimpikan hal absurd dan aneh."

Aku melayangkan tatapan "berani-beraninya kau, beruk—" padanya, tetapi belum sempat ingin adu bogem dengan pemuda itu, lalu Kanda berbicara yang mengarah pada apa yang Vader ucapkan barusan.

"Pilar segi enam," katanya tampak mengingat-ingat. "Konstruksi bangunan batu pilar itu dulunya—dari cerita orang tua kami—sebagai akses gerbang menuju masa lalu. Mereka yang membukanya, biasanya bakal masuk ke dalam lintasan waktu yang bergerak mundur, lalu akan berada di versi Hurrah puluhan tahun yang lalu. Namun, pilar segi enam itu dikatakan sudah menghilang—"

"Tidak menghilang," koreksi Pablo. Pemuda itu tengah berdiri di antara Alea dan Kanda. Meski yang kutahu Pablo baru saja siuman dari pingsannya, aku seolah terdorong untuk percaya pada perkataannya—aku pikir ia melantur. "Tapi disembunyikan oleh Bramacorah."

"Mengapa?" tanya Alea, "apa yang ia tutupi di sana?"

Pablo mengedikkan bahu sebagai reaksi. Lalu ia menatap kami bertiga. Pupil kehijauannya mengerjap ganjil. "Sudah seharusnya aku tidak membantumu jatuh di lubang waktu itu," katanya tajam. "Kalian bertiga memiliki sesuatu tentang Hurrah, tetapi sepanjang perjalanan berusaha untuk menutupinya."

Aku berdengap, "Tidak—"

"Padahal aku menyadarinya, hanya saja, aku ingin menunggu. Sampai mana topeng itu akan berakhir?" sela Pablo cepat. Lalu pemuda itu melangkah lebih dulu memasuki hutan pinus yang rindang, meninggalkan kami semua tanpa sepatah kata pun.

Kanda dan Alea tampak tertegun. Dalam waktu yang singkat, kukira Kanda bakal marah—karena semestinya itu yang harus ia lakukan saat ini—tetapi dia malah mendongak padaku sambil berkata, "Maaf. Tolong dimaklumi sikapnya—dia baru saja usai bangun dari pingsannya. Sodaraku itu belakangan ini memang agak sentimental."

Syukurlah. Kalau begitu, aku tak harus menceritakan semuanya pada mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro