#18
|| 1226 words ||
Jangan berpikir kalau Alam Atas yang disebut wanita tadi adalah sebuah permukiman di atas langit atau kerajaan melayang di udara. Yang dia maksud dengan Alam Atas ini sama saja seperti keberadaanku sekarang. Malahan, aku menduga-duga kalau Alam Atas adalah hutan belantara di kotaku.
Awalnya, aku bingung kala dia bersedekap memperhatikanku dari atas sampai bawah. Seolah-olah matanya bagai pemindai logam. Wajahnya tidak begitu menampakan gurat-gurat ekspresi berarti, tetapi instingku seperti mengatakan kalau dia sedang menilai penamilanku.
"Baiklah," katanya saat kami masih berada di tengah pilar segi enam. Sudut bibirnya terangkat kecil. Sebuah tampang menjengkelkan, lebih tepatnya. "Nenekmu pasti menangis ketika melihatmu."
Aku bertanya, "Terharu?"
"Karena tampang menyedihkanmu, Bung." Wanita ini melesat macam asap mengelilingiku. Badanku terikat rasa dingin sesaat. Sekian detik berikutnya ia mewujud seperti sedia kala di depanku. "Nggak mirip pahlawan sama sekali."
Aku ingin bilang kalau aku pernah kejar-kejaran dengan monster, berhasil bertahan di dalam lubang ceruk ketika nafas berembus di ujung hidung, kocar-kacir menghindari puluhan anak panah di gelap gulita. Kalau dipikir-pikir, semua itu lebih masuk ke dalam definisi pengecut daripada pemberani. Dan kata pengecut tidak ada di kamus hidup seorang pahlawan.
"Jangan muram seperti itu," lanjutnya seakan-akan menduga kalau aku sebentar lagi bakal menjerit histeris. "Kau yang memiliki niat untuk membawa teman-temanmu keluar dari Hurrah sudah bisa dibilang pahlawan. Siapa nama mereka tadi? Yah, Zhalik dan Barbara."
Aku bertanya-tanya apakah dia sungguhan memuji atau cuma menghiburku saja. Dan aku sempat heran apakah dulunya para demigod pernah menghafal abjad. Namun aku berusaha tak begitu mempersalahkannya dengan menampilkan tampang tersenyum, "Trims. Sangat senang mendengarnya."
"Tentu," katanya. "Nah, sekarang tutup matamu."
"Aku nggak bisa berjalan. Dan kita tidak akan sampai pada Nenek dengan tutup mata," jawabku. Sepertinya dia melupakan kalau aku ini manusia asli alih-alih demigod layaknya dia yang seenak dengkul ke sana kemari.
"Memang, nggak pakai kaki," jawabnya sambil mengamatiku. "Tapi pakai sihir."
Aku mendengus, tetapi tetap menuruti perintahnya. Kelopak mataku menutup sempurna, lalu embusan angin sedingin es seperti tengah mengelilingiku beberapa detik. Seolah tubuhku berpindah dalam lemari pendingin entah bagaimana caranya.
"Nah, sekarang buka matamu," perintah wanita ini.
Hanya seperti itu perjalanan kami. Lalu sama seperti sebelum-sebelumnya: aku berpindah tempat. Sebuah aula kelewat luas terbuat dari bebatuan kristal biru berkilau. Aku tak begitu yakin menyebut aula, tetapi aku seolah dijejalkan dalam gua kristal. Aroma harum seperti tanaman basah membuat hidungku mengerut. Di depanku, ada lima undakan untuk menuju empat singgasana yang terbuat dari batu kristal. Seperti huruf 'U' terbalik. Masing-masing singgasana diduduki oleh seseorang, kecuali paling kiri di ujung.
Kalau boleh jujur, sih, ketiga orang yang sedang duduk di atas singgasana sepertinya bukan manusia. Maksudku, bukan manusia sungguhan. Paling kanan, ia memakai jubah merah panjang yang kepalanya ditutup oleh tudung. Aku tak bisa melihat mukanya. Pada area yang seharusnya wajah berada, hanya ada kegelapan. Asap hitam meliuk-liuk di sekitarnya. Seolah-olah dia panci yang mendidih.
Kedua, dia ini bersetelan seperti prajurit-prajurit kerajaan—rompi zirah, pedang tajam nan berkilat jahat di tangan kanan, serta perisai silver keperakan tergeletak di bawah kakinya. Kulit wajah pria ini berwarna khas lelaki asia, dipadu dengan bibir kehitaman serta brewok dan sayat bekas luka lama di area pelipis. Kedua bola mata hitamnya mengamatiku lekat. Aku bertanya-tanya di manakah dia perang sebelum ini.
Singgasana ketiga, yang ini kurasa paling absurb, tidak normal dan membuat asam lambungku kambuh. Nah, coba bayangkan seekor serigala besar pakai rompi hitam tengah duduk di bangku. Intinya, dia bukan manusia. Sungguhan binatang serigala berbulu hitam, dipadu corak putih. Moncongnya terarah padaku, pupil matanya yang merah bersitatap denganku. Jadi, serigala ini mengamatiku?
"Selamat datang," kata seseorang. Serak nan berat. Kuasumsikan itu milik lelaki.
Mataku bergerak mencari sumber suara, tetapi sebelum aku mengira pemiliknya sang serigala, hawa hangat bertiup membuat tengkukku bergidik. "Penjaga Hurrah," lanjut suara itu.
"Calon," sela wanita yang serba putih di belakangku. Rupanya dia masih di sini.
Aku menoleh padanya, dan dia balas dengan mengedipkan mata jahil. Seketika aku meragukan perempuan itu sebagai demigod.
Bahuku mengedik sebagai reaksi, lalu menghadap ke depan lagi. Betapa terkejutnya saat tepat sejengkal dari depan batang hidungku, asap gelap pekat menggumpal bak bola meriam yang kebetulan berasap dan slow motion.
Tubuhku terjengkang, kereflek-anku membawa kaki melangkah mundur tiga kali. Keseimbanganku hampir rubuh, kalau saja wanita bersetelan serba putih ini tak mengubah wujud menjadi asap, lalu menahan bobot tubuhku melalui punggung. Kuposisikan tubuhku seperti semula, wanita ini sudah sepenuhnya berubah lagi jadi sediakala, dan entitas tak dikenal dihadapanku ini semakin mundur.
Ternyata ... dia tak sepenuhnya segumpal asap hitam. Namun, lebih dari itu; ia membentuk suatu kesatuan berwujud. Berjubah keabuan panjang, memiliki kedua tangan yang hanya berbentuk asap hitam. Lalu ... aku tak tahu ingin mendeskripsikannya bagaimana lagi. Kesan pertamaku saat melihatnya adalah, dia ini seorang malaikat pencabut nyawa.
Oke, di kedua kiri-kanan tubuhnya itu tampak seperti tangannya, meski asap-asap hitam tampak berkobar. Karena, dibagian kirinya, ada sebuah tongkat panjang, yang ujungnya berbentuk sabit. Runcing dan kelihatan tajam. Nah, untuk bagian wajah, tak ada yang bisa kulihat. Ia mengenakan tudung jubah, dan bundaran yang seharusnya disebut kepala itu cuma mewujud asap hitam. Bahkan, seluruh tubuhnya seperti mengepul panas. Wujud apapun yang melayang dihadapanku ini seperti asap hitam yang kebetulan memakai jubah, dan memegang tongkat celurit.
"Selamat datang di Tanah Nusa." Dia bersuara. Entah mengapa, kali ini lebih berwibawa dan membuat merinding. "Wahai, Anak Muda."
Aku semakin mundur. Mungkin saja, seperti ini wujud malaikat yang bakal mencabut nyawa seseorang ketika akan mati.
"Banyak hal yang terjadi di sini setelah kami kehilangan Adamine," katanya. Ia bergerak, berembus mengitari tubuhku. "Dan yang terjadi, semuanya adalah hal buruk."
Kalau boleh jujur, Bung, aku tak kenal siapa dirimu dan Adamine. Jadi, berhentilah mengatakan sesuatu yang sepertinya akan membuat kepalaku dipenuhi rentetan pertanyaan penuh misteri. Cobalah untuk duduk mengopi, lalu kita bisa saling berkenalan sebentar.
"Namun, sebelum Adamine benar-benar menghilang, dia pernah meninggalkan sebuah wasiat kepada kami," tambahnya. Lalu, dia berembus dihadapanku. Melayang di udara kosong. "Dia memiliki seorang cucu yang pantas untuk menggantikan posisinya sebagai Penjaga Hurrah. Dan kau adalah orangnya. Penjaga Hurrah generasi ke-10."
"Hanya manusia dari Alam Seberang yang bisa menjatuhkan Bramacorah." Seseorang menceletuk. Kepalaku menengadah, dia adalah seorang lelaki yang bersetelan perang. Sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya dia ingin pergi perang kemana.
"Tunggu dulu—siapa Adamine?" tanyaku memberanikan diri. "Dan di mana Nenekku? Katanya—" Aku melirik wanita bersetelan putih di kiriku. "—aku bisa bertemu dengan Nenekku. Di mana dia?"
"Adamine adalah Nenekmu." Seseorang lain berkata, dia adalah si serigala berompi hitam. Ketika pasang mata kami beradu, aku cepat-cepat menghindar. Pupil hewannya membuatku bulu kudukku berdiri.
"Dia ... Nenekku ...?" Aku mulai ragu. Pasalnya, selama ini aku tak pernah tahu siapa nama nenek. Sekarang, aku merasa kesal dan agak kecewa padanya, pada ayah dan ibu. Bagaimana mungkin untuk yang pertama kalinya kutahu nama nenek dari orang lain.
"Di mana dia sekarang, bukankah dia seharusnya ada di sini—bersama kalian?" tanyaku.
"Seharusnya," kata sang asap hitam. "Namun, Adamine memiliki kesepakatan dengan Bramacorah. Sebuah kesepakatan yang tidak kami tahu, dan dia mengikuti sang Raja Alam Bawah itu."
"Bagaimana caraku ke sana?"
"Ke Daratan Hijau," katanya. Aku ingat, bahwa Pablo dan Kanda pernah mengatakan ini sebelumnya.
Tak lama, aku tidak tahu mengapa tiba-tiba saja gemuruh terdengar. Pijakan-pijakan di bawah kakiku mulai bergetar. Guntur-guntur bersahut-sahutan di luar.
"Pergilah—Adamine butuh kau. Lebih cepat lebih baik," katanya, yang diikuti dengan pusaran asap hitam pekat mengelilingiku, kemudian semuanya gelap.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro