Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#17

|| 1356 words ||

Inginnya, sih, aku berlagak seperti pelindung untuk gadis di sampingku ini. Memeluknya, misal. Tapi yang bisa kulakukan cuma menjerit histeris, sampai-sampai aku bingung mendeskripsikan rasa ranting-ranting kecil dan dedaunan yang masuk dalam mulutku.

Pusaran awan gelap yang mengelilingi pilar-pilar semakin mempercepat lajunya dan memperkecil jaraknya. Tubuhku terasa berat dan ingin putus secara bersamaan akibat tekanan. Seakan sedang ada tangan tak kasat mata yang berbondong-bondong menarik kedua tungkai kakiku dan kepala. Kilatan-kilatan petir sialan ini terus mengumandangkan gemuruh yang niscaya jika lebih lama bakal membuat kuping mengalami ketulian.

Waktu terasa lambat. Setiap detik yang berlalu seperti bermenit-menit. Belakang bola mataku terasa perih, tubuhku keram. Sebetulnya, aku tidak yakin apakah kiranya ini hanya imajinasi atau sebuah delusi saja, ketika membuka kelopak mata berikutnya tempat di sekitarku berubah, secara harfiah.

Aku terbaring di atas bebatuan. Ketika beringsut duduk, belakang bola mataku mendadak perih karena silau. Seluruh tubuhku baik-baik saja. Rasa tercekik, perih dan keram sebelumnya hilang. Seolah aku baru saja bangun tidur di pagi yang cerah.

Nah, pagi yang cerah itu bukan sekadar perumpamaan, tetapi sungguhan terjadi secara harfiah. Pohon-pohon cemara dan pinus berdiri kehijauan. Anakan semak di bawahnya tumbuh subur disertai bunga aneka jenis. Kicauan burung seperti bersahutan di setiap sudut tempat. Cakrawala biru membentang luas. Aku baru saja menyadari beberapa detik kemudian, saat mengedarkan pandangan bahwa aku berada di pilar segienam sebelumnya.

Tempat ini masih bersih dan tampak baru. Aku jadi bertanya-tanya apakah aku terpelanting di era beberapa hari sebelum Gerbang Ephemeral ini dibuat.

Oke, masih banyak hal yang tidak masuk akal daripada hal itu. Salah satunya keberadaan Anya, Vader dan Peri Mortem. Aku heran dan tampak gelisah.

Angin berembus sejuk, membawa aroma bunga-bunga yang harum. Segeralah aku beringsut bangkit. Tulisan-tulisan kuno pada permukaan keenam pilar masih terukir bagus. Jelas atau tidak, menurutku tetap sama ketika kau tak bisa memahaminya sama sekali. Jadi aku abaikan saja sejenak.

Aku tidak lagi lagi mirip gelandangan yang gosong, tetapi sekarang lebih baik. Jadi, aku kepikiran kalau ini benar-benar hanya delusi. Apa yang terjadi berada di luar logikaku.

Aku mungkin sudah seratus persen berada dalam imajinasi, saat melihat asap putih berpendar dari kejauhan. Mataku memipih. Itu seperti aliran air yang melayang di udara mirip cara ular berenang di air. Semakin dekat semakin membesar bentuknya. Hingga tak jauh di depanku, asap putih ini mengubah wujud menjadi seseorang ....

Seorang wanita berkulit kelewat mulus. Rambutnya panjang berwarna putih sebatas pinggul. Di atas ubun-ubunnya terdapat mahkota berbentuk akar yang sepertinya ditempel begitu saja di sana. Seluruh pakaiannya pun berwarna putih, dengan kemilau abu-abu. Gaun panjang, hingga menutupi tungkai kakinya yang sepertinya tak perlu repot-repot dia lakukan, karena asap putih masih membuat pusaran di sana. Aku bertanya-tanya apakah dia ini hantu kuntilanak versi siang hari atau semacamnya.

Katanya, "Wah, lihat, siapa yang datang."

Keningku mengernyit. Wanita muda ini bergerak mendekat. Aku sempat menduga dia tak punya kaki, karena dia leluasa terbang rendah ke arahku seolah-olah ada angin tak kasat mata yang meniupnya dari belakang.

Aku tersaruk mundur ketika tangannya yang mulus tanpa noda ini ingin meraih wajahku. "Kau ini siapa?"

"Yang pasti bukan hantu," katanya. Wah, dia sepertinya tahu isi batok kepalaku. "Jangan takut. Kau mengingatkanku pada 87 tahun yang lalu. Ah, apa 100 tahun yang lalu, ya? Mungkin antara 105 atau 200 tahun yang lalu."

"Itu menyeramkan," akuku. Dia pasti titisan demigod atau sebangsanya.

"Tidak untuk diriku." Satu alisnya terangkat. "Siapa namamu?"

Aku bisa saja menjawab seperti 'Cari tahu saja sendiri' tetapi aku malah mengatakan, "Rhafal."

"Nah, Rhafal. Mari ikut aku." Dia lagi-lagi ingin menyentuh wajahku. Sepertinya gatal sekali tangannya itu.

"Aku bahkan tidak tahu siapa sesungguhnya dirimu," kataku, "dan kau mengajakku untuk mengikutimu seenakmu. Enak saja."

"Ini yang kusuka." Dia tertawa lepas. Maksudku benar-benar tertawa, hingga deretan giginya yang rapi tampak terlihat. Dari semua wujudnya, sepertinya hanya netra kebiruan dan mahkotanya saja yang memiliki warna tak senada dengan area lain. "Dalam ratusan tahun menjadi abadi, kadang aku merasa jenuh juga. Tapi saat bertemu kau, kurasa aku bisa menarik kata-kataku. Aku punya satu firasat: kau bakal jadi Penjaga Hurrah paling menjengkelkan satu-satunya di alam semesta."

Jika Nenek mati, kau mesti menjaga Hurrah untuk Nenek ....

Rasanya aku sempat disconnect pada kehidupan selama sekian detik. Kepalaku mengalami pening, seperti banyak sekali sesuatu yang kuproses dengan paksa. Bayang-bayang memori masa lalu bersama nenek mengemuka seolah-olah aku tanpa sengaja membukanya. Saat umur 5 tahun, ketika aku masih senang berada di gendongan nenek, sementara beliau menceritakan hal-hal seperti Hurrah, lalu diumur 6 sampai 8 tahun ketika didongengkan nenek saat ingin beranjak tidur, lalu meratapi gundukan tanah beraroma harum di belakang rumah pagi itu ....

"Rhafal," imbuh wanita ini, "tidakkah kau ingin bertemu beliau?"

Rasanya aku bisa kembali melihat samar-samar kenangan tentang nenek. Seolah-olah kejadian itu menempel di dahi begitu saja, tinggal menunggu seseorang memencet tombol on pada jidatku.

"Tapi dia sudah lama mati ...." Mataku tak fokus. Pikiranku bergolak dipenuhi kenangan-kenangan itu.

"Ah, benarkah begitu?" tanyanya. Wanita ini melesat menuju sampingku. Hawa dingin berembus ketika ia berbisik tepat di telingaku, "Penjaga Hurrah memiliki dua pilihan: abadi atau fana."

Wanita ini berembus, mengarah sampingku yang lain. "Penjaga Hurrah ditakdirkan untuk memilih dua hal itu. Hidup abadi dalam Hurrah atau menjadi fana di dunia manusia. Nah, sampai di sini kau mestinya sudah tahu apa yang Nenekmu pilih."

Aku tidak bisa menebak opsi yang mana sekiranya nenek pilih, tetapi aku memiliki satu jawaban dalam kepala.

"Jadi, di mana Nenekku sekarang?" tanyaku. "Dan misalnya dia masih hidup di sini, kenapa dia mati di dunia manusia?"

Wanita ini berembus menuju depanku seringan tisu yang melayang di udara. Hawa sejuk yang ia ciptakan sesaat membuatku merasa sedang berteduh di bawah kanopi pepohonan, padahal aku lagi berada di tengah-tengah terik mentari menjelang siang.

"Kau ingin tahu saja atau ingin tahu banget?" Dia terkekeh jahil.

"Ngeselin banget, sih." Aku bertanya-tanya dalam hati apakah wanita ini perlu bogeman dari anak SMP.

"Kesabaranmu tipis sekali," sahutnya rendah. "Sampai di mana kita tadi? Nah, terlepas dari rasa keingintahuanmu itu, aku cuma bisa memberitahu sedikit tentang Nenekmu. Dia sekarang berada di Alam Atas, bersama para makhluk demigod lainnya."

Sudah kuduga wanita ini jenis itu. Aku jadi kepikiran untuk menanyakan apakah umurnya baru menginjak kepala tiga atau kurang dari itu.

"Jadi Nenek memutuskan untuk memilih menjadi abadi, dan dia berada di Alam Atas ...." Aku tiba-tiba saja kepikiran sesuatu. "Benarkah sekarang aku berada di Hurrah? Kenapa Hurrah yang ini berbeda dengan Hurrah tempatku sebelum ini?"

"Itulah salah satu sihir kemurkaan Bramacorah, Sang Raja dari Alam Bawah." Ada nada tajam ketika wanita ini berkata. Jeda sesaat dia macam menunggu reaksiku, seperti berharap aku salto atau apa.

Bramacorah itu sebagai entitas penyeimbang antara Jagat Arwa dan Jagat Manusia. Penggalan cerita nenek berkumandang di kupingku. Dan Nenek pernah bertemu Bramacorah.

"Kenapa bisa begitu? 'Kan Bramacorah memang suka menggunakan sihirnya pada anak-anak yang nakal, dan mereka yang disihir baik-baik saja, tuh."

"Itu dulu," jawabnya. "Sebelum Nenekmu memilih menjadi abadi. Memang, sih, Bramacorah itu dulunya juga sebagai Penjaga Hurrah dari Alam Bawah, tetapi makhluk-makhluk Hurrah berharap hanya para demigod dari Alam Atas-lah yang berhak menjadi Penjaga Hurrah. Nah, karena Nenekmu memilih menjadi abadi, maka secara otomatis Bramacorah tergeser lagi pangkatnya. Raja Alam Bawah itu murka, karena ratusan tahun ia tak lagi memimpin Hurrah secara sepenuhnya, karena itulah ia membuat segala sesuatu dalam Hurrah tampak mengerikan."

Wanita ini membulatkan bola mata sempurna, seperti teringat sesuatu. "Ups. Aku banyak membeberkan informasi padamu."

Aku jadi bingung. Intinya aku tidak betul-betul memahami definisi Hurrah di sini seperti apa. Aku seperti berada dalam Hurrah, nah, sementara di dalam Hurrah ini ada Hurrah yang lain. Kau bayangkan saja itu.

"Jadi, sekarang aku berada di mana persisnya?" tanyaku berharap dia langsung memberitahu.

"Alam Atas," katanya. "Hurrah ada tiga tingkatan, kalau kau ingin tahu. Dan yang kau datangi bersama kedua temanmu Zainal dan Sari itu Hurrah Tengah."

Aku bertanya-tanya darimana letak kemiripan nama Vader dan Anya dengan Zainal dan Sari. "Baiklah," kataku gusar.

"Jadi bagaimana dengan tawaranku?"

Pertama aku harus memikirkan cara bagaimana kami keluar dari sini. Kedua, aku mengangguk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro