#14
|| 1433 words ||
Pengap dan bau sampah basah adalah hal pertama yang kurasakan. Sikuku tergores pada kayu yang runcing hingga dilanda nyeri berkepanjangan. Tak habis di situ, kakiku kebas dan belikatku mati rasa ketika terpaksa terus berjongkok di sempitnya tempat ini.
Anya menyerupa orang sekarat. Wajahnya hanya beberapa inchi di depan ujung hidungku. Pucat, matanya berair dan bibirnya seolah kehilangan ronanya. Box-box sialan ini tak membantu sama sekali. Entah apa di dalamnya, mereka tersebar secara acak. Kadang, di atasnya terdapat semacam pasak yang ujungnya runcing, anak panah, pot-pot kecil seukuran genggaman tangan dan rongsokan benda dihias bangkai tikus.
Suara langkah kaki di tanah becek kudengar berderap mendekat. Semakin lama semakin cepat. Di barengi sesekali erangan bariton membuatku menerka yang aneh-aneh dalam kepala. Melalui sela papan lantai, Pablo segera menutup pintu dan bersender di sana. Wajahnya setengah panik, tetapi tak kentara. Di depannya, punggung Kanda yang dibalut kemeja lusuh tampak bergetar hingga ke tungkai kaki. Mereka berdua bersitatap sejenak.
Pintu di balik punggung Pablo bergetar, membuat pemuda itu refleks menahan bobot tubuhnya agar tidak limbung ke depan. Sementara, Kanda dengan segera memposisikan badan di samping Pablo. Di dorongnya pintu itu meski kewalahan. "Senjatamu—mana?!" teriak Kanda panik.
Jantungku berdebar kencang, sementara pikiranku membuat visualisasi monster macam apa kiranya yang sedang mengguncang pintu di luar sana. Pablo dan Kanda masih menahan dengan segenap tenaga, meski kuterka keduanya tampak akan tumbang jika lebih lama lagi kala menahan bobot yang lebih dari tubuh keduanya.
Melalui celah papan lantai, di antara aksi saling dorong antar Pablo dan Kanda dengan sesuatu di balik pintu itu, mataku jatuh pada kayu lapuk yang berhasil mencuat di pintu yang hampir terbuka. Bentuknya hitam, bolong-bolong kecil, berlendir, dan memiliki lima cabang tampak meneteskan cat merah. Aku meneguk ludah, lalu ingin muntah ketika menyadari itu adalah tangan.
"Tahan!" Pablo melangkah, meninggalkan Kanda seorang diri menahan bobot pintu. Lalu pemuda tinggi itu kembali membawa kantong berharganya tadi, yang sampai saat ini aku tidak tahu apa isinya. Dia memasang punggung di pintu, "Aku akan menahan para keparat itu. Kau—" Netra hijau miliknya mengerjap menatap Kanda. "Kau bawa mereka keluar."
"Lalu, bagaimana denganmu?!" sentak Kanda tidak terima. "Mau bunuh diri?!"
"Aku masih bisa menahannya," tuturnya getir, "dan kita tidak punya pilihan lain. Cepat, bawa mereka keluar!"
Ada semacam perang perselisihan kecil antar Kanda dan Pablo yang tersirat dari tatapan keduanya. Pablo yang ingin melabuhkan dirinya ke luar pintu, sementara Kanda tidak terima dengan suatu alasan yang tak kutahu. Aku jadi heran pada keduanya, kenapa kiranya tidak menyerahkan kami saja ke luar sana—habis perkara!
Kanda bergerak mengarah ke pintu—yang lebih mirip potongan lantai—ruang persembunyian sialan ini. Di bukanya dengan sekali tarik. Kontur wajah Kanda mengerut cemas, bibirnya memucat, "Keluar—cepat!"
Peri Mortem yang lebih dulu melayang di antara tubuh kami yang macam gigantis di matanya. Disusul Anya yang terengah-engah memegangi bagian dadanya, kemudian Vader dengan ocehan main bakiak di tengah hujan badai, lalu ada bayi berpopok raksasa yang jatuh di jidatnya. Oh, satu lagi. Anak ini rupanya belum menyelesaikan mimpi episode satunya: ada Superman yang memasukkannya dalam karung goni, lalu membawanya terbang ke planet Pluto.
Kanda menggiring kami menuju pintu depan, aku sempat menoleh ke belakang hanya untuk menyaksikan punggung Pablo yang menghilang di balik pintu. Ketika kami sudah keluar, bunyi ledakan menyentakkan tubuhku. Di balik gubuk tua milik Pablo dan Kanda, asap kelabu membumbung di udara.
Tak habis di situ, dan tidak hanya sekali ledakan itu terjadi, namun berkali-kali. Kami segera mengarah ke anakan pohon ex yang bawahnya rimbun dengan semak. Daun-daun kecil yang kasar menyembunyikan kami dalam kegelapan.
"Jangan ke mana-mana," perintah pemuda itu, "kalian di sini akan aman."
Kanda bergegas menuju ke arah gubuk tua. Telingaku menuli sesaat ketika bunyi ledakan beruntun menggelegar. Tanah terasa bergetar seperkian detik. Dicampuri bau busuk dan asap membuat hidungku gatal.
Menoleh ke samping, Anya persis seperti gadis yang baru saja kecebur air beku berjam-jam, kulitnya pucat dan kadang aku dapati ia memeluk badannya sendiri guna mencari kehangatan. Sementara, Vader masih berada di antara trans antara kenyataan dan mimpi.
"Di mana mereka!"
Suara itu meraung di kegelapan. Tambah tanah yang terasa bergetar, membuat badanku tersentak ngeri. Telingaku seolah menuli seperkian detik lamanya. Aku tak tahu siapa lawan Pablo dan Kanda di balik gubuk tua sana, namun kuduga itu sesuatu yang tidak sebanding dengan keduanya.
Bunyi ledakan terjadi lagi, pancaran sinar merah kekuningan melahap pekatnya kegelapan. Asap keabuan membumbung ke udara. Baunya tak sedap, sehingga hidungku mengerut tak nyaman. Begitupula keadaan yang membuat kami terpaku sekaligus bimbang ingin memutuskan bagaimana. Apakah mungkin ikut menerobos ke sana—membantu dua pemuda itu atau diam di sini sampai kondisi sudah stabil.
"Bayi berpopok ... jidatku ...." Kubogem dahi Vader sampai dia tersaruk mundur. Matanya sempat juling ke atas beberapa per sekon detik, namun kemudian dia sadar pada keadaan di sekitarnya. "Apa yang terjadi?!"
"Wah, hebat," pujiku, "siapa yang baru saja dimasukkan Superman dalam karung."
"Apa maksudmu?!" sentak pemuda itu. Matanya terbelalak saat arah pandangnya jatuh pada hiruk-pikuk di balik gubuk. "Apa yang terjadi di sana?! Di mana Pablo—dan, dan kawannya?!"
Baru saja aku hendak menjelaskan padanya, namun urung saat suara itu terdengar lagi, "Di mana kalian menyembunyikan mereka?!" Dilanjutkan dengan meraung macam monster. Tanah masih menggelegar bersamaan dengan bunyi ledakan.
Tak berselang lama, Pablo dan Kanda muncul dari balik pintu gubuk yang terpelanting begitu saja. Wajah keduanya penuh jelaga keabuan macam baru saja keluar dari kandang ayam yang habis kebakaran. Keduanya bersesakan keluar dari gubuk sambil berteriak. Di punggung Pablo dan Kanda, aku melihat sesuatu ... macam serigala. wajahnya hitam, bola matanya menyala merah, segaris lurus perlahan membentuk seringai penuh nafsu di bawah matanya. Darah menetes di sana.
Detik berikutnya, Kanda dan Pablo terlempar ke depan, bersamaan dengan gubuk reot mereka yang meledak. Api melahap semua yang ada. Pancaran cahaya membuat kegelapan terlihat menyeramkan. Patahan kayu terpelanting ke mana-mana. Asap pekat membumbung tinggi ke udara malam.
Kakiku secara refleks bergerak ke arah Pablo dan Kanda. Dua orang itu tengah terkelungkup di tanah yang becek. Kanda pertama duduk bangkit, ada bekas cakar di balik kemeja lusuh pemuda itu. Darah mengalir di sana. Dia berusaha menyadarkan Pablo. Ketika tiba di sana bersama Vader dan Anya, aku melihat bekas gigitan di bahu Pablo. Pakaian lusuh pemuda itu terlihat tak layak dipakai lagi. Penuh jelaga, noda tanah dan darah di mana-mana.
"Pablo!" Kanda menyentak. Dia menaruh kepala Pablo di pangkuannya. Mata pemuda itu tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. "Bangun, Pab!"
Kanda terus menampari kedua pipi tirus pemuda di pangkuannya. Sementara kami hanya diam tak berkutik. Di depan sana, gubuk tua yang tadinya kupandang jelek, lusuh, bau dan reot sudah runtuh dilahap api. Aura panas seketika terasa menjalar di kulitku.
Tak lama berselang, keheningan menggantung ke udara. Hanya bunyi retih api yang terdengar. Aku, Anya dan Vader saling tatap. Sama-sama bingung ingin memutuskan melakukan apa. Kuperhatikan Kanda, pemuda itu tengah menunduk. Rambutnya yang lepek akibat keringat jatuh pada bingkaian area dahinya.
"Kalian," tutur Kanda, "pergi."
Aku tidak tahu apakah Kanda menyalahkan kedatangan kami akibat semua ini. Tempat tinggal miliknya sudah hangus dan temannya ... mungkin tak bernafas. Pun, aku merasa bersalah. Semuanya terjadi karenaku. Aku yang melakukannya meski tubuhku membantah itu. Aku menatap kedua tanganku. Jadi, apakah aku adalah seorang pembunuh? Apakah aku penyebab kekacauan ini?
"Bagaimana dengan kau?! Kami—kami ingin membantu!" Vader membela.
"Ikutlah dengan kami, Kanda, mungkin kami bisa membantumu ...." Suara Anya tampak bergetar.
"Membantu apa?!" bantah Kanda. Dia menoleh, membuat kami tersentak mundur. Wajahnya penuh jelaga, dipelipisnya ada darah basah. "Lihat kekacauan yang kalian buat! Aku kehilangan tempat tinggal! Aku kehilangan satu-satunya orang yang selama ini selalu bersamaku! Aku kehilangan semuanya .... Aku kehilangan sodara kandungku ...." Ritme suara Kanda merendah seraya kepalanya kembali menunduk. Menatap Pablo yang kedua kelopak matanya yang terpejam rapat.
"Pergi!" Kanda mendorong bahuku, membuatku tersentak. "Pergi kalian!"
Vader dan Anya bingung sambil menatapku, kira-kira sedang menunggu keputusanku. Aku sendiri bingung ingin membuat pilihan bagaimana. Kanda histeris dan masih berusaha menepis uluran tanganku yang berniat membantunya.
"Maaf," tuturku seraya bangkit diikuti Vader dan Anya. Peri Mortem pun demikian. Kami melangkah pergi, meninggalkan Kanda dengan seorang pemuda yang tak berdaya dipangkuannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro