Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#13

|| 2688 words ||

Gubuk kecil, berbau besi yang menyengat, serta berdiri satu-satunya dan tak kokoh di tempat terpencil adalah gambaran tempat—atau rumah—yang Pablo maksud. Tempat ini lebih mirip rumahnya para hantu bersemayam ketimbang layak dihuni seseorang. Kuterka, dengan sekali bersin saja gubuk tua ini bakal ikut melayang juga.

Tidak! Bukan maksudku menghina, tapi jujur saja, aku ngeri ketika membayangkan Pablo berada di sini selama paruh umurnya.

Di depan gubuk tua itu, ada daging yang digantung berjejer. Dikerubuni lalat dan menguarkan bau besi dari darah yang tampak masih segar. Seakan tak lebih mengerikan, dua obor menyala digantung pada tiang pasak di depannya. Tepat di kedua sisi jalan setapak masuk menuju pintu.

Selain aroma darah yang menyengat, serta bau busuk bangkai bercampur dengan pesing, ada aroma daging masak dari dalam tempat itu, yang membuat perutku bersemangat meronta-ronta ingin diisi. Vader merangsek maju secara bar-bar yang mana membuatku jengkel ingin menanamkan kepala anak itu dalam kubangan lumpur.

"Oke, aku bisa berjalan dari sekarang." Anya berkata pelan sekali. Menyerupa orang berbisik, yang mana suaranya persis seperti nyawa orang itu hampir di penghujung ubun-ubun.

Anya turun dari punggungku, sementara tanganku merenggang, aku berkata, "Kau yakin bisa berjalan sampai ke dalam? Aku masih kuat menggendongmu ke depan sana—"

"Jangan cari kesempatan Rhafal," selanya cepat.

Gadis itu bergerak hati-hati. Seakan kalau salah langkah ia bisa terbang terbawa angin atau tulangnya melunak sekejap—tapi itu tidak mungkin. Anya saat ini sudah kewalahan dan tampak pucat sekali. Aku harus mencarikan tempat untuk dia beristirahat. Tangan gadis ini mencengkram bahuku, karena ia seperti akan rubuh kapan saja.

Di depan sana, Vader masih berdiri setengah meter dari punggung Pablo. Dari belakang sini, melalui cahaya obor yang menggantung di dekat pria itu, aku dapat melihat jelas perawakannya. Punggungnya agak bungkuk dengan dua tonjolan ganjil di belikatnya. Kemeja lusuh di bagian sana tampak menampakkan noda merah dan sobekan bekas cakar. Sudah jelas menandakan kalau ia telah adu fisik dengan para Alkonost atau apalah itu sebelum bertemu kami di lubang ceruk di hutan gelap barusan.

"Tunggu sebentar," perintah Pablo. Dia lantas membuka pintu kayu yang tidak kuketahui di mana kenopnya. Dia semata meraih kedua sisi pintu, dengan sedikit gaya mengambil, lalu benda itu tercerabut dari tempatnya begitu saja. Pablo melakukannya macam sedang mengangkat sekumpulan kapas yang kebetulan berbentuk persegi panjang. Dia menaruh benda itu ke samping, menyenderkannya pada dinding gubuk, samping tiang pasak obor.

Kutelan gerutuan yang tentang kegunaan engsel pintu pada Pablo, saat kudengar sebuah suara dari dalam gubuk tua itu. Sebuah suara mengomel seorang lelaki muda, "Astaga—sudah berapa kali kubilang padamu, bisakah kau sesekali mengetuk dulu dan bukan mencabutnya seenak dengkulmu begitu, Pab?!"

"Maaf." Kudengar suara Pablo kemudian. "Aku membawa beberapa ... teman."

Jeda sejurus, kemudian sosok yang ada di dalam gubuk tua itu menyeruak keluar. Dia ... seorang pemuda jangkung yang kurus dan ceking, bahkan kuduga bobotnya lebih kurang dariku. Tingginya hanya sebahu Pablo. Dalam cahaya obor di kedua sisi pintu, aku bisa melihat wajahnya agak mengerut tua, sangat bertolak-belakang dengan nada bicaranya barusan. Keningnya tertekuk, matanya hijau dan mengerjap ganjil—salah satu hal yang serupa dengan Pablo. "Siapa mereka?" tanyanya.

Saat itu yang kami lakukan hanya bergeming di atas tanah berlumpur. Membiarkan Pablo mengambil alih pertanyaan seorang lelaki di depannya. Sementara, Peri Mortem melayang di dekatku, "Kau yakin mempercayainya, Rhafal?"

Jika Pablo melakukan hal yang tak diinginkan, aku sudah siap dengan apa yang harus kulakukan: menjauh darinya, kabur atau apalah. Bukan hal sulit menerobos gubuk tua ini—tidak! Aku tidak sedang menghina! Lagian, kalaupun Pablo ingin menangkap atau membunuh kami, dia pasti sudah melakukannya semenjak bertemu kami bertiga di ceruk tebing puluhan menit lalu, bukan malah membawanya ke rumah—atau apapun dia menyebutnya tempat ini—sebagai tamu. Kepercayaanku hanya sejumput pada pemuda aneh itu, maka aku harus sepintar mungkin menggunakan keuntungan di sini untuk mengorek informasi.

"Orang-orang yang keluar dari portal itu." Pablo berkata kemudian. Datar dan ringan.

"Lagi? Bah." Si pemuda itu meraup wajahnya sambil mengerang singkat. Aku bingung dia sedang melakukan apa. Manik matanya sama dengan Pablo: hijau dan sering melakukan kecenderungan aneh dari kerjapan matanya. Dalam pencahayaan obor, aku baru bisa menyadari kalau itu adalah semacam kerjapan mata binatang reptil. Hal itu jadi sebuah pertanyaan dalam kepalaku. Lantas dia berbalik, sembari mengatakan sesuatu pada Pablo dengan berbisik.

Ketika pemuda itu masuk, Pablo menoleh pada kami. Terutama Vader yang paling dekat dengannya, dia tak malu-malu dengan kentara menunjukan bahwa ia sedang kelaparan. Anak itu macam orang yang tiada beban di hidupnya. Dia semata hidup karena pasokan oksigen tidak habis di dekatnya. Kadang aku heran kenapa Vader masih bisa leluasa bernafas sampai ke sini dengan segala sikapnya itu.

Pablo dengan wajah datarnya itu, tidak menawari kami masuk dalam arti menyambut tamu yang sopan. Dia lantas memasuki gubuk tua ini lebih dulu, lalu menunggu di sisi pintu dari dalam, ketika kami masuk. Kudengar ada bunyi 'brak' yang singkat. Tidak perlu menoleh, aku sudah cukup tahu kalau yang ia lakukan adalah memasang pintu lapuk itu pada tempatnya. Bagi Pablo, barangkali mencabut dan memasang pintu itu adalah hal baik-baik saja dan normal. Bak tengah menempel dan melepas magnet saja.

Aroma daging bakar menyeruak di indra penciumanku ketika masuk ke sini. Mataku mengamati setiap sudut ruang dengan ekspresi berlebihan, kurasa. Tidak ada jendela, karena dindingnya sendiri adalah seperti kulit kayu yang tebal, lalu ditempel begitu saja. Di sisi kiri, meja kecil dengan bentuk asimetris terletak miring. Di atasnya ada pelita dan bermacam benda aneh. Sisi kanan, satu set dipan kayu, yang kuterka jika kita berbaring lebih dari sepuluh menit akan ambruk, terletak berdekatan dengan semacam lemari tanpa kenop.

Jadi, inikah rumah Pablo? Kalau iya, apakah dia berbagi tempat tidur dengan seorang pemuda yang satunya itu? kalau pun tidak—tunggu, kenapa pula aku mempedulikan itu?!

Aku berusaha membopong tubuh Anya menuju dipan tidak minimalis itu, sementara Vader terus mengamati tempat ini. Anya bahkan tidak banyak komentar dengan ini semua, dia hanya butuh berbaring, memperbaiki imun tubuhnya yang seakan terkuras habis selama tadi.

"Maaf, temanku ini—a, ingin—bolehkah dia ... berbaring di sini sebentar?" tanyaku gagap. Pablo berada di sudut ruang dekat si pemuda satunya. Dia sedang menaruh sekantong apa pun itu yang teramat dia sayangi di atas meja tua sedangkan pemuda satunya aku tidak tahu sedang melakukan apa di dekat perapian itu.

"Ya. Silakan," sahutnya tanpa menoleh. Meski kulihat pemuda yang satunya tampak tidak setuju dengan keputusan Pablo, karena dia terus menyenggol bahunya.

Peri Mortem melayang di sekitarku, kuberi dia perintah untuk beristirahat sejenak samping Anya. Kendati pun aku tidak tahu apakah dia ini punya rasa lelah atau tidak. Sayapnya itu, mengepak brutal semenjak kali pertama bertemu di halaman belakang rumah nenek. Tidak mungkin sayapnya itu menempel dan mengepak begitu saja tanpa tenaga dari tubuhnya. Ya, meski Vader mengasumsikan kalau dia memakai baterai. Sampai sekarang mungkin Vader masih menolak fakta bahwa Peri Mortem sungguhan makhluk hidup, bukan robot dengan remot.

"Kapan orang-orang itu akan memasok barang lagi ke Daratan Hijau?" tanya Pablo pada pemuda yang satunya. Dari sini aku bisa mendengar dengan jelas, meski nada bicaranya pelan sekali.

"Tiga hari yang lalu dan ... besok. Tuan Baron akhir-akhir ini jarang turun langsung di sini, dia mulai memperkerjakan kaki-tangannya semenjak enam kali mereka memasok barang ke Daratan Hijau." Si pemuda yang tidak kuketahui namanya membalas.

"Kenapa?"

"Sejak kepala suku di Utara Pulau dikabarkan mati digantung, kurasa. Nah—sekarang lepas tanganmu dari daging itu!"

"Bukankah yang melakukannya Para Pemburu itu?"

"Benar. Tapi dampaknya di sini memengaruhi kita semua yang ada di pulau. Kau tahu, 'kan, seberapa besar keinginan Samar dengan kepala orang normal di Utara Pulau?" kata si pemuda itu, "mungkin, Samar tidak tahu atau sudah mengetahui pelakunya: siapa yang lebih dulu mendapatkan kepala suku di Utara Pulau, tapi yah sepertinya dia ingin melampiaskan kekesalannya pada orang-orang seperti kita karena tidak mendapatkannya lebih dulu."

"Itu sebabnya Tuan Baron tidak turun langsung di pelabuhan, karena ...."

"Karena, anak buah Samar kadang memperbudak dan menyakiti orang-orang di pelabuhan semenjak kabar kematian kepala suku itu. Tiga hari lalu, ada setidaknya dua pekerja Tuan Baron yang kehilangan kepalanya. Kau tahu 'kan, relasi Tuan Baron dan Samar hanya sebatas pemasokan barang. Itu saja. Samar semata duduk manis di kursi di sana, mencontrengi daftar pasokan barang dan suplai yang dia terima dari Tuan Baron. Dia tidak peduli dengan anak-buahnya di pelabuhan—membunuh, memperbudak, menyuruh ini-itu secara paksa dan—hei! Kubilang jangan sentuh dagingnya!"

"Jam berapa kapalnya akan berangkat besok—"

"Maaf menyela pembicaraan kalian sebentar. Bolehkah aku minta sedikit makanan ... itu?" Anak dongok, batinku. Vader sungguhan manusia yang tidak tahu kondisinya macam apa. Aku pikir otak anak itu telah terpelanting ke lubang ceruk di bebatuan tadi, hingga dia tidak bisa berpikir seperti manusia normal.

"Oh, maaf." Pablo berbalik badan, di kedua tangannya ada semacam papan kayu berupa nampan, ada daging dan tiga gelas minuman di sana. Asap kecil membumbung di atasnya. Entah dari hewan apa, aroma daging panggang itu berhasil membuat perutku merengek. Pablo menaruh senampan makanan itu di atas meja lapuk di tengah-tengah ruangan. "Silakan."

Hanya ada dua kursi di sisi meja kecil di sana, membuatku berpikir kalau selama ini Pablo dan temannya itu jarang menerima tamu, atau mungkin tak pernah. Saat buritan nampan menyentuh meja, saat itu pula Vader mengambil tempat duduk di salah satu bangku di sana. Tangannya langsung meraih satu potongan daging yang besar.

Pablo dan temannya saling lempar tatapan selama beberapa detik yang singkat. Barangkali tengah menyusun rencana untuk menggantung tubuh Vader di atas pohon atau memasukkan pemuda itu dalam tanah.

Saat itu, Pablo menyuruh aku dan Anya untuk mengisi perut, meski dengan enggan sekali dia melakukannya. Selama sepuluh menit lebih, yang kami lakukan hanyalah memakan daging apapun yang ada di nampan ini. Pablo dan temannya berada di dekat perapian sedang mengobrol dengan berbisik. Aku sesekali curi-curi pandang dan dengar ke arah mereka, namun sia-sia saja kala suara Vader makan macam seekor banteng mengorok: "Emm, nyam, nyam, ah, oh."

Ketika selesai, Anya bertanya padaku apakah perlu kiranya dia membantu membereskan perkakas ini sebagaimana wajarnya seorang perempuan. Kubilang tidak usah, karena ekspresi teman Pablo saat membereskan nampan di atas meja macam memberenggut tidak suka atas kehadiran kami. Pablo tidak banyak bicara pada kami bertiga, yang mana seakan membuat keadaan lebih canggung, akan tetapi kalau pun ia mengajak mengobrol, itu adalah bahan obrolan yang tidak akan kupahami.

Pablo berdecak, ia kemudian beranjak menuju dinding di sudut. Aku bahkan baru menyadari jika di sana ada sebuah pintu yang identik dengan dinding. Pablo membukanya, lalu keluar tanpa mengatakan sesuatu pun pada kami. Hal itu membuat canggung melingkupiku secara utuh.

Vader tanpa peduli tatapan teman Pablo, ketika anak itu membaringkan diri di dipan samping Peri Mortem. Ada bunyi keriut kecil yang membuatku menahan nafas sejenak. Dalam waktu yang singkat, mata Vader sudah tertutup sambil mengorok macam banteng.

"Dia sedang memeriksa persenjataannya," tutur si pemuda melepas hening, sambil mengerling ke arah pintu di sudut yang masih terbuka. Aku nyaris tak bisa melihat apa-apa di sana kecuali kegelapan dan aura mengerikan. Lalu, manik hijaunya mengerjap sambil menyorotku dan Anya selama beberapa detik. "Aku Kanda."

"Oh, iya. Aku Rhafal, dan kedua temanku ... Anya dan Vader. Maafkan sikap tak sopan cowok itu." Tanganku gatal ingin mengajaknya bersalaman sebagaimana mestinya saat berkenalan, namun urung saat kupikir di sini tidak ada yang namanya kesopanan.

"Aku dengar dari Pablo, kalian bertiga datang dari pintu portal itu," katanya. Aku tidak tahu apakah aku terlalu berpikir berlebihan saat menerka kalau ekspresi Kanda macam tak bersahabat, jika dari dekat, mimik wajahnya memang seperti itu. Kaku dan berkerut seperti sedang jengkel.

"Sebenarnya berempat," balasku sambil mengerling ke samping. Peri Mortem terbaring lemah di samping Vader, sementara anak itu tidur secara serampangan. Kaki kirinya terjulur ke lantai, tanyannya terbuka menginvasi seluruh dipan sepenuhnya.

Kanda berdecak. "Selama bertahun-tahun lamanya, baru kali ini Pablo membawa tamu ke sini."

Terkaanku ternyata benar. "Kenapa?"

"Orang-orang yang keluar dari pintu portal itu, kebanyakan tidak akan bertahan lebih dari satu malam," tuturnya, "bunuh diri, diburu dan dimangsa hewan—semuanya adalah penyebabnya. Bagi yang beruntung, mereka akan menemukan kelompok kecil di Utara Pulau."

"Utara Pulau? Tempat orang normal yang Pablo maksud?" tanya Anya dengan suara nyaris hilang. Aku tidak tahu apakah kiranya kondisinya sudah memulih atau masih butuh waktu.

"Benar. Karena pintu portal terbuka di sekitaran sana. Di area sini nyaris tidak ada." Kanda mengerling ke pintu yang terbuka, seakan menunggu Pablo. "Bahkan aku tidak pernah mendengar desas desusnya pintu portal yang terbuka di wilayah sini."

Aku mencoba memahami polanya—jadi, dalam akses jalan menuju Hurrah adalah pintu yang mereka sebut sebagai portal. Dalam waktu tertentu, beberapa pintu portal akan terbuka dan tersebar secara acak di Hurrah. Kebanyakan di daerah Utara Pulau, di sana ada pemukiman atau kelompok kecil membentuk semacam koloni atau kubu yang dipimpin oleh kepala suku. Sayangnya, dari omongan Kanda dan Pablo, kepala suku itu sudah mati digantung tiga hari yang lalu oleh Para Pemburu.

Hal itu juga menjelaskan kemungkinan ada orang lain yang keluar secara bersamaan dengan kami, tapi melalui portal yang berbeda. Sekarang, tak ada yang tahu nasibnya bagaimana. Entah itu jadi santapan para binatang pemakan kepala, ditangkap Para Pemburu, bunuh diri, atau mengarah ke Utara Pulau, bertemu dengan kelompok kecil di sana.

Aku masih bingung ketika Pablo dan Kanda terus mengatakan, mereka yang ada di Utara Pulau dengan sebutan 'orang normal'. Jadi, mereka berdua sebenarnya apa?

"Er, jadi sebenarnya kalian ini apa? Maksudku—"

"Bramacorah," sela Kanda, seakan tahu arah pertanyaaanku barusan. "Bramacorah mengubah kami menjadi manusia setengah makhluk lain."

"Makhluk lain?" tanya Anya.

"Orang normal di Utara Pulau menyebutnya monster," sahut Kanda tak nyaman sambil mengerling padaku dan Anya. "Padahal iya dan ... tidak juga. Kami percaya Bramacorah menggunakan sihirnya untuk mengubah wujud kami jadi tidak normal."

Aku dan Anya bertatapan, namun sebelum kami mendahului bertanya, Kanda melanjutkan, "Alkonost, binatang pemakan kepala itu adalah salah satunya. Mereka adalah kami, orang-orang yang terkena sihir Bramacorah. Lambat laun, tubuh kami akan bermutasi menjadi makhluk. Beberapa di antaranya masih memiliki paruh jiwa manusia, meski kebanyakan sudah pupus. Benar-benar menjadi monster yang tidak memiliki akal—hanya mengandalkan insting liarnya."

"Kau dan Pablo ....?"

Kanda terkekeh kecil. "Jangan takut," katanya, "mutasi pada tubuh seseorang itu memakan waktu yang lama. Setiap tubuh seseorang memiliki metabolisme dan struktur yang berbeda pula."

Aku jadi merinding. Dalam diam, aku juga bingung untuk memutuskan apakah kiranya kami sekarang aman atau tidak, ketika mengetahui kalau orang di depanmu bisa berubah jadi mengerikan kapan saja. Hal ini juga menjelaskan bahwa kerjapan mata Kanda dan Pablo mirip binatang serupa reptil. Entah itu kadal, komodo, ular, biyawak ....

Saat itu, suara langkah kaki berderap terdengar dari pintu yang terbuka. Ketika Pablo masuk dengan ekspresi wajah yang kusut, aku tidak tahu harus menyambut pemuda itu macam apa. Kedua bola mata hijaunya mengerling padaku dan Anya, lalu beralih pada Kanda yang berdiri si sisi meja, mengirim sorot yang tak kutahu maknanya.

"Enterma," kata Pablo, "mereka membaui kalian bertiga."

Kanda bergerak cepat ke arahku dan Anya, meja terguling karena terserempet perutnya. Pablo segera menutup pintu, dalam proses itu, gelagatnya macam pria dewasa yang membuatku takut. Kanda beranjak membawaku dan Anya di tengah-tengah ruangan, ia berjongkok seakan membuka sesuatu di sana.

Mendengar kericuhan, Peri Mortem bangun dan melayang tak terkendali, lalu sadar dan dia mendekat ke arah kami. Vader hanya menguap singkat, seakan anak itu sedang dalam proses tidur mati. Aku beranjak melangkah ke sana, kujitak dahi Vader sampai dia terperanjat bangun.

Aku bahkan tidak menyadari kalau di tengah ruangan itu, tepatnya di lantai terdapat sebuah pintu. Entah lubang atau memang ruangan lain yang Pablo dan Kanda sembunyikan. Kami berempat disuruhnya masuk ke sana. Lubang pintu itu berbentuk kotak yang hanya muat satu orang, membuat kami kesusahan masuk ke sana. Vader lebih dulu, anak itu terus mengoceh dengan mimpinya: sedang main bakiak di tengah hujan badai, lalu ada bayi raksasa berpopok besar menjatuhi jidatnya. Ketika dia berhasil, barulah Anya dan disusul Peri Mortem.

Sebelum masuk, aku menyempatkan bertanya pada Kanda, "Siapa Enterma itu?!"

"Mereka yang hampir menjadi monster sepenuhnya," katanya sambil menyeret potongan lantai, menutup kami dalam kegelapan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro