Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#12

|| 1864 words ||

Aku salah perkiraan ketika pemuda aneh itu—Pablo atau siapalah namanya—mengambil barangnya, bahwa Vader akan membiarkan dia pergi seperti sebelumnya. Anak rewel itu membuat wajah ingin mati sambil berkata kepada si pemuda aneh—terkesan merengek, "Bawalah, kami—atau setidaknya bantu kami, bung. Kau satu-satunya manusia yang mau berbaik hati menolong kami sepanjang perjalanan suram barusan. Tolonglah."

Saat itu, aku hendak melarang lagi, namun kupikir sia-sia saja saat Vader menambahi kalimatnya sambil mengerling ke arahku, "Kalau kau tak ingin membawa dia, setidaknya aku dan gadis itu saja yang ikut denganmu. Pemuda itu memang agak miring."

Telapak kakiku ingin sekali bersarang pada wajah Vader, tetapi tak bisa kulakukan, karena Anya berusaha mendorongku menjauh. Si pemuda aneh itu kemudian mengatakan hal yang membuatku bernapas lega, "Tidak ada seorang pun yang akan ikut denganku."

Lagian, kami—maksudku, aku tidak ingin mengikutinya. Terserah dia mau kemana dan apa latar belakangnya. Aku tidak peduli. Akan tetapi, Vader tetap berkeras bahwa satu-satunya hal yang paling menguntungkan saat ini adalah ikut dengan si pemuda aneh. Ada benarnya, meski hanya sedikit, kupikir. Karena disatu sisi, menaruh kepercayaan kepada orang yang baru saja kau temui juga bukanlah hal baik.

"Rhaf, kupikir Vader ada benarnya." Anya mengusulkan, suaranya nyaris kecil sekali. Seakan-akan hilang terbawa angin. Dia menatapku dengan penuh harap, juga tampak memberi sorot penuh persetujuan.

"Tolonglah, Bung! Kami butuh bantuanmu! Aku sudah muak dengan ini semua! Aku ingin pulang! Aku butuh bantuan—"

"Sebenarnya apa yang membawa kalian ke sini?" tanya Pablo. Jika tidak didengar dengan seksama, ritme suaranya tidak bermakna sedang bertanya sedikit pun. "Dan kenapa ada Peri Mortem bersama kalian?"

Ada hening singkat yang menjerat kami selama beberapa detik. Menapak tilas dari yang sudah terjadi, mulai dari tentang nenek, hingga pintu tersembunyi di biliknya yang membawa kemari, sepatutnya itu sudah menjadi jawaban atas pertanyaan pemuda aneh itu. Tetapi di sini aku masih belum benar-benar mempercayainya. Maka aku tidak akan secara gamblang dan terang-terangan membocorkan itu semua kepadanya.

"Ada hal yang harus kutanyakan padamu," kataku, "apakah Hurrah dulunya memang seperti ini?"

Kening Pablo menekuk sempurna. Matanya lagi-lagi mengerjap ganjil dan itu membuatku menerka dia ini macam terkena penyakit atau apalah. Pemuda itu lantas menyorotku dengan netra hijaunya itu, "Tidak. Dulunya tidak seperti ini."

"Lalu kenapa semuanya berubah?" tanyaku lagi.

Aku tidak mengira Hurrah bakal berubah dalam waktu satu malam. Kali terakhirku ke sini bersama nenek, tempat ini tidak semengerikan ini: gelap, hanya cahaya remang dari atas sana yang jatuh ke sini—semacam cahaya yang tertutup awan gelap, lalu banyak bangkai hewan yang menguarkan bau anyir, serta para makhluk aneh. Semua itu tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa alasan.

"Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya. Tangan Pablo selalu terpasang di kantong yang terkait di pinggulnya, seakan aku ini akan mengambil benda itu.

"Karena dulunya tidak seperti ini," sahutku. "Dulu Hurrah itu baik-baik saja 'kan?"

"Kau tidak akan mengerti," balasnya sambil membuang muka. "Kalian berasal dari Utara Pulau tapi kalian tak tahu apa yang baru saja terjadi. Sangat ironis."

"Utara Pulau?" Kali ini Anya yang bertanya. Menyuarakan apa yang tengah ada di pikiranku. "Jadi tempat ini adalah pulau?"

"Pulau yang luas," jawabnya. Pablo memasang mimik wajah seolah sedang menerka-nerka pada kami bertiga. Sorot netra hijau itu memandangiku, Vader dan Anya secara bergantian. "Biasanya, mereka yang ada di Utara Pulau akan berkeliaran seperti ini—seperti kalian, seperti orang yang putus asa dengan hidup. Karena mereka tak tahan dijajah oleh para Enterma. Pemukiman di sana sedikit, nyaris hanya membentuk kelompok kecil. Itu berarti mereka kalah dalam segi jumlah.

"Utara Pulau sering dijajah akhir-akhir ini. Dari kabar yang beredar, kepala kelompok di sana telah mati digantung sekelompok Enterma karena masih mempertahankan wilayah mereka. Maka dari itu, belakangan aku sering berpapasan dengan beberapa di antara mereka. Tapi aku tidak ambil pusing dan tak peduli. Toh, lambat-laun mereka bakal jadi santapan malam Alkonost, atau ditangkap para Pemburu. Lagian, kalau berpapasan, mereka lebih memilih untuk menghindar dari orang sepertiku, daripada seperti yang kalian lakukan sekarang."

Aku tidak mengira pemuda ini bakal mengatakan hal itu. Tapi dibalik ceritanya itu, aku justru dibuat bingung dengan semua yang ia katakan. Seperti tengah menelan telur mentah bulat-bulat.

"Kami seratus persen bukan berasal dari sana." Vader menjawab kemudian. Dari nada bicaranya, aku sudah tahu kalau dia tak sepenuhnya paham. "Dan astaga! Siapa pula Para Pemburu dan Enterma itu?! Aku tidak paham!"

Pemuda itu kemudian agak bergerak ganjil. Dari wajahnya saja aku sudah tahu kalau dia sedang setengah terkejut, tetapi dia berusaha menyembunyikannya. Dia sekali mengerjap pada kami, "Jangan bilang kalian baru saja membuka portal itu."

"Portal?" tanyaku kemudian.

"Ya, semacam pintu—atau apapun itu. Iya, 'kan?"

"Kalau seperti pintu mahoni dalam rumah, maka, ya, kami berawal dari sana."

"Sudah kuduga," balasnya sambil terkekeh tidak jelas. "Kalian tidak akan pernah bisa pulang."

"Hah?! Tidak mungkin!" Suara Vader membuat gendang telingaku seakan copot. "Kau bercanda, kan? Aku tahu bahwa setiap orang masuk pintu, pasti bisa keluar! Tidak mungkin ketika masuk ke dalam, kita terus-terusan berada di sana—kecuali penjara! Itu pun kita mesti keluar setelah kurun waktu hukuman itu selesai! Kau tidak serius mengatakannya!"

"Lalu kau pikir banyaknya bangkai di sini apa?" Pablo mengangkat wajah. Kening pemuda itu naik sebelah.

Aku dan Anya bertukar pandang. Jadi, sekarang kami tahu kalau bangkai—tulang-belulang—yang tak luput dari jejak kaki selama tadi adalah milik manusia. Benar-benar manusia yang pernah hidup di sini. Aku jadi merinding dan melihat tubuhku. Lalu memproyeksikan seperti tengkorak berjalan.

Hewan di sini barangkali jadi makanan Pemburu, jika memahami dari yang sudah-sudah. Hewan malang itu kebanyakan berakhir di perut para Pemburu alih-alih menjadi bangkai tulang-belulang yang berkelimpangan di segala beceknya tanah. Atau jika perdugaanku pas, mereka yang keluar dari portal itu tidak mungkin hidup lebih lama lagi, karena para Alkonost selalu ikut memburu mereka dan memangsa bagian kepala. Jadi, itu benar—bangkai-bangkai ini milik manusia sungguhan.

Aku geleng-geleng kepala, "Jadi, tulang-tulang itu—"

"Mereka adalah orang-orang yang muncul dari portal itu lebih dulu dari kalian, dulunya." Pablo mengerling ke arahku. "Mereka terlalu apatis dengan ini semua—katakanlah mereka putus asa, maka ada saja yang mengakhiri hidup mereka sendiri. Entah itu membenturkan kepala mereka ke batu, menenggelamkan wajah ke kubangan lumpur—mereka menyakiti diri sendiri karena putus asa. Atau barangkali, para Pemburu dan Alkonost menangkap mereka. Memangnya siapa yang sudi hidup di tempat seperti ini? Ketika masuk dalam pintu, tiba-tiba saja kau tiba di antah-berantah yang tidak kau kenali.

"Utara Pulau. Di sana tempatnya orang-orang yang sudah lebih dulu keluar dari portal itu sebelum kalian—orang-orang normal yang mati-matian bertahan dari gempuran Pemburu, Alkonost, Enterma dan Bramacorah. Tentunya tidak semuanya berasal dari sana, ada setidaknya puluhan portal yang terbuka sesuai keinginan Bramacorah, mereka berkumpul di sana, membuat semacam pemukiman kecil. Beruntungnya Bramacorah tidak menggunakan paruh sihirnya pada mereka, atau mungkin dia memang belum menggunakannya pada mereka."

Anya kemudian menyenggol bahuku secara pelan. Ia semata melakukannya untuk memberi kode. Kuperhatikan wajahnya lebih jelas dengan kening menekuk sempurna. Dalam keremangan, kulit wajahnya memucat, bibirnya pun demikian. Dari balik kacamata bulatnya, netra gadis itu tampak sayu. Jadi, cuma satu kesimpulan yang kuambil: Anya sudah kewalahan dengan ketakutannya pada gelap. Efek dari terlalu lama berada di sini, tambah lagi kejar-kejaran dengan monster membuatnya semakin melemas terhadap pobia-nya.

Jadi, kalau dipikir-pikir keputusan Vader untuk meminta bantuan pada Pablo tidak sepenuhnya salah. Sekarang kondisi kami harus istirahat dan mengisi perut. Bukan berkeliaran di sini—mengendus bau bangkai dan main kejar-kejaran dengan hewan pemakan kepala.

"Portal itu tersebar secara acak di sini, di Hurrah. Goa, lubang di akar pohon, terowongan di kaki gunung—atau apapun itu sebagai akses jalan. Bramacorah membuka itu semua semaunya. Macam menjentikkan jari." Pablo memberi tahu. "Tak ada yang tahu dia itu sebenarnya siapa dan apa."

"Jadi, portal itu juga menutup dengan keinginannya? Kenapa dia melakukan itu?!" Mata Vader tampak berkilat merah. Anak itu nyaris saja menyeruduk Pablo dengan ganas.

Pablo agak bergerak tidak nyaman sambil mundur, tangannya masih memegangi kantong yang terikat di pinggulnya itu. "Sesuai waktu yang sudah ia tentukan. Bramacorah sudah menyetel itu semua. Semacam ia menjentikkan jari, lalu portal itu terbuka. Entah dia di sana duduk manis mengopi atau tengah membajak tanah—kita tak tahu. Lalu, akses masuk Hurrah itu akan menutup dengan sendirinya ketika orang-orang itu sudah masuk melalui portal."

Aku jadi menyalahkan nenek di sini. Entah apa maksud wanita tua itu memberitahuku tentang Hurrah dulunya. Tempat semengerikan ini tidak sepatutnya dia kisahkan saat menjelang tidur padaku. Tapi kalau dipikir-pikir, aku saat itu masih kecil dan terlalu tak memiliki saring untuk menelan cerita nenek bulat-bulat. Sampai ketika ia membawaku kemari, barulah aku mulai sedikit mengerti.

Peri Mortem, setelah kian lama berada di antara bebatuan, mengepakkan sayapnya ke arah kami. Dia melayang di tengah-tengahku dan Anya. Aku tak memahami keriut mukanya yang seakan memberikan makna sesuatu. Peri Morten bersuara kemudian, "Gara-gara dia juga, aku kehilangan kaumku!"

"Sabarlah," balasku. Vader dan Anya menatapku singkat, dan mereka cukup tahu kalau aku tengah berinteraksi dengan makhluk yang satu ini.

"Kau paham padanya?" Kening Pablo tertekuk. Ada semacam semburat heran pada garis wajahnya.

"Iya," ujarku, "aku mengetahui apa yang dia katakan belakangan."

"Apalagi yang kau ketahui di sini?" Pablo bertanya sambil semakin memajukan tubuhnya padaku. Bau anyir dan asing membuat hidungku mengambil oksigen dengan hati-hati.

"Kata nenekku, sebelum mengetahui Hurrah, dia terlebih dahulu bertemu Bramacorah."

Saat itu aku tidak tahu kalimatku barusan semacam kata sakral atau apapun itu, ketika Pablo dengan segera mendekat ke arahku. Hingga kali ini jarak kami seakan terpaut selapis tipis udara saja. "Apa," katanya, "ap—apa hubungan nenekmu dengan Bramacorah?"

Aku tidak seharusnya mengatakan itu kepada Pablo. Keterkaitan nenek dengan Bramacorah seakan sesuatu yang penting bagi Pablo. Sama halnya dengan Bramacorah itu sendiri bagiku, sebenarnya dia itu apa dan siapa?

"Oke," kataku sambil mengerling Anya. Gadis itu tampak sudah akan pupus sebentar lagi. "Aku akan memberitahu tentang keterkaitan Nenekku dengan Bramacorah, dengan syarat kau—kau mesti membantu kami untuk mencari jalan keluar dari sini."

Vader berlagak macam tengah diberi permen lollipop sekarung, dia menatapku tidak percaya. Karena sebelumnya aku sangat tidak menerima kehadiran orang lain di antara kami bertiga, selain Peri Mortem maksudku. Sisi lain, aku juga harus bertanggung jawab atas ini semua. Kami harus mencari cara bagaimana pun dan kemana pun untuk segera keluar dari antah-berantah ini. Aku tidak ingin mati di sini, tanpa tanah digali dan dikafani.

"Itu nyaris mustahil, tapi akan kuusahakan, ada seseorang yang tahu beberapa informasi di tempatku," tutur Pablo dengan nada datarnya. Pemuda itu tak lagi sedekat seperti sebelumnya.

"Jadi bagaimana? deal?"

"Ya." Pablo membalas seiring membalikkan badan. Kupikir itu semacam perintah untuk mengikutinya. Maka Vader kesenangan bukan main di sini, seakan menari balet atau kayang di atas tanah. Dia lantas membuntuti pemuda itu tanpa pikir panjang. Vader sangat dangkal otakknya, entah itu lawan atau kawan, semuanya dia anggap sama.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku kemudian pada Anya. "Maaf, aku harus mencari cara untuk mendapat informasi dari pemuda itu—semacam simbiosis mutualisme. Kita mendapat sesuatu darinya begitu pula sebaliknya. Itu lebih baik daripada langsung mengikutinya macam yang Vader inginkan."

Sesederhana itu.

"Tidak apa," katanya, "sejujurnya, aku sudah akan pingsan semenjak tadi." Gadis itu menunduk malu sambil menyelipkan seuntai rambut panjangnya ke belakang telinga.

"Kau mau aku gendong?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro