
#11
|| 1850 words ||
Kurasakan tubuhku naik secara perlahan kala tali bertekstur kasar kupegang ditarik oleh seseorang. Wajahku rasanya sudah penuh dengan noda tanah, barangkali darah juga. Selama berpegangan pada tali, sepanjang itu pula tanganku kebas. Entah kenapa rasanya berjam-jam, padahal hanya beberapa menit aku menggantung di sini, menempel pada dinding tanah yang basah, tambah lagi menguarkan bau anyir.
"Rhaf, kau tak apa?" tanya Anya begitu aku sudah di atas. Kurengkuh satu batu di area bibir ceruk, di sanalah aku naik dan mendudukkan diri. Nafasku putus-putus, kurasa bau busuk dan anyir di bawah tadi telah bercampur dengan keringatku.
"Sia—siapa dia?" Keningku menekuk sempurna. Di atas sini tak hanya ada Vader, Anya dan Peri Mortem, tapi ada satu orang lagi. "Dan—dan, ledakan tadi?"
"Rhafal!" Vader menghambur memelukku, membuat Anya menggeserkan diri. Aku mengerang singkat, rasanya tubuhku bakal jadi ayam geprek saat ini. "Kau masih hidup! Tentu saja kau tidak akan mati! Aku tahu kau lebih kuat dari itu, bro—yang tadi bukan apa-apa bagimu!"
Anak ini cuma tak tahu kalau tulangku nyaris berpindah letak. Entah rusukku masih tersusun rapi di sana. Atau mungkin tulang dengkulku memojokkan diri di pangkal paha—aku tak tahu. Keram dan kebas, tambah lagi rasa nyeri. Astaga! Vader betul-betul harus merasakan ini semua!
"Vad, berhentilah! Kau akan membuatku mati tergencet!" Aku mendorong badan Vader. Anak ini terus-menerus membuat ocehan tololnya, yang mana membuatku sia-sia melakukan hal itu.
"Syukurlah! Aku tak tahu bagaimana nasibku dan Anya kalau kau mati!" Dia memelukku kuat-kuat, lagi. "Tapi untung saja kau masih hidup!"
"Siapa dia?" Adalah hal yang kutanyakan ketika pasang mataku memandang ke arah seseorang di belakang Anya. Orang itu tengah berdiri, di luar tubuhnya yang dua kali lipat Vader, kemeja lusuh menutupinya. Compang-camping nyaris tak enak diperhatikan: bolong-bolong, noda tanah, sobekan, dan ... bercak merah.
"Dia ... dia yang membuat ledakan barusan." Anya memberi tahu dengan pelan. Nada suaranya bergetar, takut.
"Oh—kenalkan, dia yang meledakkan area sana tadi!" Vader mengerling ke samping, mataku mengarah ke sana. Asap kecil membumbung ke udara, bau hangus melengkapinya. "Namanya—nah, namanya—"
"Pablo," katanya, "namaku Pablo."
"Siapa sebenarnya kau?" tanyaku tidak sopan. Bukannya tak mengucap terima kasih, karena, yah, perlu kuakui kalau dia yang menarikku tadi. Namun ada beberapa hal yang aneh darinya, salah satunya manik abu-abunya sering mengerjap ganjil. Dalam keremangan, aku tak bisa menafsirkan apa arti dari itu.
"Aku akan balik bertanya," balasnya, "siapa sebenarnya kalian?"
"Kami orang yang tersesat!" Vader menjawab. Untuk ukuran manusia yang memiliki otak normal ketika bertemu orang asing, Vader benar-benar tolol. "Kami tersesat! Goa di sana tadi menutup dengan sendirinya, seketika semuanya jadi batu! Lalu bertemu orang setengah burung dan kami juga di kejar serigala, harimau, atau apalah itu tadi! Dan kau tahu? Kami juga bertemu orang-orang yang membawa panah yang hendak memburu kami! Dia pikir kami ini macam babi apa!? Kami tidak tahu ke mana lagi akan mengarah, akhirnya kami berakhir di sini—bertemu denganmu. Syukurlah! Kami selamat sekarang, Bung."
"Selamat?" beonya, "bagaimana kau dengan mudah menyimpulkan seperti itu?"
"Karena kau membantu kami?" Vader persis seperti bocah ingusan yang baru saja mendapat es krim dari orang asing.
"Kau salah," katanya, "siapa pun kalian, aku sarankan untuk pergi dari area sini secepatnya. Kalian tidak bisa berkeliaran di sini—ini bukan wilayah yang menyenangkan."
"Lalu kenapa kau membantu kami?" Aku bertanya. Dari yang kuperhatikan, orang ini agak aneh. Dari gaya bicaranya yang datar serta kecenderungan aneh pada kerjapan matanya itu.
"Aku menolongmu, bukan berarti aku orang yang seperti kalian pikirkan." Dia baru saja berbalik badan. "Pergilah."
"Jadi kau akan pergi begitu saja, setelah nyaris meledakkan kami dengan—" Anya mengerling pada pinggul pemuda itu. Ada semacam kantong menggantung di sana. "—dengan apa pun yang ada di dalam kantongmu itu?"
"Aku hanya mengira kalian adalah Alkonost." Dia berbalik lagi menatap kami. "Beruntung sekali aku melakukannya, temanmu itu bisa naik lagi ke atas sini berkatku. Jika saja aku tak mengira kalian para binatang pemakan kepala itu, mungkin saja kau bakal jadi bangkai membusuk di bawah sana."
"Aku anggap itu pujian," balasku berbisik, "oke, aku—terima kasih atas bantuanmu, siapapun namamu tadi. Terima kasih telah menarikku. Sekarang silakan pergi dari sini."
Aku tak senaif Vader. Bagi pemuda itu, kalau seseorang berkata dengan penuh memberi harapan, atau mereka berlagak seakan baik dengan cara membantu, itu termasuk golongan bukan orang jahat—begitu pencernaan otak Vader berjalan.
"Ya, kuterima. Sama-sama," balasnya tanpa intonasi berarti, "anggap saja ini semua tak pernah terjadi. Aku dan kalian semua, tak pernah saling berbicara."
Pemuda itu berbalik. Cara berjalannya agak ganjil. Dari balik punggung yang bungkuk, aku menduga seakan dia telah lama semacam terkurung dalam ruang sempit atau apalah. Sampai dia hilang ditelan kegelapan dan semak-semak, Vader dengan segera menggerutu.
"Rhaf?! Kau apa-apaan?! Dia baru saja membantu kita?!" katanya penuh penekanan. Vader mengerang, memmbuat Anya terlonjak kaget. "Tolol! Aku tidak habis pikir denganmu!"
"Hei, Vader! Buka pikiranmu!" teriakku tak kalah. Kupegangi bagian kiri perutku yang agak nyeri. Bukan hal mudah sedang sakit seperti ini diajak adu jotos. Terlepas dari itu semua, memang aku ingin melakukannya pada Vader. Tak peduli sekalipun kericuhan yang kami buat mengundang sesuatu kemari. "Kau tidak bisa menaruh percaya pada orang asing seenak dengkulmu! Kita tak mengenalnya! Kau lihat dari cara dia berjalan barusan macam apa?! Dan bola matanya yang mengerjap ganjil seperti itu?!"
"Tapi dia menolong kita! Terlebih, kepada siapa lagi sekarang kita akan meminta bantuan, hah?! Dia satu-satunya jalan!"
"Ada seribu satu cara di dunia ini untuk mengakali sesuatu," balasku, kali ini dengan oktaf menurun. "Pas—pasti ada jalan lain!"
"Masuk dalam mulut monster, itu jalan yang kau maksud, hah?!"
"Hei, kalian berdua berhentilah." Anya beralih di tengah-tengah kami. Aku tak tahu lagi bagaimana caranya menasihati pemuda payah itu. Vader macam orang yang tolol, mudah percaya ke pada siapapun, dan hal itu bisa saja menjadi bumerang untuk diri sendiri.
"Saling adu argumen seperti itu tak akan membuat kita tiba-tiba pulang ke rumah," tambah Anya. Dia membenarkan kacamata minesnya. "Jadi, kalian berdua tidak perlu seperti itu lagi. Oke, kan?"
Aku mengembus nafas kasar. Bahkan Peri Mortem yang sedari tadi tidak banyak cakap pun hanya diam menonton kami. Makhluk itu melayang rendah di antara bebatuan besar. Sambil melihat-lihat padaku dan Vader. Aku tidak tahu apa yang tengah dia pikirkan, karena dia juga tak memberi tahu padaku.
Hening menjerat kami dalam diam. Hanya ada suara-suara hewan aneh di sekitaran yang menelisik di indra pendengaran. Anya menyelipkan seuntai rambutnya ke samping telinga, dari samping sini aku bisa melihat jelas wajah gadis itu. Garis rahangnya, serta hidungnya yang mancung.
"Maaf," kataku kemudian. "Kami tidak seharusnya begini. Aku tidak seharusnya membawa kalian berdua di sini. Semua salahku, semuanya—"
"Jangan seperti itu," Anya memotong, "ini semua sudah terjadi. Jadi tidak ada gunanya menyesalinya. Sampai kau sujud sekali pun, tidak akan ada perubahan yang berarti. Kita tidak bisa menyentuh garis takdir dan jalan hidup—seperti itulah roda kehidupan yang berputar pada porosnya."
Kadang aku melupakan kalau Anya adalah sekretaris yang pintar. Selain pandai menagih uang pada murid, dia juga hebat menggurui—dalam arti menasihati yang baik. Ucapannya selalu berhasil membuat pendengarnya seakan merasa tersentak pada realita yang ada. Memang benar perkataannya, selalu menyimpan makna yang dalam, meski beberapa di antaranya memang harus dicerna lebih dulu.
"Oke," balasku. Aku menengadah pada Anya sekali lagi, belakangan wajahnya memang kukatakan tidak seputih seperti sebelumnya, tapi kali ini agak ganjil. "Kau kenapa? Wajahmu pucat, Anya."
Gadis itu cuma terkekeh pelan. Lalu dia mendekap seluruh tubuhnya dengan kedua tangan, sambil memerhatikan ke sekitar. Aku dan Vader saling temu tatapan, tetapi bukan tatapan sengit semacam ingin lanjut bertempur, namun yang ada tersirat makna saling bingung. Meski aku tidak yakin otak pemuda rewel itu benar-benar memikirkan seperti yang sedang kupikirkan.
"Dulu, saat kecil," kata Anya, "papaku pernah membawaku berkemah di gunung. Dengan Mama dan banyak sanak-saudara yang lain. Di sana, semua tampak normal, sampai ketika satu serigala menganggu. Untung saja dan kebetulan Omku membawa, yah, semacam senapan, dia berhasil menembaknya. Mulai dari sana, aku membenci gelap."
Tidak heran kenapa Anya tidak banyak bicara sedari tadi. Gadis itu punya semacam trauma masa kecil yang masih menempel di keningnya. Aku tidak menduga meski itu cuma hal sepele sekali pun, jika otak orang itu rentan akan sesuatu, dia pasti akan mengingat itu sepanjang hidupnya. Barangkali, kedatangan kami di sini sudah membuka secuil kenangan kelam Anya. Dan bodohnya, aku baru menyadari itu sekarang. Aku merasa bersalah pada gadis itu.
"Oh, maaf," kataku pelan. Aku tidak tahu harus apalagi padanya. "Tapi kau tidak mungkin jatuh ... pingsan, kan?"
Gadis itu mengangkat bahu dengan mimik wajah misterius. Aku harus menebak apa yang ada dipikirannya yang mana itu adalah hal tidak mudah untuk dilakukan. Anya berbeda dengan Vader. Kalau Vader, jika dia memasang mimik wajah memberenggut saja aku sudah tahu apa yang sedang dia pikirkan atau rencanakan. Pemuda itu selalu terbuka untuk siapa pun, bahkan orang asing sekali pun. Vader tidak pandai menyembunyikan perasaannya. Perkara Anya lain lagi, dia seperti danau yang dalam, tidak mudah untuk melihat permukaannya.
"Aku juga pobia tempat sempit. Entahlah, aku tidak bisa leluasa mengembuskan nafas di sana. Seolah tempat yang sempit itu bagai tengah mencekik leherku," akunya, "aku pernah bermain dalam kotak pembungkus mesin cuci dengan sepupuku saat kecil—sori, kalau terdengar konyol, waktu itu kami baik-baik saja main boneka Barbie di dalam sana, lalu tiba-tiba lampu mati—dulu itu 'kan sering pemadaman bergilir. Aku pingsan saat itu, sepupuku menangis histeris kayak baru saja melihat hantu."
Aku tak tahu kenapakah kiranya Anya menceritakan ini semua padaku dan Vader. Di sekolah anak ini kelihatan ceria dan periang, meski kadang-kadang galak untuk menggurui anak-anak yang bandel, tapi ternyata justru orang-orang seperti inilah yang banyak menyimpan beberapa potongan masa lalu yang selalu terkenang di dalam laci pikirannya.
"Uhm, jadi aku—aku takut—"
"Aku nggak pingsan, Rhafal," kata Anya membuatku bernafas lega. Ia menambahkan, "Belum."
"Kalau kau semaput sekali pun, aku bakal dengan senang hati menggendongmu."
Lalu Vader mengeluarkan suara muntah yang dibuat-buat. Anak itu lalu meludah ke samping dengan dramatis. "Cih, menjijikan! Tidak ada genre romansa-romansa di sini!"
Aku jadi agak canggung ketika bertatapan dengan Anya, gadis itu pun demikian. Aku tak tahu harus apa saat mati-matian kucoba netralkan jantung yang berdebar. Semoga saja gadis itu tidak menyadarinya. Lagian, ada apa denganku?!
Saat itu aku masih seperti anak cowok yang tolol terhadap Anya, dan Vader masih membuat mimik wajah mau muntah yang tak perlu sembunyi-sembunyi dia lakukan, sampai ketika suara langkah kaki mengisi hening yang singkat. Dari suara perpaduan becek tanah dan alas kaki, kuduga asalnya adalah dari mana pemuda aneh tadi menghilang.
Apa yang kuduga ternyata benar. Dia keluar dari sesemakan dengan air wajah macam triplek. Kecenderungan aneh pada kerjapan mata pemuda itu masih sama. Dia adalah orang aneh tadi, yang meledakan area sini hanya karena salah mengira kami semacam hewan pemakan kepala atau apalah itu namanya. Yang ada di kepalaku cuma satu: kenapa dia kembali lagi ke sini? Apakah dia berubah pikiran dan ingin menangkap kami seperti para pemburu yang memanggul binatang waktu tadi? Tapi sebelum kami bertiga bertanya, dia lebih dulu berkata dengan nada datarnya, "Aku ingin mengambil taliku. Jangan pedulikan, anggap saja aku tidak ada."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro