Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#10


|| 1407 words ||

Kugapai batang pohon ex dengan kedua tangan, yang mana perawakannya seperti tengah memeluk pohon, dalam prosesnya, dingin dan kasarnya tekstur kayu berkombinasi kurasakan pada lengan.

Tas punggungku sudah berada di dekapan Anya. Di balik remang gelap, aku tak tahu apakah gadis itu tengah terkekeh menghinaku atau tidak. Diamnya membuatku menduga yang aneh-aneh.

"Vad, kau yakin terus-terusan berada di sana dan tidak membantuku?" Mataku mengerling pada Vader.

Pemuda itu melipat tangan dan menghadap tepat pada pohon akasia yang sudah tak subur. Entah apa yang dilakukannya semenjak tadi. Aku berdehem malas, karena tak ada suara kupikir Vader menolakku.

Aku berusaha menggapai dahan terendah, dan berhasil, lalu naik secara perlahan. Semoga saja, dengan seperti ini aku bisa menemukan sesuatu yang berguna---maksudku, apa pun itu untuk bantuan jalan, selain para pemburu dan makhluk aneh tadi tentunya.

Aku hampir merosot ketika kakiku salah pijak, nafasku terengah-engah dibuatnya. "Rhaf, kau tak apa?" tanya Anya panik.

"Aku baik-baik saja."

Kulanjutkan naik pohon susah payah, hingga tak lama berselang suara Vader menginterupsi, "Apa sih yang mau kau lakukan naik ke sana?"

Ah, dia tidak tahu bahwa salah satu hal yang perlu dilakukan saat-saat seperti ini adalah mencoba mencari sesuatu di ketinggian. Barangkali dapat melihat asap dari seseorang. Maksudku, benar-benar orang. Entah itu dari asap bakaran warga pedesaan atau, entahlah, apa pun itu. Tak salah kalau mencoba, kan?

Saat itu Vader akhirnya menyetujui membantuku meski dengan berat hati ia melakukannya. Sementara dia mendorong pantatku lebih jauh ke atas, aku segera menggapai dahan yang besar dan mencoba naik perlahan.

Peri Mortem melayang di sampingku. Bunyi kepakan sayapnya yang terbang secara leluasa membuatku mengerucutkan bibir. Entah aku ini waras atau tidak karena sedang merasa iri padanya.

Tiba di puncak dengan aman, tak ada yang bisa kulihat selain pepohonan dan awan yang hitam. Tak ada semburat matahari atau sinar bulan. Hanya desis angin yang sejuk sekaligus terasa menusuk ke tulang. Di sini aku seakan kehilangan orientasi waktu: entah siang atau malam.

"Apa yang kau temukan?" tanya Anya begitu aku turun. Tersirat nada penuh harap di sana. Dia menyerahkan tas punggungku cepat, lalu aku menggeleng.

Kata Peri Mortem, kami mungkin bisa berjalan lagi guna mencari bantuan dari orang-orang yang sungguhan ingin membantu atau punya niat baik. Jujur saja, makhluk Hurrah yang satu ini adalah figuran yang tak banyak membantu kami. Ujarnya, Hurrah tak lagi seperti dulu. Maka dari itu, ia juga sama bingungnya dengan kami. Entah pergantian dunia Hurrah, dari terang nan indah jadi gelap nan suram seperti ini, ikut mengubah segala isi kepalanya juga, aku tak tahu.

Tas masih berada di punggung, sementara tulang belikat sudah hilang protein. Padahal isinya tak begitu berarti, barangkali akibat terlalu banyak bertempur dengan hal aneh di sini membuatku berlagak seperti akan mati satu menit lagi. Vader pun demikian, malahan kadang anak itu kudapati sedang dan ingin melempar tasnya ke pada para makhluk mengerikan sebelumnya, sampai ketika kularang bahwa ada saja sesuatu di dalamnya yang berguna. Lalu Vader memberi tahu dia hanya membawa satu pulpen dan dua buku mapel pada tas hitam besar menyerupa ranselnya itu, aku heran kenapa anak ini masih hidup dalam keadaan seperti ini. Peralatan tulis tak bisa digunakan senjata untuk para makhluk aneh barusan. Kadang aku heran kenapa bukan aku saja yang melempar tas Vader beserta orang-orangnya.

Anya, dia yang paling kelihatan tenang di sini. Meski sekali ia bersuara, yang ada rasa panik bercampur dengan emosi lainnya yang sulit dimengerti. Tubuh Anya kecil, kuperkirakan tak sampai 160 tingginya. Ia mungil, tak besar dan tak kecil. Anya tidak sedang memanggul tas macam orang yang nyawanya hampir di atas ubun-ubun seperti aku dan Vader. Tapi gadis itu kadang menawarkan bantuan, meski dengan berat hati kami tolak. Dengan alasan dia anak cewek. Meski sebelumnya Vader sempat berargumen kalau semua orang sama saja. Kacamata mines Anya masih bertengger manis di pangkal hidungnya yang mancung. Kadang aku ingin sekali menyentuh benda itu, yang anehnya selalu menempel di sana---tak jatuh sekali pun kami berlari membelah hutan, tersaruk akar, menabrak pohon, nyungsep.

Masalah yang lain, di antara kami bertiga tak ada satu pun yang membawa jam. Entah karena kebetulan atau memang nasib malang berbondong-bondong menjahati kami. Sialnya, di sini kami seolah kehilangan orientasi pada waktu. Entah siang atau malam. Eh, atau ini sudah malam? Tapi kenapa pula aku tidak mengantuk?! Ngomong-ngomong, siapa juga yang bisa tidur di tempat macam ini?!

"Oke, fine gaes," kata Vader sambil mengangkat kedua tangannya. "Kita harus istirahat."

Kalau lagi istirahat, berarti kami harus awas dengan sekitar. Tak ada yang tahu bakal muncul monster macam apalagi yang siap ngap pada kami. Paling banter jika kami ditangkap, langsung mangkat di tempat, dalam proses itu, tentu saja tak ada yang mau. Memangnya siapa pula yang ingin mati di tempat begini?!

Membuka tas, kusodorkan sebungkus roti pada Anya, tangan gadis itu terulur menerima, namun ditariknya kembali saat Vader keburu mengambilnya. Lalu bocah itu menggaruk tengkuk tolol, "Eh, maaf, aku nggak bermaksud---ini ambil."

Entah apa yang ada dalam kepala anak itu, justru rasanya aku yang menanggung malu. Untung saja, Anya tak banyak menye-menye. Dia lantas tersenyum singkat saja, "Ambillah, aku sudah kenyang."

"Oke, aku makan." Vader jadi kesetanan, sedangkan aku muak melihat wajahnya. Rasanya ingin sekali kulayangkan tinju pada wajah tak tahu malu itu. Bogeman anak 13 tahun tak banyak dapat bonyok kurasa.

"Kau mau, Rhaf?" tawarnya. Roti tadi sisa seperempat kurang dari dua menit. Aku menduga anak ini tak diberi makan mamanya dalam kurun waktu yang lama.

"Oh, tentu tidak," jawabku, "masakan mamaku lebih enak dari itu."

Bermaksud menyindir, anak itu malah menyerobot, "Serius? Wah, kapan-kapan kau ajak aku ke rumahmu boleh? Aku ingin mencoba masakan mamamu."

Aku membalas, "Bahkan sebelum kau datang ke rumah, makanan itu habis dalam perutku."

"Dia tak tahu malu." Peri Mortem memberenggut sambil membuat mimik wajah 'ew'. Aku tersenyum puas, setidaknya ada yang sependapat denganku. Vader bertanya apa yang sedang makhluk itu katakan, aku balas menjawabnya dengan penuh kedustaan, "Roti yang kau makan sudah kedaluwarsa dan sebentar lagi mulutmu akan mengeluarkan busa. Percayalah padaku."

Vader gelagapan macam orang sinting. Mulutnya membuat daftar hewan kebun binatang sambil menyelipkan namaku di sana. Aku dan Anya saling pandang, puas.

Lima menit berikutnya kami bertiga berada di antara bebatuan. Basah dan bau anyir menggantung di udara. Kulitku terasa seperti akan menggigil kala angin malam berembus tajam. Perpaduannya mengingatkanku pada ke-horror-an film di TV yang dulu sering kusaksikan malam-malam bersama ayah dan mama. Sepanjang durasi film diputar, selama itu pula aku menutup diri dalam selimut.

Nah, bedanya, kali ini aku benar-benar merasakannya. Ini bukan lagi seperti film itu, tetapi realitanya. Gelap nan suram adalah perpaduan yang mengerikan. Tambah lagi keawasan pandang kami sendiri terhadap sekitar, apabila ada makhluk-makhluk seperti sebelumnya datang, tamatlah kami. Kadang aku berpikir bahwa ketakutan itu kita sendiri yang menciptakannya di dalam otak sana.

Saat itu kami masih melangkah berhati-hati, sampai ketika tubuhku merosot ke bawah karena salah pijak. Aku tidak tahu mataku seteledor ini, ceruk lubang dalam hampir menelan seluruh tubuhku. Aku terus turun dan bersentuhan langsung dengan dinding ceruk, sementara tanganku berusaha menggapai apa saja yang ditemukan. Untungnya, kedua kakiku dengan mulus mendarat tepat pada sebongkah batu yang menyeruak di dinding ceruk tanah yang basah dan bau menyengat. Di bawahku, kentara lubang masih dalam di makan kegelapan.

"Rhafal!"

Suara Anya tampak histeris. Ia menyerukan namaku berulang. Vader pun demikian, meski ada sedikit perbedaan, "Rhafal! Hei! Kau---kau tidak mungkin mati! Kau jangan mati dulu!"

Kepalaku bak vertigo ganas yang melumat secara utuh. Tambah lagi bau aneh yang hanya itu bisa dihirup dengan oksigen membuat tubuhku lemas. Tapi aku harus bertahan. Lagian aku tidak akan mati jatuh dalam lubang?! Itu tidak keren! Masih ada cara mati lain yang lebih masuk akal.

Matian-matian aku mempertahankan posisi di sebongkah batu di bawah kakiku. Aku tak berkutik, rasanya serong dikit salah, geser sedikit salah. Tak ada yang benar! Maka kuteriakan nama mereka keras-keras, "Vad! Tolong!"

Suara Vader membuat kupingku panas, "Rhafal, kaukah itu?! Kau masih hidup?! Syukurlah!"

Aku mendongak ke atas, yang bisa kulihat hanya siluet bayang dalam keremangan. Entah Anya yang mana dan Vader yang mana. Intinya tak ada yang bisa kulihat dengan jelas. Namun kudengar keduanya saling lempar argumen, yang mana kedengaran timpang-tindih.

"Rhaf, aku dan Vader akan membantumu---tunggu sebentar---"

"Hei, siapa di sana?! Tolong jangan makan kami!"

"Cepatlah, Vad, kita butuh tali---cepat---"

"Di sana?! Aku melihatnya di sana?! Dia bukan orang!"

Dalam detik berikutnya, suara ledakan mengisi kegelapan. Pancaran warna merah meluas di atas sana.

***

saya rada bingung, apakah seribu lebih kata dalam 1 chapter itu terlalu sedikit atau terlalu banyak? ;-;

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro