#07
|| 1772 words ||
Vader masih terheran dan bertanya-tanya, sekiranya apakah aku ini macam penyihir yang memiliki teman mahkluk lain---yang ia maksud di sini adalah Peri Mortem, atau aku disebutnya makhluk gaib yang memiliki burung mirip manusia. Anak itu selalu memandangi makhluk Hurrah ini terus-menerus dengan penasaran.
Anya tidak banyak mengoceh---macam Vader, gadis rusia itu sesekali menyentuh benda apapun yang ia lalui di dalam rumah nenek dengan mimik wajah penuh kagum. Patung, pigura foto bekantan berpelukan, asbak rokok kuno berukir, serta-merta lemari dan nakas yang berisi puluhan guci keramik tak luput dari sentuhan telapak tangannya.
"Nenekmu mengoleksi ini semua?" tanyanya. Kulihat tangan Anya menyentuh permukaan guci di atas meja kecil berlaci. Kadang aku ingin melarang, tapi canggung sekaligus bingung bagaimana melakukannya pada Anya.
"Em, tidak juga, sih." Kuperhatikan Vader di sofa---atau bangku tua, di sisi lain ruangan. Anak itu tengah memerhatikan setiap jengkal tubuh Peri Mortem yang berdiri di meja. "Nenekku memang suka mengoleksi barang-barang semacam ini. Tapi kebanyakan asalnya ini dari nenek nenekku yang terdahulu. Kau paham? Yah, intinya, kayak barang turun-temurun."
Aku jadi bingung sendiri. Inilah wajibnya pengetahuan silsilah cerita keluarga. Dari kecil, yang kutahu hanya sebatas itu dan cerita Hurrah milik nenek. Tanpa kuketahui seluk-beluknya.
"Keren." Anya menanggapi. Gadis itu beralih menuju lemari tua di sudut dinding. "Nenekmu pasti wanita yang hebat sekaligus istimewa."
Aku jadi meragukan kalau mata rabun dan sering pikun itu adalah hal yang istimewa. Nenek tampak tidak ada yang menarik dari segi manapun. Bukannya aku merendahkan nenek, tetapi kita bicara, yah kau tahu, fakta di sini.
Atau mungkin keistimewaan nenek ada pada kisahnya.
"Hei! Lihat sepertinya dia mengerti kalimatku!" Vader bersemangat. Ia tengah duduk bersila di lantai berdebu, sembari menghadap meja. Sesekali telunjuknya hendak menyentuh makhluk itu, tetapi ragu. Peri Mortem berbicara---yang dari sudut pandang Vader dan Anya berkicau---sembari menoleh ke arahku. Suaranya kecil dan tampak mungkil saat masuk telinga.
"Jadi, kau teman Rhafal, ya? Di mana dia menemukanmu, hah?! Kau ajaib sekali!" tanya Vader.
Wajah Peri Mortem tampak memelas sembari menoleh ke arahku. Ia kemudian berbunyi, menyuarakan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Mendengar makhluk itu berkicau macam burung, Vader semakin semangat kalau Peri Mortem ia pikir membalas pertanyaannya.
"Anak ini berisik dan bau sekali!" Wajah makhluk itu merenggut dan tampak ingin muntah. Jika dilihat dari kulit wajahnya, Peri Mortem tampak berkeriut.
"Nah, lihat! Apa katanya, Vad? Aku yakin dia sedang memujiku, kan? Ayo jawab!"
Aku terkekeh sebentar. "Katanya wajahmu tampan dan baumu harum sekali."
"Oh, jelas!" Vader merapikan rambutnya.
Sebelum aku benar-benar membuang isi perutku pada wajah anak itu, aku bergidik ngeri lalu meninggalkannya dengan tubuh merinding. Melangkah menuju kamar milik nenek, seketika bayangan-bayangan masa lalu antara aku dan nenek melumat otak dan penglihatanku.
Kubuka pintu dengan pelan. Debu-debu kecil menyeruak keluar seakan telah lama tak disapu bersih. Mataku agak berair sebentar karena butir debu, namun segera kuhapus cepat-cepat agar Anya dan Vader tidak menduga kalau aku sedang menangis.
Bau kamarnya masih sama ketika kali pertama masuk. Kayu manis dan harum bunga lavender. Yang mana dulunya sangat tidak kusuka, sekarang jadi yang kurindukan.
Tidak---aku tidak sedang sedih!
Kurasakan bahuku dipegang oleh seseorang. Hangat dan lembut. Sebelum kumenoleh ke samping dan menerka itu nenek yang bangkit jadi manusia berjalan, ternyata tangan milik Anya. Gadis berkacamata itu tersenyum kecil.
"Sabar ya, Rhaf," lirihnya sebentar. Anya tahu saja kalau aku sedang berkabung.
Kuembuskan nafas secara perlahan. Seketika aroma lavender dicampuri sisa-sisa bau kayu manis menelisik dalam penciumanku. Kudekati lemari di sudut ruangan kamar, dekat dengan dipan, sebelum kualihkan pikiran pada tengkorak rusa yang tergantung. Bahwa benda mati itu tidak sedang mengawasi setiap inchi gerakku.
Anya rupanya mengikutiku sambil memerhatikan setiap jengkal kamar. Benda-benda di dalamnya. Hingga matanya terjatuh pada pigura foto di nakas. "Hei, ini fotomu dan keluargamu, ya? Aku baru pertama kali melihat nenekmu."
Perlu kuakui, nenekku itu macam benda pusaka yang tidak boleh sembarang orang temui atau lihat---begitu kataku pada Vader suatu saat. Anya tidak pernah melihat nenekku entah itu dia berbohong atau memang benar adanya. Karena sisi lain, setiap berangkat sekolah ia harus lewat depan rumah nenek. Siapapun bakal terkecoh dengan satu-satunya tempat bak rumah para makhluk gaib bersarang itu. Yah, kecuali gadis itu memutar arah melewati jalan poros sebelah.
"Ha-ha." Aku tertawa kering. "Yah, itu Nenekku, yang anak kepala sekolah bilang penyihir bertongkat emas."
Anya tampak tidak repot-repot menyembunyikan kikikannya. "Sekala emang menjengkelkan."
Sebelum keheningan betul-betul menjerat di dalam sini, Anya bertanya sambil mengerutkan kening, "Kalau yang kecil ini, itu kau, ya?" Kuperhatikan telunjuknya yang mengarah pada foto anak kecil sedang menangis---atau merengek.
Kurang ajar. Kenapa aku melupakan fakta kalau di dalam foto keluarga itu ada fotoku dengan ekspresi begitu!? Aku pikir ayah dan mama telah menyimpan segala sesuatu yang penting di sini---termasuk foto ini salah satunya---dan di bawa pulang di rumah. Tapi nyatanya tidak. Yaampun. Rasanya ingin sekali menghilang.
"Iya, itu fotoku saat masih kecil. Yah, kira-kira umur lima tahun saat malam festival raya," jelasku. Kalau disuruh buat daftar foto terabsurd sepanjang masa, maka foto inilah yang ada di nomor pertama.
Dari samping, Anya mangut-mangut paham. Meski gadis itu tidak pikir dua kali kalau mau terkekeh atau cekikikan diam-diam. Selepas itu, Anya beralih pada lampu tidur yang tak jauh dekat nakas. Benda itu tidak jauh dari lampu tidur bangsa kuno ribuan tahun saking jadulnya.
Keheningan kembali menggantung di udara. Aku sendiri bingung ingin mengobrolkan apa pada gadis itu, maka kubiarkan ia mengagumi seisi kamar, apabila perlu seiri rumah pun tak apa. Selagi Anya melihat-lihat barang, aku sendiri sudah siap akan menggeser lemari tua tak bercermin di sudut ruangan.
Kasarnya kayu ulin lemari ini beradu dengan telapak tanganku. Di tambah noda debu yang menumpuk, sekali dorongan, bunyi berkeriut mengisi hening yang tak nyaman. Pada area tertentu lemari nenek sampai dibuat laba-laba sebagai sarang. Aku harus menepis tiap benang yang mereka buat.
Karena itu pula, Anya dengan segera mendekat ke arahku. Mungkin bunyi barusan mengundang perhatiannya. Berikut, ia tak perlu repot-repot lagi menyembunyikan rasa penasarannya. "Buat apa?"
Aku mengerling. Mataku menyipit sebentar. Ventilasi pada jendela membawa cahaya matahari masuk dan menerpa kulit mulus wajah Anya. Membuat mataku silau. "Ngomong-ngomong, aku tidak berbohong soal tempat yang kuceritakan tadi."
Apakah cuma nenek dan Anya, atau memang beberapa perempuan itu suka lupa?
Anak itu tampak bingung, namun ia berusaha mengabaikannya dengan cara mendekat ke sampingku. "Oke, aku bantu."
Jujur saja, tenaga gadis ini tidak banyak membantu. Kalau dipilih mengerjakan sendiri atau bersama, lebih baik kupilih opsi satu. Meski begitu, aku tentu tidak akan mengatakannya secara gamblang supaya dia tidak tersinggung. Maka, kubiarkan kami berdua mendorong lemari.
Bunyi gesekan lantai dengan alas lemari mengisi ruangan selama seperkian detik. Akibatnya, debu-debu kecil berterbangan tertarik udara yang timbul. Benda besar ini tak lama bergeser, menampakkan sebuah pintu mahoni kecoklatan---nyaris menghitam termakan usia.
"Eng---em, kau serius. Di dalam sini?" Gadis itu bertanya ragu. Di balik kacamata bulatnya, keningnya berkerut.
Salah satu hal yang kutangkap dari pikiran Anya saat ini semacam: "kau yakin negeri yang kau ceritakan tadi ada di balik pintu kecil ini?" Kalau aku tidak pernah satu kali mengunjungi Hurrah, dulunya aku juga mengira demikian.
Hurrah semacam negeri dongeng, kalau di film-film. Seperti negri Narnia di balik lemari. Tapi Hurrah adalah sebuah tempat yang tak ada bedanya dengan di mana kuberpijak sekarang. Di balik pintu mahoni ini, di dalam sana adalah goa yang nyaris gelap gulita. Berjalan semakin jauh, kau mulai menemukan cahaya terang dibalik sulur yang merambat lebat menutup akses satu-satunya di mulut goa.
Di luar sana, ada dua hal yang kuanggap luar biasa. Pertama, adalah pepohonan ek yang rindang. Serta sesemakkan dan bunga-bunga yang subur. Udara yang berembus terasa sejuk. Tempat itu sangat asri tanpa tercemar polusi. Seakan tidak pernah tersentuh oleh tangan-tangan manusia yang nakal. Cahaya matahari berusaha menembus di balik dedaunan pohon yang lebat. Hijau dan tenang. Di tambah kicauan burung akan membuatmu nyaman. Kalau disuruh membuat daftar lokasi relaksasi tenang nan nyaman, tempat ini yang kutulis pertama.
Kedua, ini mungkin bakal berada di luar akalmu. Nenek pernah bercerita bahwa Hurrah adalah tempat berkumpulnya para makhluk misterius. Dari kisahnya pula, ia pernah mengatakan kalau mahkluk-mahkluk ini adalah wujud dari sihir Bramacorah. Para Peri kecil bertelinga panjang yang perawakannya mirip rerantingan---meski jauh lebih besar, berterbangan di antara semak, rusa putih bertanduk panjang dalam kelompoknya tengah minum di kolam, beberapa kuda bersayap sedang berada di atas bebukitan tinggi.
Pada perjalanan singkat antara aku dan nenekk, kami menemukan sebuah kapal yang terbengkalai di bibir pantai. Diterpa oleh ombak dengan suara khasnya. Layar kapal bajak laut itu sobek, bahkan beberapa tiang penyangganya telah patah. Dindingnya terdapat bolong lumayan besar. Ketika aku bertanya ada apakah gerangan dengan itu, nenek mengerutkan kening sembari membawaku cepat pulang.
Yah sekiranya seperti itu, dulunya.
Mungkin, kalau Vader melihatnya anak itu barangkali bakal reog di tengah-tengah kumpulan rusa. Aku juga tidak bisa menampik kalau temanku itu tipikal orang yang cepat beradaptasi dengan lingkungan. Vader supel meski kadang obrolanku dengannya tidak nyambung sama sekali.
"Jadi kita akan masuk ke sana?" tanya Anya. "Apa yang ingin kau cari?"
"Suatu saat, nenek bakal mati. Kau mesti menjaga Hurrah untuk nenek." Aku teringat omongan wanita itu. Mungkin itu bisa dijadikan alasan. Tidak mungkin bagiku mengatakan terang-terangan kalau aku baru saja bermimpi buruk selama tiga hari berturut-turut tentang Hurrah pada Anya.
"Aku perlu memeriksanya." Kubuka pintunya perlahan. Sama seperti dulu: gelap dan bau tanah basah.
"Hei!" Vader berteriak. Ia mendekat dan secara tiba-tiba merangkul bahuku. "Ngomong-ngomong, aku dan Peri Molen sekarang sudah nyambung."
Mesin molen untuk mengaduk semen dan kue pisang yang digoreng, itu kesan pertamaku saat ia menyebut kata molen pada Peri Mortem.
"Heh? Apa ini?" Anak itu mendekat penasaran. "Rhaf, rumah nenekmu punya pintu rahasia, ya? Wow!"
Peri Mortem terbang di antara kami, ia duluan masuk di kegelapan. Sementara Vader masih terkagum sembari mengoceh, dari yang kudengar: "Ini macam tempat menuju lokasi rahasia agen CIA kayak di film Hollywood." dan "Aku yakin ini adalah tempat neneknya Rhafal meracik ramuan dan bertapa." Aku dan Anya langsung masuk tanpa mengindahkan anak itu.
Perlahan, setiap kedua kaki memijak di bawah, akan terasa becek dan basah. Terasa dingin, seperti baru saja menginjak bebatuan basah. Bau yang asing menggantung di udara yang dihirup. Sementara, tak ada embusan angin sedikitpun, seakan tengah berada di ruang hampa. Yah, kalau saja cahaya redup---nyaris menggelap, dari balik mulut goa depan sana tak ada.
Saat kami bertiga menyingkap sulur lebat yang merambat penuh di mulut goa, yang mana sebagai akses jalan satu-satunya, seketika tubuhku merinding dan kedua tungkai kaki melemas tanpa aba.
Definisi Hurrah yang dulu aku dan nenek kunjungi tak lagi sama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro