Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#05

|| 1250 words ||

Mimpi itu terus menghantuiku selama tiga malam berturut-turut.

Awalnya, aku pikir itu hanya sebatas kebetulan dan biasa-biasa saja. Tapi ketika mimpi itu selalu berulang-ulang dalam kepala, aku jadi kepikiran kalau saat ini aku sedang tidak waras.

Pertama, aku ada di atas kapal bajak laut yang ramai. Kedua sisiku banyak orang-orang badan besar berpakaian jadul berlalu lalang. Cuaca tengah badai. Angin kencang, awan gelap, dan hujan bak meteor dari langit yang menghujam tubuh.

Kapal terombang-ambing. Seakan tinggal menunggu detik saja kapal akan hilang keseimbangan, dan Malaikat Maut siap menarik ruhmu kapan saja. Aku berpegangan pada tali jangkar kuat-kuat. Sementara napas memburu, nyaris saja aku terhuyung saat seseorang menabrak bahuku.

"Timba airnya—"

"—Astagfirullah—"

"—Puji Tuhan—"

"Layar utama sobek—"

"Oh, malang nian—"

"Nahkodanya! Hilang kesadaran—"

"Perhatikan lambung kapal—"

"—Awas—"

Hiruk-pikuk kerumunan bagai tengah berada di acara syukuran. Di atas sana, awan gelap bergerumul melahirkan petir-petir mengilat. Angin berembus seakan bisa membawa terbang badan kurusmu kapan saja. Gelombang air laut bak tornado ganas yang mengombang-ambingkan kapal.

Pada area haluan kapal, pria-pria tengah menimba air dengan alat seadanya. Lubang pada dinding kapal bagian itu tampak kecil, namun tetap saja ombak dari gelombang laut niscaya akan menenggelamkan kapal kapan saja.

"Pak—tuan, tolong!" Aku hendak berlari masuk ke kabin, namun urung dan beralih kembali pada tiang layar ketika seorang pria keluar dari sana sembari menenteng tubuh gagak tak berkepala.

"Untuk Bramacorah!" Diangkatnya bangkai gagak itu tinggi-tinggi. Mencipratlah darah di mana-mana, yang berasal dari pangkal leher hewan yang malang nasibnya.

Ruhku mungkin sudah siap mangkat ditarik Malaikat Maut, akan tetapi keadaan tak mengizinkan. Pria-pria yang tengah sibuk menimba air, memindahkan barang ke area dek kapal, serta beberapa orang yang ada di atas tiang layar dan kemudi, semuanya tertawa kencang.

Mataku terbelalak, dan aku kehilangan keseimbangan saat kapal miring ke kanan. Ombak laut setinggi tujuh meter menghempas kapal dan seisi-isinya. Selama beberapa detik, orang-orang yang ada di atas sini masih berlagak macam tengah berpesta pora atau semacam itu. Tertawa di atas penderitaan sendiri. Seolah mereka semua telah berserah pada Sang Pencipta atas apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kugapai apa saja yang dapat kedua telapak tanganku temukan. Kuku tanganku menggaruk lantai kayu kapal yang kasar. Rasanya nyeri sekaligus ngilu. Namun tampaknya usahaku sia-sia, ketika aku terus bergerak ke bawah macam perosotan.

"Tolong!"

Aku, puluhan kotak kayu yang berisi rempah dan bubuk mesiu terjatuh ke sisi kapal. Ombak laut ganas akan segera menyambut tubuhku macam telah merentangkan tangan lebar-lebar untuk berpelukan, "Hei, Rhafal, ayo berenang bersama!"

Terlentang dan tenggelam. Air laut sedingin es terasa menusuk kulit yang makin mengganas menarik kedua ujung kakiku untuk tenggelam lebih dalam, jauh di inti laut, dikegelapan. Kotak kayu yang berisi barang berat tenggelam. Tampak melayang-layang dipenglihatanku.

Susah-susah kucoba bungkam, namun aku tetap makhluk hidup yang bernapas menggunakan paru-paru alih-alih insang. Gelembung-gelembung udara muncul keluar ketika kubuka mulut. Penglihatanku memudar dan semakin gelap.

Di atasku, beberapa mahluk berekor macam siren berenang memutari tubuhku. Mata mereka tampak menyala dengan sunggingan mulut penuh hawa nafsu.

Seiring kedua kelopak mataku tertutup, aku sudah sepenuhnya bersiap mangkat di tarik Malaikat Maut, namun sedetik kemudian, ketika membuka mata lagi, tempat di depanku berubah, secara harfiah.

Aku terbaring meringkuk di dalam kurungan kayu berbentuk kotak berongga. Di tengah-tengah kubangan tanah becek. Perlahan bangkit duduk, kurasakan seluruh tubuhku nyeri. Entah apa yang baru saja terjadi, tetapi lenganku banyak goresan-goresan yang muncul entah darimana. Aku masih dibalut bajuku yang tampak lusuh dan bernoda, untungnya. Kendati demikian, tak jauh di depan sana ada api unggun dan dua pria tengah berbincang.

"Penyusup," kata salah seorang pria yang mengenakan rompi zirah.

Kegelapan yang pekat membuatku tak leluasa mengenali di manakah kiranya aku berada sekarang. Namun pencahayaan remang dari api unggun itu bisa menampakkan sejumput keadaan sekitar.

Pehutanan, bebatuan dan pohon-pohon berakar macam kumpulan ular. Langit malam tak secerah biasanya, tampak gelap dan sesekali mengilatkan petir. Tanah becek seperti di sini baru saja diguyur hujan deras seperkian menit yang lalu. Embusan angin masih terasa menusuk kulit hingga ke tulang. Bau aneh dari bangkai hewan membius penciuman. Aura di tempat ini—atau dikurungan ini benar-benar mengerikan.

Ngomong-ngomong, kenapa aku bisa di dalam kurungan?!

"Dua yang lain melarikan diri," lanjut pria yang tadi. "Kuyakin tak bertahan lama, mereka berlari ke arah Barat, kumpulan Alkonost tengah berburu malam-malam seperti ini."

Siapa yang ia maksud dua yang lain? Dan siapa Alkonost? Apakah sebelumnya ada orang yang masih waras di sini bersamaku?!

"Jadi mau kau apakan dia?" Seorang pria itu bertanya lagi pada lawan bicaranya. Dia sempat mengerling ke arahku sejenak. Wajahnya penuh noda tanah dan bercak merah. Luka di area kening kanannya membuat garis hingga ke pipi. Hidungnya sedikit bengkok ke kiri. Giginya tak lagi putih, tapi nyaris hitam.

"Entah," balas pria berjubah. Wajahnya tak begitu tampak dari sini. Ia menoleh ke arahku, tetapi pencahayaan remang api unggun tak mampu menampakkan barang sebagian wajahnya. "Mungkin akan kujual kepada para Enterma. Daging manusia sungguhan tentu mahal. Setelah itu, terserah apa yang akan mereka lakukan padanya."

Kemudian, salah satu pria yang tadinya kuduga memakai rompi zirah mendekat kemari. Ketika pencahayaan remang api unggun cukup menerangi, mataku terbelalak ketika mendapati manusia—atau mahkluk ini—yang perawakannya tidak betul-betul mirip manusia.

Dari kepala hingga pinggul, ia tampak normal. Tubuhnya dibalut pakaian seadanya, berwarna abu-abu gelap penuh noda merah dan tanah. Sementara, dari pinggul ke kaki, tampak tak normal untuk disebut manusia. Itu adalah bagian tubuh hewan seperti kangguru. Penuh lumur dan cipratan merah di bulunya.

Aku bahkan bingung ingin terus melihat atau menutup mata. Di mana auratnya!?

Tersungginglah senyuman aneh kala ia menatapku. "Kau bangun, Manusia."

Manusia setengah hewan ini berjongkok, sementara aku semakin tersaruk mundur. Di belakangnya, pria berjubah hitam tadi mendekat. Lagi-lagi, yang satu ini juga tampak abnormal. Matanya hijau, sehijau air berlumut. Wajahnya dipenuhi lubang-lubang kecil. Jauh-jauh kutepis pikiran bahwa anakan belatung tak ada di dalam sana.

Ia ikut berjongkok. Dibalik jubahnya, tepatnya di tangan mahkluk ini sedang memegang sebilah benda tajam, tanpa si manusia setengah hewan sadari. Karena mimik wajahnya yang minim ekspresi, namun kuduga ia tengah tersenyum padaku dengan makna yang tidak kumengerti.

Hingga tak lama, kibasan tangannya yang memegang sebilah benda tajam tadi berhasil membuatku terpejam dan berteriak sekencangnya.

Tubuh pria setengah hewan di sebelahnya ambruk tanpa kepala.

"Sudah tiga malam aku memimpikan mimpi yang sama," kataku pada Vader. Barusan, aku sedang menceritakan mimpiku kalau-kalau kau lupa. Jangan terlalu serius, bung.

"Mimpimu aneh dan anti-mainstream sekali." Vader mangut-mangut. "Ngomong-ngomong, apakah para siren yang di mimpimu itu cantik?"

"Mana kutahu, Bro," balasku hampir frustasi. Dari semua cerita panjangku barusan, yang ia tangkap malah bagian yang tak jelas di mimpi. Vader memang tidak cocok untuk diajak mengobrol.

"Oh," balasnya, "jadi selama tiga hari itu kau memimpikan mimpi yang sama, ya?"

"Aku sudah bilang—"

"Diam sebentar. Begini maksudku," potongnya. Vader menggeser bangku miliknya mendekat. "Kau sebelumnya tidak pernah mimpi semacam ini, kan? Jadi, coba pikirkanlah! Mungkin ini berhubungan dengan suatu pertanda atau apalah!"

Aku mengerutkan kening. Biasanya sebelum tidur aku menonton film kartun, tapi tampaknya itu tak menjawab makna di balik pernyataan Vader sama sekali. Kalau kau bilang tak berdo'a, kau salah besar.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ini ada hubungannya dengan cerita nenek sebelumnya. Bukan maksudku bilang kalau nenek jadi hantu terus menggentayangiku, tapi ... setelah beberapa hari pulang dari rumah nenek, aku selalu memimpikan mimpi aneh yang sama setiap malamnya. Tentang Hurrah, kapal bajak laut, Bramacorah, pria berjubah hitam, siren, manusia setengah hewan ....

Hurrah, pikirku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro