#04
|| 1378 words ||
Ada sesuatu yang berbeda, tanpa bisa kumengerti seperti apa.
Kehilangan nenek membuat kehidupanku berubah signifikan. Tidak ada alasan lagi bagi ayah untuk membawaku ke Toko Mainan milik Pak Leman, karena mama melarang kami ke sana.
Ayah bilang, "Kami mau ke rumah Nenek, Sayang, bukan pergi ke Toko Pak Leman." Ia menatap Mama penuh harap. "Boleh, ya?"
Kekuatan ibu-ibu adalah feeling yang kuat. Seperti mama, dia seakan tahu ke mana kami akan pergi meski berbohong. Karena sejujurnya, setiap sore ayah membawaku ke Toko Mainan Pak Leman untuk membeli mainan, sementara ayah bermain ludo dengan pemilik toko tersebut.
"Daripada kau membeli mainan setiap hari di sana, yang setiap sorenya mainan itu sudah dipereteli, lebih baik uangnya kamu simpan di tabungan ayammu." Mama memberi pencerahan suatu waktu.
Nasihat mama cuma bertahan 2 hari, esoknya ayah mengajakku lagi.
Tapi, kemarin nenek meninggal. Tidak ada alasan "Kami mau ke rumah Nenek" sebagai pengalihan. Yang artinya, aku sudah tidak bisa tiap hari pergi ke Toko milik pak Leman.
Kembali ke aktifitasku, sepagian ini mama terus mengomel panjang lebar padaku. Ayat-ayat yang ia ucapkan tak lebih dari "Tidak ada alasan untuk tidak sekolah!" dan "Kalau kau tidak mau sekolah, kau tidak akan jajan satu harian!" Yang membuatku ingin menangis saja.
Sebenarnya, aku malas sekolah, karena kupikir, aku baru saja kehilangan nenek dan itu adalah hal paling sedih di dunia. Makanya kucoba buat alasan pura-pura sakit demam, tapi mama tahu aku cuma berbohong. Kucoba pasang seragam acakan, kancing baju timpang, celana kumasukkan ke kepala. kusembunyikan kaus kaki di kolong kasur.
Mama tambah mengomel.
Akhirnya, berkat usaha mama dan bantuan ayah, aku tiba di sekolah diantar ayah tanpa rambut disisir rapi dan kaus kaki beda warna.
"Kau kenapa, Fal? Wajahmu kayak singa habis melahirkan," ejek Vader.
Saat itu, kelas lima A tidak ada mata pelajaran. Pak Hasan tidak masuk kelas karena istrinya melahirkan. Gemparlah seisi kelas saat Willi---ketua kelas---berkumandang di atas meja guru depan kelas, mengatakan bahwa jam kosong, sampai ketika ia ngik-ngik dijewer Bu Raiva karena ketahuan.
Saat ini, anak itu dapat hukuman membersihkan WC guru.
Ngomong-ngomong, Vader tengah menyalin jawaban PR Bahasa Indonesia. Lebih tepatnya, ia sedang menyalin jawabannya sendiri pada bukuku. Iya, aku tidak mengerjakan PR, karena ke rumah nenek kemarin. Untung saja, cowok bergingsul itu tipe teman yang bisa diandalkan. Disuruh bolos bareng saja dia mau, asalkan traktiran bakso di kantin lancar.
"Aku nggak apa-apa," sahutku lesu. Kubenamkan wajahku pada meja sambil melipat tangan.
"Kemarin Nenekmu meninggal, ya?" tanya teman sebangkuku itu. "Kata Sekala Nenekmu meninggal keselek es batu. Benar, ya?"
Anak kepala sekolah itu—Sekala—memang tidak ada bedanya dari dulu pada semua orang. Misalnya tukang bully dan palak uang jajan adik kelas. Sifatnya selalu menjengkelkan dan kurang ajar.
"Nggak," kataku tidak minat. "Dia keselek mentimun."
Vader mangut-mangut dan ber-oh panjang.
Nenekku bukan macam badut sirkus yang bagus untuk bahan candaan. Terlebih, ia baru saja mangkat satu hari yang lalu. Mungkin saat ini, roh nenek sedang mengumpat padaku ... disuatu tempat. Mungkin saja.
"Selesai," kata Vader tak lama kemudian. Ia dengan segera membereskan perkakas alat tulis. "Sekarang, kau mesti ceritakan tentang Nenekmu!"
Aku tidak tahu mesti menceritakan pada anak ini perihal nenek. Pasalnya, aku dulu pernah bilang, dulu sekali, kalau nenekku itu adalah seorang penyihir yang tinggal di dalam goa. Vader saat itu antusias ingin mendengar lebih jauh pada ocehan mengarangku.
Beberapa hari berikutnya ia marah padaku, karena aku berbohong.
Duh, pikirku. Mana mungkin juga aku memiliki nenek seorang penyihir. Ada-ada saja. Lagian, Vader itu tipe manusia yang cepat sekali percaya akan suatu hal pada seseorang. Mungkin, kalau aku beritahu dia, jika sebenarnya aku ini adalah titisan Super Man, ia barangkali bakal percaya.
"Sebenarnya, Vad," kataku malas. "Kau sudah mendengar segala hal tentang Nenekku."
"Tidak—" balasnya semangat, "aku belum tahu semuanya! Dari dulu kau selalu membohongiku, kan? Nah, sekarang aku tidak mudah untuk kau bohongi lagi, bung. Kemarin kau izin ke rumah Nenekmu satu hari. Tapi lihat—kau libur lima hari!"
"Dramatis banget," gumamku, "kau iri, ya?"
"Tidak, tentu saja tidak," balasnya cepat, "tugasmu menumpuk, dan Pak Hasan menyuruhku untuk mengerjakannya!" Vader jengkel, wajahnya memerengut kesal.
Tangan Vader terangkat, ia mulai membuat list tugas dengan jarinya di sana. "Bahasa Inggris, Matematika ada dua, Prakarya, tugas bikin kerajinan, tugas—"
"Mau makan bakso di kantin, tidak? Aku yang traktir, deh."
"Ayok!"
Siang itu, aku dan Vader berakhir di kantin makan bakso Bi Surti. Seketika, anak itu melupakan daftar tugasku yang harus ia kerjakan. Sementara, aku tersenyum jahil macam iblis bertanduk.
***
"Akh! Lagi—lebih tinggi! Dorong lebih tinggi!" pintaku.
Memanjat pagar sekolah sebelumnya tidak pernah sesulit ini. Kuraih ujung pagar kayu yang kasar, lalu berpegangan ke sana. Sementara kedua ujung sepatu kiriku berusaha bertahan di dinding pagar. Vader di bawahku, sedang mendorong pantatku dengan susah payah.
"Jangan kentut!" teriaknya.
Saat di kantin tadi, aku baru ingat kalau habis sepulang dari rumah nenek kemarin, aku bawa Peri Mortem dalam koper. Langsunglah kuberitahu pada Vader, tak butuh waktu lama untuk bikin dia percaya. Lagian, habis ini pelajaran Prakarya. Malas sekali berhadapan dengan guru yang satu itu. Pak Slamet banyak ceritanya daripada mengajar, tahu-tahu setelahnya langsung memberi tugas.
Vader tampak ngik-ngik ketika aku hampir hilang keseimbangan. Cowok itu mengumpat beberapa kali padaku. Keringat pada pelipis tampak kontras dengan cuaca macam di neraka. Kalau saja aku tidak muak pada list pelajaran hari (dan sedang dirundung kesedihan soal nenek), mungkin ini tidak akan terjadi.
"Sabar—sedikit lagi!" seruku. Kali ini, kedua tanganku berpegangan pada ujung pagar kayu ulin yang tampak lapuk. Aku heran kepala sekolah memiliki selera yang buruk dalam membuat pagar. Misalkan, pagar butut ini bisa diganti dengan pagar besi yang lebih keren.
"Aku injak bahumu sebentar—" Aku terkekeh jahil. Usai berhasil jongkok, sepatuku dengan nyaman mendarat pada bahu atau kepala Vader, entahlah.
"Sepatumu—" Embusan nafas Vader tampak putus-putus. Bukan mau mangkat, tapi anak itu tampaknya sudah kewalahan. "Sepatumu bau sekali! Sialan, apa yang baru saja kau injak?!"
"Cuma kotoran ayam kok."
"bangsul!"
Sambil menyengir kuda, mungkin kepalaku sekarang sudah memiliki gambar tanduk iblis paling jahat di dunia. Sementara Vader tampak ngos-ngosan, aku baru saja akan menapakkan kaki kanan ke atas pagar, saat sebuah suara yang datang entah dari mana menginterupsi aksi bolos-siang-hari kami.
"Bolos lagi?"
Kereflekan Vader cukup cepat. Kurang ajarnya, bocah itu langsung sigap pada asal suara. Ia berdiri tegap tanpa peduli keadaanku. Karena keseimbangan dan tubuh tak bisa sinkron, aku jatuh terlentang ke tanah. Disambut noda-noda warna coklat yang menjijikan.
"Eh, Anya." Vader menggaruk tengkuk. "Kupikir utang KAS-ku sudah lunas."
Aku bangkit sambil menggerutu. Kupelototi Vader ketika kedua pasang mata kami bertemu. Kalau mata manusia bisa bicara, kurang lebih artinya: "Anak Anj—tunggu pembalasanku!" Sambil mengabsen nama-nama hewan kebun binatang.
"Aku nggak sedang menagih uang KAS," jawab gadis itu atas pertanyaan Vader.
Anya adalah kawan sekelasku dan Vader. Gadis berkacamata itu menjabat sebagai sekretaris. Siapapun bakal menjauh saat Anya mendekat. Pasalnya, mereka sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya; "Gaes, mau nagih uang KAS, nih!"
"Dan aku juga tidak mempersalahkan kalian berdua bolos. Lagian Pak Slamet hari ini tidak mengajar," jelasnya. Aku baru sadar kalau Anya sedang memegang selembar kertas. "Tapi bukan Pak Slamet namanya kalau saat jam kosong tidak memberi tugas."
Aku sudah setengah paham ke mana arah pembicaraan Anya. Tapi dengan bodohnya Vader berkata, "Jadi, kau ini ingin mencatat hutang KAS-ku kemarin, ya? Heh, bukannya sok kaya ya, tapi sudah kubayar tadi pagi kalau kau lupa—"
Aku melangkah maju dan sengaja menabrak bahu Vader. "Bicara sama pagar sana." Lalu lanjut menatap Anya.
Kadang, kalau sedekat ini Anya kelihatan ... nyaman dipandang. Di balik kacamatanya itu, bulu matanya lentik sekali. Pantas saja kakak kelas selalu mampir ke kelas kami saat jam istirahat, kata salah satu dari mereka, ingin melihat bidadari berjalan. Kedengaran berlebihan, tapi tidak juga.
"Jadi kali ini tugas apa lagi yang diberi Pak Plontos itu?"
Gadis itu menatapku. "Tugas kelompok. Bikin Makalah tentang kesenian. Dikumpulnya dua Minggu lagi."
"Oh, oke. Jadi?"
"Satu kelompok isinya tiga orang. Nah, anak-anak sudah bagi kelompok barusan di kelas. Karena Arsya dan Windy ke luar kota sampai lima hari lagi, aku jadi tidak kebagian kelompok. Emm ... yang belum kebagian kelompok di sini ...." Anya melihat catatan di selembar kertas HVS di tangannya. "Cuma kau dan Vader," katanya sambil menggaruk tengkuk dan tersenyum canggung. "Kalau tidak keberatan, bisa aku gabung sama kalian?"
"Tentu!" teriak Vader.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro