R o T || T w e n t y
MAAF JIKA ADA TIPO
•
"Yang seharusnya pergi akan pergi. Yang memang harus kembali akan menemukan jalannya sendiri."
-B-
•••
Rumah Sakit Jiwa tidak pernah berubah sejak Tera keluar masuk sana untuk mengunjungi sang mama, tepatnya semenjak Tera berusia lima tahun. Bangunan kokoh, besar, dan hijau asri itu tidak banyak direnovasi, mungkin hanya beberapa kamar yang diperluas untuk menambah ruangan pasien.
Dulu, saat pertama kali bertemu mamanya, Binar selalu histeris, meraung, melemparkan bantal-bantal di ranjang—bahkan pernah vas bunga pada Tera. Tera yang masih kecil hanya bisa memekik, berlari takut keluar ruangan membuat Tante Cahaya dan suster panik.
Tera tidak pernah tahu, apa yang membuat mamanya menjadi seperti itu. Kadang, Binar seperti sangat menginginkannya, memintanya menginap, meminta Tera untuk selalu berada di sisinya. Namun, sering juga tempramen Binar muncul, membuat Tera merasa dia sedang berhadapan dengan orang lain, bukan mamanya yang lemah lembut dan sering tersenyum.
Ruangan dengan kaca gelap yang dalamnya hanya bisa dilihat dari luar itu tampak sepi. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba putih alias pakaian pasien rumah sakit jiwa duduk membelakangi pintu. Di tangannya kosong, tidak terdapat apa pun, tetapi orang yang melihatnya pasti tahu wanita itu seakan sedang menggendong seorang bayi sambil menimangnya.
Tera menyeka sudut matanya yang berair. Gadis itu tak kuasa untuk membuka pintu. Apa tadi niatnya berlari kesetanan dari rumah Lily? Untuk menanyakan semuanya pada Binar? Sungguh? Dengan keadaan mamanya yang seperti ini Tera berharap apa?
Tera hanya bisa mengamati sang mama dari luar dengan air mata yang terus mendesak keluar dari sarangnya.
Seharusnya, Mama nggak ada di dalam sana.
Seharusnya, gue nggak pernah lahir di dunia ini.
Seharusnya, semua ini nggak terjadi supaya Mama bisa bahagia.
Tera luruh di depan pintu. Gadis itu mulai terisak pelan. Dia menunduk dalam di lorong yang sepi karena pada sore hari pasien sudah masuk ke dalam kamar masing-masing.
Apa yang Mamanya tulis di buku diary membuat Tera tahu segalanya. Apa-apa yang sedari dulu ingin dia ketahui, tetapi selalu Tante Cahaya tutupi. Apa yang Binar tuliskan membuat Tera tahu, bahwa orang-orang telah membohonginya soal papa yang telah meninggal.
Papanya masih hidup. Sekarang, mungkin sedang berbahagia di saat Binar berjuang untuk tetap sehat. Papanya itu, orang yang Tera pikir baik, ternyata tidak sebaik itu.
Entah apa yang dipikirkan Mama Tera hingga wanita itu mau menerima Fajar. Tera tidak tahu. Tapi yang Tera tahu, setelah dirinya lahir, Fajar justru meninggalkan Binar.
"Stok air mata lo masih banyak?"
Tera mendongak cepat. Matanya mengerjap pelan melihat Aksa berdiri di depannya sambil melipat tangan di depan dada.
"Kok lo ada di sini?" tanya Tera panik. Jelas, Tera syok berat.
Aksa melihat ke belakang Tera melalui kaca raksasa yang tembus ke dalam ruangan Binar. Tera mengikuti arah pandang Aksa hingga dia merasa malu dan membuang muka.
Mau taruh di mana wajahnya ketika ada yang tahu mamanya di rawat di sini? Tera bukannya malu Mama butuh perawatan intensif, dia hanya takut Aksa akan berubah seperti yang orang-orang lain ketika mengetahui fakta satu ini.
"Nggak usah malu," celetuk Aksa. Lelaki itu tersenyum tipis. "Sorry ngikutin lo. Gue nggak tahu lo mau ke sini," matanya bergulir, menatap ke dalam ruangan lagi, "ketemu Mama lo ya?"
Tera menipiskan bibir, bergeming di tempat hingga Aksa mengusap puncak kepalanya lembut. "Boleh ikut ke dalem?"
Tera masih bergeming. Aksa meraih bahu Tera hingga Tera berdiri tegak berhadapan dengannya. Netra lelaki itu lurus menatap manik matanya. "Boleh, ya?"
Bagaimana caranya bernapas ketika Tera ditatap seperti itu.
•••
Sesak.
Sesak sekaligus melegakan ketika melihat Binar tidak mengamuk. Wanita yang awalnya melayangkan tatapan laser pada pintu itu justru tersenyum lebar ketika melihat Tera bersama Aksa.
Tera merasa kikuk saat Binar menyambut Aksa kelewat hangat karena mamanya tidak pernah seperti ini. Mamanya tidak pernah turun dari ranjang hanya untuk menyambut tamu, mamanya tidak pernah menatap Tera seberbinar itu. Namun, pada Aksa, mama melakukan keduanya.
Apa yang ada di pikiran Mama sekarang? Hanya itu yang terlintas dalam benak Tera. Apa pun itu, dia bersyukur.
"Lama banget kamu nggak ke sini. Udah makan?"
Aksa tersenyum hangat. Entah bagaimana bisa Binar menganggapnya sering ke sana sebelum ini, padahal ini yang pertama. "Sudah Tante. Tante sudah?"
"Kok Tante siii, Mama," diktenya.
Tera tertawa. Geli juga membayangkan Mama akan menjadi mamanya Aksa seandainya lelaki itu bersamanya.
Melihat Aksa yang sungkan, Tera menjawil lengan Aksa agar Aksa segera menanggapi Binar.
Aksa berjengit sedikit kegelian. "Hehe. Mama udah makan juga?"
"Belum, makannya Mama buat kamu aja ini." Binar hendak mengambil nampan berisi banyak makanan di atas nakas, tetapi ditahan oleh Aksa.
"Eh, saya udah makan beneran, Tante."
"Mama," Binar mendikte lagi.
Aksa meringis kecil, melirik Tera kemudian.
Tera mengulum senyum, segera mengambil sepiring nasi dan lauk dari atas nampan. Dia berniat menyuapi Binar. "Mama makan dulu, ya. Tera suapin."
"Nggak," Binar menolak. Nadanya neninggi. Tatapan hangat itu langsung sirna dari matanya. "Itu punya kakak kamu. Taruh!"
Tera menahan napas. Pegangannya pada piring melemas. Bagaimana bisa sekarang Binar berhalusinasi jika Tera punya kakak dan enggan dengannya? "Tapi-"
"Biar gue aja." Aksa mengambil alih piring di tangan Tera. Lelaki itu mengangguk meyakinkan hingga Tera mau melepaskannya.
"Kamu sudah besar ...." Binar yang duduk di tepi ranjang mengelus lembut surai Aksa yang duduk di depannya menggunakan kursi lipat. Tatapan Binar kembali hangat dan teduh seperti seorang ibu yang merindukan anaknya.
"Jaga adik kamu ya, Sayang ...."
Ingin rasanya Tera berteriak bahwa dia tidak punya kakak. Namun, Tera hanya bergeming di tempat. Sudut hatinya sakit melihat pemandangan itu. Mungkin tadi dia senang mamanya menyambut hangat Aksa. Akan tetapi, sekarang dia juga iri. Seharusnya Binar mengelus surainya—bukan Aksa, seharusnya Binar menerima suapannya—bukan Aksa, seharusnya Binar mengucapkan kalimat-kalimat halus itu untuknya—bukan Aksa.
Tera tersenyum getir pada Aksa. Dia harus mengucapkan terima kasih pada lelaki itu karena keberadaannya, Binar mau makan dan tersenyum kembali. Sudah beberapa hari ini Binar uring-uringan dan sulit makan. Berat badannya turun drastis. Pipinya tak lagi berisi.
Tangan Aksa yang satu yang tidak memegang piring terulur, menggenggam erat jemari Tera. Aksa mengulas senyum menenangkan. Senyuman itu seakan mengatakan bahwa Mama bukan momok bagi Tera seperti yang teman-temannya bilang. Dan apa yang dia lakukan sama sekali bukan masalah besar.
Tera menengadah, mencoba menghalau air matanya yang hendak menerjang keluar. Ingatkan dia untuk bertanya, bagaimana bisa Aksa yang sudah pulang tadi setelah mengantarnya ke rumah Lily tiba-tiba datang dan berada di sini.
-TBC-
Salam hangat dari aku,
calon sarjana cumlaude:))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro