Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R o T || T h i r t e e n

MAAF JIKA ADA TIPO

"Tampang doang cantik, urat malu nggak punya. Gue yakin, nyamuk bakal mikir ribuan kali buat nyedot darah lo."
-T-

•••

    "BANGUN!"

   Tera menggeliat, menarik selimut merah yang dia pakai agar menutupi seluruh tubuhnya. Hangat. Gadis itu bergumam lirih sebelum kembali terjun bebas ke alam mimpi.

    Lyly yang berdiri di luar menggedor pintu milik Tera yang di depannya bertuliskan Sleeping Beauty Lagi Tidur, Jangan Ada Yang Ganggu! Note : Kecuali Tante Cahaya. Masa bodoh dengan tulisan itu karena mereka bisa terlambat.

    "Bangun, Ra! Bentar lagi kita telat!!" Lyly meringis saat tangannya menjadi sakit karena terlalu keras menggedor.

    Gadis yang mengenakan seragam putih abu dibalut sweter ungu kedodoran itu menatap sengit pintu di depannya. Beberapa detik kemudian, dia menarik napas dalam-dalam sebelum meneriakkan sesuatu yang membuat Tera terjengkang di alam mimpi sampai nyawanya kembali ke tempat asal.

    "Lentera! Kalau lo nggak bangun-bangun, LO MAU DITINGGAL BUS TERUS NGGAK BISA KETEMU AKSA?!"

Brak!

    Lyly yakin Tera jatuh dari tempat tidur. Tera yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya meringis sambil mengusap-usap pantatnya yang mencium lantai. Rambutnya awut-awutan, celananya tersingkap sampai atas, bajunya miring, dan matanya masih terpejam.

    "Ra, buruan! 10 menit lagi bel masuk! Kelamaan, gue tinggal!"

    Tera mendelik. Gadis itu berlari memasuki kamar mandi dengan tergesa sampai tidak sadar jika menarik selimutnya masuk ke dalam sana. "Tunggu, Ly, tunggu! 5 menit selesai!"

•••

    Jalanan padat merayap. Tera mengutuk Lyly yang duduk anteng di belakangnya. "Ini alasan kenapa gue bangunin lo 1 jam sebelum bel masuk bunyi."

    Tera mencibir. Mau niatnya baik karena sedang ada perbaikan jalan makanya macet kek, atau karena jalan ditutup total karena ada demo kek, bahkan karena tsunami yang tidak mungkin terjadi di dataran mereka, Tera tidak peduli. Lyly sudah mengganggu tidurnya! Dan itu tidak etis sama sekali, mengingat Tera semalam tidur pukul 1 dini hari, bangun untuk shalat subuh pukul setengah 5 lewat, dan tidur lagi tidak sampai 1 jam karena Lyly.

   Lyly tertawa melihat wajah Tera yang ditekuk. Bibirnya mencebik dengan tatapan tak mengenakkan. Namun, Lyly juga tidak peduli. Dia hanya kasihan jika nanti Tera bangun seperti biasa—berangkat seperti biasa—pukul 7 kurang 5 menit—dan kemacetan ini membuat Tera ketinggalan bus lalu berakhir merengek padanya karena kehilangan kesempatan bertemu Aksa. "Emangnya semalem tidur jam berapa?"

    Gadis yang mengenakan hoodie merah marun itu melirik sinis Lyly. "Jam 1," ketusnya.

    "Tumben begadang, kenapa? Biasanya jam 10 udah tepar." Lyly memiringkan kepalanya. Menatap Tera heran dari kaca spion.

   Tera menguap. "Nyari temen buat partner dance."

Tin! Tin! Tin!

   Tea mendesis. Mobil di belakangnya sangat tidak sabaran. "Silakan duluan!" Tera mengalah, gadis itu meminggirkan sedikit motornya hingga mobil yang body-nya yahood dengan warna ngejreng dan mentereng itu berada di depannya.

   "Mamam tuh jalan! Udah tahu emang lagi macet, tantin-tantin nggak aturan," gerutunya.

   Lyly mencubit pinggang Tera sampai sahabatnya itu mengaduh. "Aw. Apaan, sih, Ly."

   "Nggak sopan," nasehatnya.

   Tera mendengus. "Kelepasan."

   Lyly memutar bola mata malas. Secepat kilat, dia mengingat pembicaraan keduanya tadi. Bersamaan dengan pertanyaan yang terlontar dari bibirnya, kemacetan mulai berangsur merenggang.

   "Kembali ke laptop. Lo sampai begadang gitu, emangnya deadline pendaftraan kapan?"

    Hening beberapa saat. Tera sedang merencanakan pembalasan. Gadis itu dengan gesit mengendarai Didit—menyalip mobil tadi.

   Lyly bisa melihat Tera menyunggingkan senyum penuh kemenangan sebelum menjawab pertanyaannya, "Nanti," secepat gerakannya tadi menyalip, wajah berseri Tera meredup, "semalem nggak ada yang berbaik hati nerima tawaran gue, bahkan termasuk Reno."

   "Dia nggak mau?"

   Tera berdecak. "Mana mau. Ambisinya jadi pemain sepak bola, buat dia yang naksir gue mendadak jual mahal."

   Lyly terheran-heran. "Emang ada hubungannya?"

   "Ya ada. Dia jadi malu kalau jejogetan. Katanya, bokong gue terlalu suci buat digoyang-goyang."

   Lyly tertawa.

   "Emang nggak waras tuh bocah. Untung dulu gue nggak mau nerima pernyataan cintanya."

   Lyly menepuk bahu Tera bangga. "Jangan mau."

   "Siapa juga yang mau. Ogah. Nggak level."

   "Iyalah, tahu. Level lo yang kayak Aksa, 'kan? Anak Olim jebolan SKS. Udah gitu berprestasi plus punya lesung pipi."

   Tera menepuk dadanya jumawa. "Woiya. Reno mah apa. Cuma setara 3 butir upil Aksa."

   Lyly terkekeh geli. "Terus, rencana lo apa? Nggak mungkin 'kan lo nyerah gitu aja nyari partner."

   Tera berpikir sejenak. "Sebenernya gue ada satu rencana cadangan."

   Lyly melongokkan kepalanya yang dilindungi helm tepat di atas bahu Tera. "Apa??" tanyanya penasaran.

   Tera tersenyum miring. Tawa sintingnya terdengar membuat Lyly menabok punggungnya keras.

   Tera mengaduh kesakitan. Gadis itu menjulurkan lidahnya, mengejek Lyly yang menatapnya ganas dari kaca spion. "Rahasia, wlek. Kepo lo, anakonda."

•••

    Beberapa bus diparkir di depan SMA Bakti. Di tiap bagian depannya—di pojok kanan kaca—tertempel kertas hvs yang bertuliskan nomor. Terlihat banyak yang sedang mengantre untuk masuk ke dalam sana. Pak Asan—guru olahraga—memberi instruksi agar Tera segera memarkirkan motornya dan absen di kelas.

    Tera memarkirkan motornya dengan elegan di samping sebuah motor skuter. Terburu-buru dia melepas helm yang pengaitnya sulit dilepas. Lyly yang peka membantu Tera melepaskannya. Kemudian, keduanya berjalan ke kelas untuk absen sebelum masuk ke dalam bus.

   "Bener 'kan kata gue. Untung tadi inisiatif ke rumah lo. Kalau enggak? Gue yakin lo masih ada di antara kemacetan yang padat merayap."

   Tera melirik Lyly sengit. "Iya, tapi tetep aja lo ganggu."

    "Dasar, nggak tahu terima kasih."

   Tea menghentikan langkahnya. Gadis itu berdiri tepat di depan Lyly membuat Lyly juga menghentikan langkahnya. Tera merentangkan tangannya. Dia tarik kedua sudut bibirnya untuk membuat sebuah senyuman lebar. "Makasih, Cintaaa."

    Lyly bergidik ngeri dan mendahului Tera masuk ke kelas mereka.

   Tera tertawa. Dia mengekor lalu berdiri di belakang Lyly yang sedang menandatangani buku absen. Wali kelas mereka—Bu Laras—memberi sebuah wejangan yang melekat erat di ingatannya. "Semua anak tidak diperbolehkan membawa kendaraan pribadi. Jadi, kalian berdua harus naik bus."

    Lyly menyingkir, Tera maju. Gadis yang mencepol rambutnya asal itu mengangguk. "Berarti nanti kita ke sekolahan lagi buat ambil kendaraan, Bu?"

   Bu Laras mengangguk. "Iya, kecuali kamu mau motor kamu nginep di sini," guraunya.

    Tera menggeleng cepat. Dia memasukkan bolpoin yang dia gunakan untuk tanda tangan ke dalam sakunya. "Jangan, Bu. Kasian nanti kalau ditemenin yang ghaib. Bisa-bisa betah di parkiran nggak mau diajak pulang."

   Bu Laras tertawa. "Oh, iya, Tera."

   "Kenapa, Bu?" Tera menatap Bu Laras setengah penasaran.

   "Kemarin, Ibu baru aja dapet info dari temen. Sayang banget pendaftarannya tinggal besok. Kamu udah tahu kalau Ibu masang brosur lomba couple dance di mading?"

   Tera terdiam. Lyly di sampingnya menilik wajah Tera. "Yang itu kali," bisiknya.

   Tera menggeleng. "Tera belum lihat, Bu."

   Bu Laras mengangguk kecil. Memainkan bolpoin di tangannya. "Coba kamu cek sekarang sebelum berangkat ke stadion atau nanti setelah selesai sopporter-an. Siapa tahu kamu tertarik," jelas Bu Laras sambil tersenyum kecil. Wali kelas yang juga mengampu sebagai pembina ekskul jurnalistik itu berharap Tera mengikuti lombanya. Dia pikir, dengan kepiawaian Tera dalam menari, gadis itu memiliki peluang besar untuk memenangkan perlombaannya nanti.

   Tera tersenyum. "Tera cek sekarang aja. Makasih banyak, ya, Bu."

   Bu Laras mengangguk. Tangannya terangkat menepuk pundak Tera. "Semoga kamu mau ikut. Sukses, ya."

   "Iya, Bu. Aamiin. Terima kasih banyak."

   Setelah itu Tera berpamitan. Dia berjalan bersisihan dengan Lyly ke luar sekolah untuk bergabung dengan teman-teman di bus. Tak lupa, saat melewati mading yang letaknya di dekat mini market sekolah, Tera menyempatkan diri menilik brosur yang Bu Laras tempel.

   Ternyata, brosur yang sama dengan brosur yang Aninda berikan padanya.

   Lyly menenggerkan tangan kanannya di bahu Tera. "Wah, Ra. Bahaya ini. Itu si curut pasti udah daftar."

    Tera menyipitkan matanya, menatap gamang brosur di depannya. Tangannya di lipat di depan dada dengan telapak kaki bagian depan yang mengetuk-ngetuk ujung paving.

   Baru saja memikirkan seseorang, seseorang itu muncul tiba-tiba seperti hantu.

Dia emang kayak hantu. Persis. Apalagi kelakuannya.

    "Gue denger semalem lo ngajak Abi buat jadi partner."

   Tera memutar tubuhnya 180 derajat. Otomatis, Lyly juga. Mata Tera menatap nyalang pada Naya yang sedang menatapnya rendah dan tersenyum miring. "Bener-bener nggak ada yang mau bantu, ya?" Naya tersenyum mengejek, "kasian. Miris gue dengernya dari Abi."

   Tera berjalan mendekati Naya. Badannya jauh lebih tinggi. Gadis itu menatap Naya tak gentar.

   Naya terkekeh sinis. "Mundur aja, deh, Ra. Percuma. Sekalipun lo ikut, lo nggak akan menang karena ada gue."

    Tera tertawa. Benar-benar tertawa sampai keluar air matanya. "Bah, PD banget. Lupa ya yang selama ini kalah battle siapa?" Tera menyunggingkan senyum remeh. "Nggak punya kaca? Padahal gue liat tiap detik, tiap menit, di saku lo ada kaca segede jidat lo yang nggak ada isinya."

   Naya mengepalkan tangannya erat di sisi tubuh. Tera bisa melihat wajah rivalnya itu yang merah padam. Dia bisa membayangkan ada tiga tanduk di kelapanya dan asap yang keluar dari hidung kurang refreshing milik Naya.

Mulai malu dia?

   Namun, Tera salah sangka. Naya memang tak punya malu. Tera yakin urat malu Naya telah putus saat Naya berkata, "Kita buktiin besok di dance floor."

   Sempat-sempatnya gadis yang lebih pendek 10 cm dari Tera itu menunjuk wajah Tera dengan jari telunjuk yang sering digunakan Naya untuk mengupil. Tera menepisnya.

   Naya terkekeh sinis. Jenis kekehan yang bisa membuat ikan sekarat langsung memberikan nyawanya secara ikhlas lahir batin pada malaikat Izrail karena takut mendengar suara itu. "Kita lihat, siapa yang bakal nangis-nangis minta maaf."

   Setelah mengatakannya, Naya melenggang pergi dengan pantat yang ingin sekali Tera tendang sampai sosok kurang otak itu nyungsep di antah-berantah. "Gue yakin itu elo!" Tera memanas-manasi. Walau dalam hati ikut memanas dan ketar-ketir.

Gimana kalau sampai besok nggak ada partner?

Gimana kalau nggak kedaftar?

Gimana kalau jadi nggak ikut lomba?

Gimana kalau Naya ngerasa menang dan makin semena-mena?

Tenang, Ra. Masih ada rencana cadangan.

   Tera mencoba tetap tenang. Dia melihat Naya mengacungkan jari tengah dari kejauhan.

    Tera tertawa. "Dasar bocah."

   Lyly yang sejak tadi menonton sambil menahan tangannya yang kebas ingin menabok bibir Naya, menarik Tera menuju bus yang sudah nyala mesinnya. Itu artinya, sebentar lagi mereka akan ke stadion.

    "Gemes banget gue sama anak satu itu."

   Tera mengerling pada Lyly. "Biarin aja. Dari dulu emang nggak punya malu."

   Lyly berdecak. "Kalau udah begini, dia udah nantangin lo dan waktu pendaftaran tinggal sejengkal, lo bisa apa? Belum ada partner, 'kan?"

   Tera menyeringai. Tangannya yang ditarik-tarik Lyly dia lepaskan begitu saja. Gadis itu berjalan mendahului Lyly setelah membisikkan sesuatu, "Gue kan ada rencana cadangan."

    Lyly mengernyit. Dia berlari mengejar Tera yang sudah masuk ke dalam bus dan meninggalkannya seorang diri.

   "Ra! Spoiler dikit elah! Gue penasaran!"

-TBC-








Ciah, nantang Tera si Naya. Berani-beraninya tuh anak.
Kira-kira gimana ya kelanjutannya?
Penasaran?
Tunggu aku update ~~~

Salam,
Calon istri yang baik hati.

   

   
 

 

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro