R o T || T e n
MAAF JIKA ADA TIPO
•
"Di mana pun lo berada. Gue akan selalu nemuin lo, Lentera."
-P-
•••
Dulu, Tera sudah mengenal cinta sejak duduk di bangku sekolah dasar. Cinta monyet lebih tepatnya. Waktu itu, pacar pertamanya bernama Randi. Dia adalah satu di antara banyaknya teman kelas Tera yang menyukainya dan berhasil mengambil hatinya hanya karena cokelat. Ya, cokelat. Makanan yang terbuat dari susu dicampur dengan kakao itu adalah hal yang bisa merobohkan tingginya kesombongan Tera yang digadang-gadang menjadi cekiber—cewek kita bersama, tetapi akhirnya lebih memilih Randi ketimbang mereka semua.
Namun, hubungan mereka harus kandas saat menjelang ujian sekolah karena Tera bosan dengan Randi. Yang masih dia sukai hanyalah cokelat batangan yang setiap hari Randi berikan padanya secara rutin. Randi yang lama-lama dompetnya dilanda kemarau akhirnya melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah. Tera terlalu banyak makan sampai seluruh uang tabungannya habis.
Tera tidak keberatan. Dia juga bisa membeli cokelatnya sendiri. Lagi pula, dia tidak pernah meminta Randi untuk terus memberinya cokelat. Pada akhirnya, mereka memilih jalan masing-masing.
Kisah cinta Tera tidak berhenti di sana. Seminggu setelah putus dari Randi, teman Tera—Bagas—Ketua Basket SMP Kencana, menyatakan perasaannya. Tera langsung menerimanya. Dia suka Bagas. Bagas anak yang humble dan tidak masalah dengan kebiasaan Tera mengonsumsi cokelat alias memorotinya sekaligus kebiasaannya minta diantar ke tempat pelatihan dance yang cukup jauh dari sekolahnya.
Nahasnya, Bagas harus mengikhlaskan Tera saat gadis berparas ayu itu sudah memasuki masa SMP. Tera yang tidak pernah melirik lelaki lain selain dirinya akhirnya tertarik dengan seorang lelaki berdarah Jawa-Bali. Lelaki yang berhasil membuat Tera merasa di awang-awang sebelum ditenggelamkan ke dalam parit yang terdalam.
Sejak itu, Tera bertambah lurus pendiriannya. Dia makin tidak peduli dengan lelaki lain, kecuali lelaki yang dia suka. Makin banyak yang menyukainya, makin besar rasa tidak pedulinya.
Tera tidak pernah sekalipun mengejar mereka. Mereka yang mengejar Tera. Sampai Tera bertemu Aksa. Lelaki itu berhasil menumbuhkan rasa yang pernah padam sejak setahun yang lalu. Tera kembali jatuh cinta.
Lelaki dengan lesung pipi dan tatapan seteduh genting saat hujan itu membuat Tera yang mager menjadi kelimpungan mencari akal. Tera yang biasanya tidak peduli menjadi penuh ambisi. Tera harus mendapatkan Aksa! Maka Tera harus berusaha.
"1 setengah cangkir tepung. 1 cangkir gula. 1 per 3 cangkir bubuk kakao. 1 per 2 garam sendok teh. 1 sendok teh soda kue. 1 cangkir air. Setengah cangkir minyak canola. 2 sendok makan cuka putih. 2 ekstrak vanili sendok teh," Tera mengabsen satu per satu bahan untuk membuat kue yang sempat Jani paparkan, "ada yang ketinggalan?"
Jani menggeleng. Wanita itu menunjuk kertas di genggaman Tera dengan jari telunjuk. "Lanjut kakaonya."
Tera mengangguk. Bersiap mencatat.
"3 cangkir gula bubuk."
"Okeyy."
"1 per 3 cangkir mentega."
"Hmmm."
"2 ekstrak vanili sendok teh."
"...."
"1 per 3 bubuk kakao sama 4 sendok makan susu."
Tera mendongak. Melipat tangan di atas meja. "Udah?"
"Udah."
"Makasih banyak, ya, Mbak Jan."
"Iya, nanti kalau ada kesulitan kamu tinggal ketuk pintu rumahku."
Setelah mendapat resep dan cara membuat kue dari Jani, Tera bergegas memboyong bahan-bahan yang Jani berikan secara gratis untuk dibuat di rumah. Karena Tera tidak mungkin membuat kue di sana sebab tokonya akan tutup. Jika Tera numpang di rumah Jani pun rasanya tidak etis. Jani pasti sudah kelelahan bekerja seharian. Jani dan Ardi juga butuh waktu istirahat dan quality time.
Maka, di sinilah Tera berada. Di dapurnya, lengkap dengan celemek dan seperangkat alat untuk membuat kue.
Tera pikir, orang di balik kembalinya tas beserta isinya tadi adalah Aksa. Ya, pasti Aksa. Memangnya siapa lagi? Hanya Aksa yang tahu tentang aksi jambret menjambret itu. Tera yakin sekali. Maka dari itu, untuk membalas kebaikannya, Tera akan memberi lelaki itu hadiah—kue buatannya.
Tera mulai melakukan semua yang diarahkan Jani tadi. Dari mencampur semua bahan hingga mengocok dan memanggangnya. Dia berharap, kue perdananya ini tidak mengecewakan.
"Hmmmm. Tante nyium bau enak dari dapur."
Tera tertawa melihat Tante Cahaya yang mengendus-endus udara. "Aku lagi buat kue."
Tante Cahaya menatap Tera tak percaya. "Kamu buat kue?"
Tera mencebik. Seberapa aneh jika dia membuat kue? Lagi pula, Tera juga bisa memasak walau tidak sejago Tante Cahaya dan selihai Lyly. "Seaneh apa sih, Tan?"
Tantenya itu tertawa. "Seaneh kucing punya belalai."
Tera menggembungkan pipi sebal.
"Tadi kata kamu tasnya udah balik?"
"Iya," Tera megangguk semangat, "nggak tahu juga kok tiba-tiba ada di depan toilet."
Tante Cahaya yang sedang mencicipi adonan kue mengernyit.
"Nggak enak, Tante?"
"Bukan-bukan, ini enak."
"Terus? Mukanya kok aneh gitu."
"Ya, iya. Heran aja. Tiba-tiba ada di depan toilet kata kamu?" tanya Tante Cahaya terheran-heran.
Tera mengangguk. Tangannya sibuk memindahkan kue diloyang ke sebuah piring saji. "Iya, di depan toilet. Tera aja heran, kok bisa gitu."
"Udah tanya Jani atau Ardi? Kira-kira siapa yang masuk toilet kecuali kamu." Tante Cahaya mendudukkan pantatnya di kursi bar.
"Mereka bilang ada 3 orang yang masuk ke toilet selain Tera. Satu di antaranya cowok."
Tante Cahaya yang mencium bau-bau sedap dari perkataan Tera barusan menyeringai. "Mikir kalau Aksa yang balikin, ya?" Dia mengerling jail.
Tera nyengir lebar. Tante Cahaya memang paling peka. Kecepatannya menganalisa ekspresi atau gelagat orang patut diacungi empat jempol—dua jempol tangan dan dua jempol kaki. "Ya siapa lagi coba kalau bukan Aksa? Cuma dia yang tahu Tera kejambretan."
Tante Cahaya mengelus dagunya, berpikir keras. "Udah tanya ciri-cirinya ke mereka?"
Tera mendesah. "Nah, itu, Tan. Mereka nggak ngeliatin banget. Jadi, ya mereka nggak tahu. Mereka cuma bilang kalau cowok itu tinggi, putih, badan tegap. Tera tanya rambutnya gimana, pipinya ada lesungnya enggak, mereka jawab nggak merhatiin."
Tante Cahaya tergelak. "Ya, iyalah. Masa setiap ada yang masuk ke toilet dipelototin."
Tera mendengus. Tantenya ini tidak bisa diajak serius.
"Canda, Sayang. Jangan baper dong."
Tera mendumal dalam hati. Dia mulai meratakan adonan kedua yang hendak dipanggang.
"Jadi ..., ini kuenya buat Aksa?"
Kegiatan Tera terhenti. Gadis itu melirik Tante Cahaya yang sedang menopang dagu sambil menaik-trunkan alisnya menggoda.
Sial. Pipi Tera bersemu.
Ya, ini buat Aksa!
Tera sudah sebucin itu.
•••
Kamar yang didomonasi warna merah itu berantakan—sepatu di tengah jalan, kaus kaki nyangkut di tempat sampah, tas di atas kasur dengan isi yang keluar semua, seragam berceceran di lantai. Ruangan Tujuh kali tujuh meter itu suasananya pecah. Lagu Shape Of You milik Ed Sheeran terus berputar berulang kali semenjak si pemilik kamar memasuki kamar mandi sambil berjingkrak-jingkrak. Tera sedang bahagia. Kuenya enak!
Gadis yang baru saja selesai mandi itu keluar dari dalam kamar mandi sambil berjoget ria. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri seiring tangannya yang mengeringkan rambut dengan sebuah handuk.
"Me and my friends at the table doing shots." Tera mengikuti alunan lagu. Tangannya asyik bergerilya di antara tumpukan baju. Pilihannya jatuh pada kaus merah bergambar beruang dan hot pants putih dengan resleting di pinggul.
"Drinking faster and then we talk slow."
Setelah memakai pakaiannya, gadis itu memutar tubuhnya seperti sedang berdansa sampai terduduk di kursi meja rias. Katakan saja Tera sudah gila karena tidak takut kakinya terantuk kursi.
"I'm in love with the shape of you. We push and pull like a magnet do."
Tera melilitkan handuk di rambutnya. Dia mematikan salon mini di bawah meja rias lalu mengeluarkan kaset dari dalam DVD. Setelah itu, dia mulai memoles wajahnya. Tera butuh konsentrasi untuk melukis alis.
Saat tangannya sibuk melukis alis, Tera mengingat sesuatu. Buru-buru, dia berlari ke dekat kasur untuk mengecek apakah ponselnya yang sempat dijambret sudah terisi penuh datanya atau belum.
Tera memekik kegirangan saat daya ponselnya sudah terisi penuh. Dengan semangat 45, gadis itu mencabut colokan charger dari ponselnya.
Tera yang masih melilitkan handuk di kepala dengan santai merebahkan tubuhnya di atas kasur—menjadikan tasnya bantal.
"Senengnyaaaaa. Akhirnya ponsel gue balik! Gila aja kalau nggak balik, foto-foto gue gimana anjir. Mana password Instagram lupa lagi."
Tera memencet tombol power. Matanya menatap ponsel di tangannya harap-harap cemas. Semoga ponselnya baik-baik saja.
Layar ponsel Tera berkedip. Gadis itu tersenyum senang setelah menggeser lockscreen bergambar dirinya. Ponselnya baik-baik saja!
Tera sangat bersyukur. Namun, dalam hitungan detik senyumnya menghilang. Kamar yang tadinya berhawa musim semi karena si pemiliknya sedang happy, mendadak terasa dingin dan creepy.
Jemari Tera tremor. Gadis itu menatap nanar satu per satu notifikasi yang mulai bermunculan di layar ponsel. Kebanyakan dari grup kelas dan pesan dari teman-temannya. Akan tetapi, ada lima pesan yang dari seseorang yang membuat Tera merasa takut dan ingin membuang ponselnya saja.
Tring!
Tirng!
Tring!
08×××××××××××
Ra, pesan gue kenapa nggak dibales?
Nggak kangen?
Lentera
Lo pindah, ya? Rumah lo kosong.
Share lock dong, Ra. Pengin main nih.
Dengan tangan yang masih tremor dan pelupuk mata yang basah, gadis itu mencari tulisan blokir lalu memencetnya tanpa berpikir ribuan kali.
Tera melempar ponselnya ke sembarang arah. Dia meringkuk ketakutan. Kedua tangannya menutup wajah hingga tak bisa melihat apa pun sebab matanya tertutup rapat. "Mama ...."
Isakannya terdengar.
"Tera takut ...."
-TBC-
Salam,
Angger yang manis semanis janji mantan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro