R o T || S i x
MAAF JIKA ADA TIPO
•
"Awal yang tragis dengan akhir yang manis."
-T-
•••
"Gue masih nggak kebayang sama ketololan lo waktu diem aja padahal ada bola yang siap ngeremukin muka ini." Lyly menunjuk wajah Tera dengan sumpit. Gadis itu heran, bisa-bisanya Tera diam saja saat ada sebuah bola sepak yang melayang ke arahnya.
Tera berdecak. "Gue tuh kaget, Ly. Ya wajar dong kalau jadi diem aja," bela Tera.
Lyly mengedikkan bahu. "Untung kata Reno ada cowok yang nolongin lo."
Tera terdiam. Dia tidak jadi melahap sushinya. "Gue belum cerita, ya, soal itu?"
"Soal itu apa?"
Tera merilekskan bahu. "Ya, itu."
Lyly mengernyitkan dahi tak suka. "Apa, sih, Ra?"
"Cowok ikal yang nolongin gue."
Lyly yang tadinya duduk di pinggir kasur, menengah. "Gimana, gimana?" tanyanya penasaran.
"Gue sebelumnya pernah ketemu sama dia di toko rotinya Mbak Jani."
Lyly mengernyit. "Pelanggan?" tebaknya.
Tera mengangguk. Gadis itu meneguk air mineralnya. "Lo inget nggak sama cowok yang waktu itu?"
"Yang mana?"
"Yang waktu kita ketemuan di toko rotinya Mbak Jani karena numpang wifi buat stalking-in Aksa. Waktu itu 'kan pas lo dateng gue habis nganter minuman. Nah, cowok itu tuh sama kayak yang nolongin gue."
Lyly berpikir keras. Dia mendesah kecewa. "Sayangnya gue lupa, Ra."
Tera berdecak. "Dia baik, sih ..., " Tera menimbang, "kayaknya."
"Nggak kenalan?"
"Boro-boro kenalan, pas mau ngucapin makasih aja dia udah ngibrit," Tera menggembungkan pipi sebal.
"Mungkin ada urusan penting. Eh, dia bukan anak SMA kita, ya?"
Tera menggeleng. "Bukan, makanya itu gue juga heran, bisa-bisanya dia nongol di sana."
"Bisa jadi dia alumni." Hanya itu kemungkinan besar yang Lyly pikirkan.
Tera tergelak. "Dia nggak setua itu, Ly. Gue liat-liat dia seumuran kita. Palingan lebih tua setahun dari gue. Dan lagi, dia nggak kayak orang buru-buru karena urusan penting. Dia kayak ...." Tera menelan ucapannya.
"Kayak apa?"
Tera menerawang. "Pertama kali liat gue, dia kaget.
"Gue inget-inget, gue nggak pernah tuh kenal sama dia atau ketemu di mana gitu. Waktu itu pertama kalinya gue liat dia, Ly," Tera menopang dagu, "kalau dia beneran kaget, kaget kenapa coba?"
"Mungkin karena muka lo serem." Lyly menahan tawa.
Tera mendelik. "Enak aja kalau ngomong! Yang ada karena gue cantik makanya doi syok berat!"
Lyly memutar bola mata malas. "Yain aja. Terus?"
"Terus, yang kedua, waktu dia nolongin gue. Dia tuh kayak orang ketakutan. Habis nolongin gue, dia langsung pergi gitu aja. Tapi anehnya, dia juga kelihatan salting, Ly."
Lyly menatap Tera tanpa berkedip. Tangan gadis itu terangkat, ditempelkan pada jidat untuk mengecek suhu tubuh Tera. "Nggak demam, tapi omongan lo ngelantur."
Tera menabok lengan Lyly. "Gue serius tahu!"
"Aw!" Lyly memekik kesakitan. Tera, kalau menabok itu kerasnya luar biasa. Lyly sering merasa menjadi korban KDRT. Dia meringis. "Sakit bego."
Tera mencibir, "Cemen."
Lyly meringis. "Gue kayaknya keluar deh, Ra," katanya ambigu.
"Ha? Apanya?" tanya Tera bingung.
"Darah kotor."
"Ya udah sana buruan ke kamar mandi, pake pembalutnya."
"Gue lagi nggak bawa," cicit Lyly.
"Wahh." Mendengar hal itu, Tera langsung lompat dari tempat tidur. Gadis itu buru-buru mencari pembalut di laci meja rias. Lyly di belakangnya mengekor sambil gigit bibir.
Tera menepuk jidat saat tidak menemukan satu pun roti bersayap itu. "Habis, Ly."
Lyly merengut. Demi apa habis?!
"Tante Cahaya lagi nemenin Mama. Gue nggak tahu dia kalau naruh benda sakral itu di mana. Gimana kalau gue beliin ke supermarket sebentar?" usul Tera.
Lyly mengangguk mantap. "Buruan, gih."
Tera menepuk bahu Lyly. "Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana." Tera mengambil kunci motor di atas nakas, tak lupa tas selempang berisi dompet dan karet kucirnya.
"Hati-hati, Ra! Pelan-pelan aja, nggak usah ngebut! Baca bismilllah!"
"Iya!!"
•••
Niatnya membelikan pembalut untuk Lyly, Tera malah melipir membeli martabak manis. Sambil menenteng keresek berisi pembalut dan kiranti, Tera menstandar motornya di pinggir jalan.
"Martabak manisnya 2, Mas."
"Siap, Mbak."
Tera mendaratkan pantatnya di kursi dekat gerobak. Matanya menatap sekitar. Menjelang magrib seperti ini, kawasan Jalan Gede biasanya sepi. Hanya ada beberapa pedagang dorongan seperti penjual martabak, bakso, dan sate di dekat supermarket. Oh, iya. Ada satu angkringan di samping supermarket. Di seberangnya, hanya ada perumahan yang berisi rumah elite nan megah yang dijaga banyak satpam. Sangat sepi. Biasanya, kawasan ini akan ramai di jam delapan ke atas. Suasana sepi seperti ini, enaknya untuk menyendiri sambil ngemil. Tera ingin sekali berlama-lama di sini untuk menyambangi tiap pedagang. Tapi sayangnya, dia masih ingat bahwa di rumahnya ada Lyly yang sedang berjuang di tengah keresahannya.
"Mbaknya sendirian aja?"
Tera menoleh. "Iyalah. Emangnya saya keliatan kayak cewek yang punya pacar?"
Si Mas martabak yang bernama Bobi itu tertawa. "Mbaknya cantik. Saya kira punya pacar."
Tera mencebik. "Saya emang cantik, Mas," Tera mengibas rambutnya, "tapi boro-boro punya pacar, gebetan aja deketinnya susah banget." Gadis itu memelas.
Mas Bobi tertawa. Emangnya apa yang lucu? Nasib Tera?
Ya jangan ditanya. Gue emang ngenes banget.
"Mbaknya kurang usaha kali."
"Masa, sih?"
"Biasanya gitu."
Tera merenung. Hmmm, sepertinya dia memang kurang usaha. Yang dia lakukan hanya menguntit Aksa, tanpa pernah benar-benar "mendekatinya".
"Malulah, Mas. Ya kali cewek maju duluan." Tera menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung.
"Malu bertanya, sesat di jalan. Malu deketin, ketikung orang."
Benar juga. Nanti kalau Sasya dapetin Aksa duluan gimana? Wah, nggak bisa dibiarin! Tera harus gerak cepat. Memangnya apalagi yang dia tunggu? Lyly, Aninda, dan Vebi juga sudah menyarankannya gesit mencuri start.
"Iya juga, ya, Mas. Okelah, nanti saya pikirin lagi sarannya."
"Padahal saya nggak ngasih saran."
Tera mencibir dalam hati. Terus apa? Petuah?
"Nih, Mbak."
Tera menerima dua boks martabak yang disodorkan Mas Bobi. "Berapa, Mas?"
"30 ribu."
Tera mengeluarkan dompetnya. Gadis itu membayar dengan uang pas.
"Makasih, ya, Mbak."
"Iya. Makasih juga, Mas."
"Lain kali kalau butuh temen curhat, ke sini aja, Mbak. Sekalian beli martabak," gurau Mas Bobi.
Tera tertawa. "Ya, ya, ya, boleh."
Dirasa tidak ada yang penting lagi, Tera menghampiri motornya. Dia memakai helm dan siap menyalakan mesin motor. Namun, saat hendak memutar kunci, matanya tak sengaja menangkap siluet seseorang yang akhir-akhir ini muncul dalam mimpinya, Aksa.
Tera bergegas turun dari Didit, motor metiknya. "Mas, nitip motor saya, ya."
Mas Bobi melongo melihat Tera yang terburu-buru melepas helmnya. "Eh, si Embak mau ke mana?"
"Ada urusan penting," Tera menepuk jok motornya, "nitip si Didit, ya."
"Eh, saya mau ke masjid-"
Tanpa menunggu jawaban Mas Bobi, Tera berlari menyeberang jalan dan mengikuti Aksa yang berjalan di trotoar. Lelaki itu tampak santai dengan kaus oblong dan celana selutut.
"Mbak!"
Tera menuli.
Mau ke mana ya kira-kira?
Gadis itu mengendap-ngendap seperti maling. Menjaga jarak. Jangan sampai dia tertangkap basah tengah menguntit Aksa. Malu.
Sesekali, Tera akan bersembunyi di balik tiang atau pepohonan. Sepertinya, Aksa sadar jika dibuntuti. Lelaki itu tampak awas sedari tadi.
Trap
Trap
Trap
Tera melotot, dia mempercepat jalannya saat Aksa melangkah lebar-lebar. Gadis itu terlalu fokus pada targetnya sampai melupakan sekitar. Saat dia lengah, sebuah tangan menarik kencang tas selempangnya.
"JAMBRETTTTT!" Tera meraih tasnya dengan cepat. Namun, si jambret yang membonceng kawannya dengan motor itu masih melaju. Alhasil, dia terseret beberapa meter dengan tangan yang memegangi tas dan dengkul yang mencium aspal.
"WOYYY!!"
Pegangannya terlepas. Tera menggigit bibir dalam. Terisak, gadis itu memilih tetap di tempatnya dan memeluk lutut yang berdarah. Dia menangis.
Ini adalah kejadian paling tak terduga yang pernah Tera alami. Sering kali dia kehilangan barang karena keteledorannya, tapi dijambret sampai kaki dan tangannya berdarah? Ck, Tera tak habis pikir dengan kesialannya akhir-akhir ini.
Gadis itu menunduk dalam. Awalnya luka-luka itu tidak terasa sama sekali. Namun, lama-lama nyut-nyutan dan perih melanda kaki dan tangannya. Tera meringis. Mengusap kasar air matanya. Mungkin ini karma karena Tera menguntit orang seenak udelnya. Atau, ini karma karena Tera melupakan Lyly hanya untuk membuntuti lelaki yang dia taksir, Aksa.
Hiks, ngenes banget.
Tangisnya makin menjadi.
"Maaf, ya. Copetnya nggak ketangkep."
Tera mematung. Gadis itu mendongak cepat. Matanya membulat. Di depannya, ada Aksa yang rukuk dengan napas terengah-engah. Jarak wajahnya dengan lelaki itu hanya dua jengkal saja.
Tera melupakan Aksa!
Lelaki berkaus hitam itu berdiri tegak. Dia tampak kelelahan karena berlari mengejar jambret. Matanya menatap lurus pada Tera, tatapannya mengunci membuat Tera lupa dengan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
Aksa berdeham, memutus kontak mata. "Rumah lo di mana? Biar gue anter pulang."
-TBC-
Salam manis dari aku,
Perempuanmu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro