Chapter 6
Ayem sori mai pren. Tampaknya aku lupa update ini 🙈
-
Jika ditanya perihal pekerjaan, Kim Jungkook akan bilang bahwa dia hanyalah seorang pemilik bar kecil yang kebetulan cukup ramai. Singkatnya, Jungkook seorang pengusaha bisnis.
Tentu saja itu jawaban yang benar, tapi tak dapat dijadikan kebenaran secara menyeluruh. Bagi pria itu, kejujuran punya tolak ukurnya masing-masing, dan kejujuran terbesar Jungkook hanyalah untuk dirinya sendiri.
Jam menunjukkan pukul 11 malam ketika Jungkook kembali ke apartemennya. Suasana kamarnya tak ubah dari biasanya; gelap, sunyi, hanya lampu ruang tengah berwarna kuning yang menjadi pencahayaan. Sembari menanggalkan kasut, Jungkook membuka jaket juga masker yang menutupi wajah, melemparnya asal ke meja sebelum merebahkan diri pada sofa di ruang tengah, menjadikan satu tangan sebagai penghalang cahaya masuk pada netranya.
Hari ini tak begitu berbeda dari biasanya. Jungkook menghabiskan hampir seharian penuh untuk menjalankan tugas, mulai dari meretas kamera pengaman dari rumah targetnya, bergantian dengan Jimin untuk mengawasi rumah besar itu dari jauh, sebelum akhirnya tepat jam 8 malam dia bisa menjalankan aksinya bersama dua rekannya dan mulai mengambil apa yang ada dalam agenda dan kembali pulang.
Semua terasa biasa saja. Secara garis besarnya, begitu. Tapi pertanyaan Jimin sebelum misi Jungkook selesai membuatnya berpikir.
"Kau sedikit lebih tenang sekarang. Apa ada sesuatu yang terjadi? Kepalamu baik-baik saja, kan?"
Pertanyaan Jimin yang membuat Jungkook agak menyadari keadaannya. Secara fisik, jelas dia tetaplah Kim Jungkook. Hanya suasana hatinya sedikit lebih baik. Jika ditinjau ulang, Jungkook memang tidak banyak bicara dalam tugas mereka kali ini. Jungkook hanya merasa semuanya akan baik-baik saja.
Apa mungkin karena dia bertemu dengan Emilia?
Agaknya Jungkook sadar bahwa memikirkan Emilia membuatnya tergelitik, namun bibirnya begitu saja mengulas senyum mengingat fakta kalau dia tahu di mana Emilia tinggal. Setelah berhari-hari sejak pertemuan terakhir mereka, bukan sekali atau dua kali Jungkook berpikir—bahkan sedikit berharap—untuk kembali bertemu dengan perempuan itu.
Tapi sekarang, dia tahu dia mana perempuan itu tinggal. Mungkin kapan-kapan Jungkook akan coba berkunjung.
"Mata biru." Jungkook bergumam selagi meluruskan punggung.
Ini aneh.
Mengingat sosok Emilia punya efek tersendiri bagi Jungkook. Perempuan itu meninggalkan kesan istimewa, sekalipun Jungkook tak tahu apa persisnya. Menurutnya perempuan itu menarik. Tak perlu berpikir dua kali untuk mengajak perempuan itu menjadi pendamping di arena balapan sekalipun mereka baru bertukar nama mungkin satu barang lima menit sebelum ajakan itu Jungkook layangkan.
Di tengah ruang tengah yang kosong, Jungkook tertawa, tak peduli sekalipun dia lebih mirip orang tak waras.
Beranjak dari sofa, Jungkook masuk ke dalam kamarnya, menyalakan lampu. Pandangannya langsung tertuju ke dinding bagian kanan, memandangi papan dart dengan aksen hijau dan merah yang mewarnai warna monokrom yang dominan.
Lebih dulu Jungkook menutup pintu kamar, mendekati meja di dekat dinding untuk mengambil satu dart dan kembali mundur tiga meter. Posisinya santai, tetapi pandangannya tetap tertuju pada satu titik.
Hari ini memang menyenangkan, tetapi satu gambar yang tertempel di papan dart itu sudah cukup membawa Jungkook kembali pada kenyataan, dengan cepat mengubah suasana hatinya.
Mengingat Emilia memang membuatnya bisa melupakan sosok pria kolot ini untuk sesaat. Tapi dendam tidak hanya akan hilang hanya karena sebuah ucapan manis dari pertemuannya dengan seorang perempuan.
Tangan Jungkook mengepal, menggenggam dart dengan kuat sebelum matanya memicing, dengan satu lemparan pasti melemparkannya pada papan hingga mengenai titik tengahnya yang tertutup satu kertas bergambar pria baya yang tengah melambaikan tangan—itu foto terbaru dari si pria baya, gambar yang Jungkook dapat dari koran harian pagi ini— memberikan lubang pertama di sana.
"Tunggu saja, Pak Tua. Waktumu untuk berurusan denganku akan tiba."
Dan siapa pun yang mendengar ucapan Jungkook itu pasti tahu, bahwa kalimat Jungkook lebih mirip sebuah ancaman ketimbang janji temu penuh rindu.
*
Karena tidak ada kelas hari ini, Emilia menyetujui permintaan Juyeon untuk bertemu dan menjelaskan lebih lanjut perihal keadaan ayahnya. Mungkin dia bisa bersikap tak acuh, tetapi sekretaris ayahnya itu mungkin butuh wadah untuk mencurahkan keluh kesahnya. Lagi pula, mereka sudah lama mengenal, jadi Emilia mengiyakan hal tersebut sambil mengingatkan diri bahwa dia datang bukan sebagai anak bos.
Dan, yah, harus Emilia akui dia agak penasaran akan tingkah apa lagi yang ayahnya lakukan.
Sesuai janji, Emilia datang ke salah satu panti yang ada di Gangnam tepat jam 1 siang. Dia pernah dengar bahwa Juyeon sering mengunjungi panti bahkan menyisihkan sebagain gajinya untuk itu, tapi dia baru tahu kalau panti itu dipegang Juyeon sekarang. Katanya dia meneruskan yayasan neneknya.
Diam-diam Emilia berharap Ayah menaikkan gajinya, karena selain Juyeon layak untuk itu, ayahnya harusnya sadar bahwa sekretarisnya sudah tutup mulut untuk waktu lama, dan itu layak mendapat bayaran.
Ketika sampai, anak-anak di sana baru saja selesai makan siang, jadi Emilia ikut membantu. Tak butuh waktu lama baginya untuk akrab dengan mereka. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol dan mendengarkan cerita mereka, hingga 2 jam berlalu, Emilia baru bisa menempati ruang tengah dengan Juyeon sementara anak-anak lain sudah kembali ke kamar masing-masing untuk tidur siang.
"Jadi Ayah masih sehat?" Emilia membuka percakapan sementara Juyeon mengisi gelas minum mereka dengan sirup jeruk.
"Seperti biasanya," jawab Juyeon kemudian duduk di samping Emilia.
Tentu saja. Pertanyaan Emilia tadi hanya basa-basi semata. Kalau ayahnya sakit atau berada dalam bahaya, dia pasti sudah tahu lebih dulu dari beberapa siaran televisi. Tak sulit untuk tahu keadaan seorang politisi, apalagi yang tengah naik daun seperti ayahnya.
"Dia bertanya tentang kabarmu."
"Oh, ya?" Emilia tak menduga itu, tapi dia juga tak punya ekspektasi khusus. Suaranya pun terdengar datar meski jelas-jelas responsnya tadi adalah pertanyaan.
Juyeon mengangguk, ada senyum canggung tergambar di wajahnya—semacam penyesalan juga tak enak hati. "Dia bertanya kau sudah tamat kuliah atau belum."
"Dia pasti tak tahu usiaku berapa sekarang." Emilia berdecih kecil sebelum bersandar pada punggung sofa, menghela napas. "Mungkin kalau aku sudah lulus, dia mau menagih uang yang dia gunakan untuk membayar kuliahku."
Mungkin ini yang membuat Juyeon menyesal sudah mengatakan hal itu pada Emilia. Wanita itu pasti sudah tahu reaksi Emilia. Tapi tak apa, dia cukup pintar untuk tidak menaruh ekspektasi apa pun pada sang ayah.
"Lalu, yang waktu itu bagaimana?" tanya Emilia, kali ini memutar topik. Tanpa perlu menyebut secara spesifik, dia yakin Juyeon mengerti apa maksudnya. Belum ada kabar di televisi, yang berarti ayahnya masih aman, atau mungkin dia sudah melakukan sesuatu. Itulah yang ingin Emilia ketahui.
"Dia menolak untuk diperiksa." Juyeon menghela napas, tangannya bergerak mengusap wajah. "Kemarin lusa dia menelepon lagi, tapi Tuan Jung tidak merespons."
"Wanita itu minta Ayah bertanggung jawab?"
"Itu hal terakhir yang dia minta."
Emilia mengerjap heran. "Maksudnya?"
Lebih dulu Juyeon menyeruput sirupnya, terpejam selama beberapa saat. Melihat reaksinya saja membuat Emilia makin bertanya-tanya. "Dia sama sekali tidak menuntut ayahmu, tapi dia minta uang tebusan. Katanya jika dipenuhi, dia akan menggugurkan kandungannya."
Matanya membulat, sama sekali tak percaya dengan penjelasan yang baru saja dia dengar. "Dia mengorbankan anaknya untuk... uang?"
"Sulit dipercaya, aku tahu," timpal Juyeon. "Tapi dia masih mudah, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darimu. Kurasa itu juga yang membuatnya berpikir begitu."
Entah siapa yang lebih gila di sini, ayahnya atau wanita yang entah siapa itu. Hamil, menggugurkan, uang tebusan. Semua itu berputar dalam kepala Emilia, menghantamnya telak.
Ayahnya memang brengsek, tapi dia cukup tahu pria paruh baya itu tipikal yang hati-hati dengan resiko. Tapi bukannya hal seperti itu tak akan terjadi. Beberapa kali Emilia berpikir kemungkinan ini, tapi tetap saja mendengarnya menjadi kenyataan tetap mengejutkan. Mungkin saat itu ayah sedang sial, atau selangkangan lebih mendominasi ketimbang perilaku awasnya.
Dia tak tahu apa yang harus diharapkan sekarang, tapi sesuatu terasa ganjal.
"Jadi Ayah membayarnya?" tanya Emilia.
"Tuan Jung sama sekali tidak menanggapi." Juyeon membalas sambil menggeleng. "Mungkin dia sudah merencanakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa-apa. Bisa jadi mereka bertemu hari ini, sampai aku disuruh libur tiba-tiba."
"Ayah benar-benar gila."
Emilia sudah tahu itu sejak lama, tapi sekarang... semuanya seperti berlipat ganda. Memang bukan hal baru, tetapi fakta bahwa pria itu adalah ayahnya, suami ibunya, orang yang seharusnya dia percaya dan andalkan, mengantarkan rasa kecewa yang besar. Dan jika ayahnya berniat membayar untuk mengenyahkan nyawa yang tidak berdosa, Emilia benar-benar tak tahu harus bagaimana menyikapinya.
Tak peduli sekeras apa pun Emilia mengingatkan diri bahwa dirinya tak peduli, dia tetap tak bisa mengenyahkan hal itu dari kepalanya.
Mungkin lebih baik dunia tahu semua tentang Ayah.
Emilia meluruskan punggung, menyerongkan tubuh menghadap Juyeon. Sesuatu terlintas dalam pikirannya. Tapi, belum juga mulutnya terbuka, bel pintu terdengar. Juyeon langsung beranjak ke arah pintu, membukanya. Dari tempatnya berdiri, bisa Emilia dengar suara wanita itu terdengar senang. "Kau jadi datang?"
"Aku bawa persediaan makanan dan pakaian untuk anak-anak."
Suara balasan tersebut kedengaran tak asing. Lantas Emilia berdiri, berbalik ke arah pintu. Dan ketika dia menoleh, sosok berjaket hitam langsung ditangkap matanya, memeluk Juyeon. Pandangan mereka bersirobok, dan sebelum Emilia sempat mengalihkan perhatian, pria di sana langsung menyebut namanya.
"Lho, Emilia?"
Itu Jungkook. []
Waktunya berhehe ria~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro