Chapter 13
Selamat malam gaes.
Aku lagi masa masa inactive di wetpet, jadi hampura yaks. Ini abang pecelnya aku balikin nih~ 🤣
Enjoy bray
-
Bukan begini seharusnya.
Itu hal termudah yang bisa Jungkook pahami saat ini. Rencananya tidak mencantumkan keterlibatan Emilia. Membiarkan perempuan itu mencuri dengar, mencekiknya, pun mengantarnya kembali ke rumah, semua itu salah. Namun, itulah persisnya yang Jungkook lakukan. Bahkan, dirinya sudah ada di apartemen Emilia saat ini, menempati salah satu sofa, memapah sang puan dan menyandarkannya di sofa.
"Mau kopi?" tanya Emilia. "Atau mungkin sesuatu yang lain? Cola, perhaps?"
"Memangnya kau bisa ambil?" Jungkook balik bertanya.
"Kau bisa ambil dan buat sendiri di dapur kalau mau." Emilia terkekeh, meski sebetulnya itu bukan hal tepat untuk dilakukan saat ini.
Jungkook menggeleng sembari beranjak dari sofa. "Kurasa lebih baik kau minum obat. Harus kuambil di mana?"
"Dapur." Emilia menunjuk ruangan di kanan. "Lemari obat ada di dekat kulkas."
Tanpa menunggu, Jungkook langsung bergerak, mengambil beberapa merk obat yang cukup familier dan diyakini sebagai obat pereda nyeri dan sakit kepala, plester kompres, lantas kembali dengan semua itu dan satu gelas air minum hangat.
"Aku bisa sendiri kok," tolak Emilia begitu Jungkook duduk di sampingnya. Meski begitu dia sama sekali tak melepaskan gelas, setia membantu Emilia menenggak obat. "Mau kuambilkan selimut?"
"Kau datang bukan untuk babysitting kan, Kim Jungkook?"
Jungkook mengerjap. Dia memang datang bukan untuk itu. Namun melihat perempuan itu dengan kondisinya yang begini, semua tindakannya ini dia ambil begitu saja. Dia sama sekali bukan orang baik yang mau membantu orang lain sukarela. Harusnya tidak begini.
Aneh. Hanya itu yang bisa kata paling dekat dengan dirinya saat ini. Dan sebenarnya itu pun tidak memberi penjelasan apa pun.
Berusaha bersikap seperti biasa, diaturnya posisi duduk kembali tegak. "Baiklah kalau begitu. Bisa kau cerita sekarang?" tanyanya. "Soal Jung Kwanhyung dan seberapa jauh kau mendengar percakapan kami."
Membicarakan hal itu dengan orang lain terasa aneh. Bertahun-tahun nama itu hanya dia sebut dalam mimpi, penuh kebencian, dan sebisa mungkin dia simpan rapat-rapat kecuali sedang bersama orang kepercayaannya—dan gelar itu hanya tersemat pada Kwon Jimin. Dia bahkan butuh 2 tahun hingga benar-benar yakin Jimin layak diajak bekerjasama. Berbeda sekali dengan Emilia. Mereka bahkan baru bertemu beberapa pekan lalu, dan mengajaknya ke atas ranjang sama sekali berbeda dengan melibatkannya dalam hal ini.
Tapi Emilia yang mengajukan ini lebih dulu, kan? Jungkook memastikan dalam hati, mencoba mengingat-ingat. Dan itu persisnya yang membuatnya penasaran.
"Kalian merencanakan sesuatu pada pria itu." Suara Emilia terdengar lebih hidup ketimbang penampilannya sekarang. "Yang aku tangkap, ada dokumen yang kalian cari, tapi lokasinya entah di mana. Bukan begitu?"
Jungkook mengangguk, sayangnya semakin benar penjelasan Emilia, opsi tindakan yang harus dia ambil semakin berkurang.
Singkirkan. Singkirkan saja. Satu sisi dirinya mendesak. Tidak mungkin rencana bertahun-tahun harus gagal hanya karena presensi seorang perempuan yang sialnya dia sukai—bukan dalam artian romantis, tentu saja—seksi. Dalam keadaan begini saja, harus Jungkook akui masih ada hal yang memancing gairahnya.
Tentu saja, dia cukup waras untuk mengontrol otak dan selangkangan. Dan melakukan hal lain pada Emilia memerlukan pertimbangan serius. Mana mungkin dia mengajak seseorang untuk memuaskannya sementara ada kemungkinan orang yang sama bisa membuat rencana bahkan hidupnya hancur karena satu rahasia.
"Boleh aku tanya sesuatu lebih dulu, Kook?" Jungkook mengangguk, dan Emilia langsung meneruskan, "Apa kau tidak menyukai Jung Kwanhyung?"
"Dia tidak sebersih yang kaulihat di layar kaca, asal tahu saja."
Bahkan, pria tua itu tak pernah terlihat bersih di matanya. Semakin mencari tahu, dia dibawa ke pintu-pintu dosa lainnya, membuatnya bertanya-tanya bagaimana bisa keparat semacam itu begitu disukai masyarakat bahkan sampai berani maju sebagai calon pemimpin daerah. Memimpin selangkangan sendiri saja tidak bisa.
Jika Emilia perlu penjelasan, Jungkook tak akan sungkan berbagi dan membuat matanya terbuka. Namun dia tampaknya tak perlu repot, karena jawaban Emilia justru, "Aku tahu itu."
Ketidakpercayaan membuatnya tertegun sejenak, memandangi perempuan itu, memastikan barangkali telinganya yang salah dengar.
Menjadi pemilik bar memberi keuntungan lain bagi Jungkook, mendengar obrolan tanpa perlu menguping atau bertanya. Begitu banyak buah bibir tersebar tiap malam, dan topik mengenai pemilihan gubernur 4 bulan lagi merupakan satu dari sekian topik hangat. Data prediksi di berbagai media diperkuat dengan anggapan berbagai pengunjung yang tampaknya siap memberikan suara bagi Jung Kwanhyung, pria yang dikenal memperjuangkan revisi undang-undang perundungan dan dikenal sebagai aktivis sosial bagi para kaum kurang mampu.
Terdengar seperti pilihan bagus di tengah tikus-tikus korporat.
Sayangnya, kebaikan Jung Kwanhyung terlalu manis untuk jadi kenyataan. Apel dalam keranjang buah busuk tak butuh waktu lama untuk ikut busuk juga. Atau, entahlah. Jungkook sendiri tidak yakin jika sejak awal pria itu merupakan orang baik-baik. Tidak dengan kesialan yang menimpanya selama ini.
"Kau tidak menyukai Jung Kwanhyung juga?" tanya Jungkook balik. "Kau tahu apa saja yang dia lakukan?"
"Aku dengar beberapa gosip."
"Dan kau percaya pada gosip-gosip itu?"
"Some gossip comes for the truth." Emilia mengulas senyum, meski sesaat, gerakan bibirnya begitu kontras dibandingkan sorot matanya. "Aku yakin dia bukan orang baik-baik. Kak Juyeon bilang ada gadis yang hamil karena pria itu."
Seketika Jungkook mengernyit. Kabar itu mengejutkan, tapi mengherankan dia justru tahu hal seperti ini dari Emilia. "Untuk apa Juyeon cerita padamu?"
Anehnya, Emilia kelihatan kaget. "Aku ...."
"Kau apa, Em?"
"Aku dekat dengan Kak Juyeon," kata Emilia.
"Aku lebih dekat dengannya," hardik Jungkook cepat. Meminta rahasia pada Juyeon sudah dia coba, tapi tak berhasil.
"Saudara."
"Saudara?" desak Jungkook gemas. "Saudara apanya?"
"Aku dan Jung Kwanhyung punya hubungan darah." Suara Emilia bukan hanya pelan, tapi bergetar, seakan-akan tengah ragu memberikan jawaban. "Beberapa kali Kak Juyeon cerita karena aku tanya."
Alis Jungkook yang menekuk langsung tertarik ke atas bersamaan dengan matanya yang membola. Dia sempat mencurigai beberapa hal sebelumnya, apalagi perempuan itu mengaku tahu denah rumah Kwanhyung. Namun untuk jawaban satu ini benar-benar di luar dugaannya.
"Pria tua itu saudaramu, begitu?" tanya Jungkook memastikan, dan Emilia mengangguk.
"Saudara."
"Memangnya siapa dia? Pamanmu?" Meski tak langsung menjawab, Emilia sekali lagi menaik-turunkan kepalanya.
Hal itu menjelaskan sekaligus memberi tanda tanya baru. Tentu saja hal itu membuatnya semakin berpikir hati-hati. Saudara. Baginya darah sama seperti pisau bermata dua; semuanya bergantung pada sisi mana yang ingin dia pakai.
"Kau tahu tujuanku dan Jimin bukan sesuatu yang baik, bukan?" tanyanya lagi. "Kau bisa saja subyektif, dan sekarang kau hanya mau berpura-pura—"
"Dia brengsek, Kook. Aku sudah tahu itu lebih dulu dari siapa pun."
Sekali lagi Jungkook kembali dikejutkan. Namun di saat yang sama, ada sorot keseriusan dia dapati pada perempuan itu tatkala tatapan mereka bersirobok. Oh, bukan. Amarah. Itulah sorot yang sering Jungkook dapati tiap dia mematut diri dan memikirkan nama Jung Kwanhyung.
Apa mungkin Emilia juga ....
"Dan aku ingin tahu kejahatan Jung Kwanhyung lebih dalam lagi," tukas Emilia lagi, membuyarkan lamunan Jungkook. Pria itu diam, memilih untuk tetap mendengarkan. "Kalian cari dokumen bukti, kan? Aku akan membantu sebisaku. Aku pernah ke sana beberapa kali."
Jungkook kemudian mendekat, tangannya meraih sejumput rambut Emilia dan menyelitkannya ke belakang kuping, menyadari suhu tubuh perempuan di hadapannya ini masih cukup panas. "Tidak ada tombol redo untuk keputusanmu, Emilia Jung."
"Aku tahu." Meski pelan, jawaban itu terdengar tulus—sesuatu yang ganjil di tengah keadaan mereka saat ini.
Sesaat keduanya sama-sama diam. Emilia meringis kecil sementara tangannya bergerak memijat dahi, dan Jungkook masih sibuk dengan isi kepalanya sendiri, matanya tertuju pada Emilia. Jika dia tidak tengah berhalusinasi—dan dia cukup yakin tidak tengah berada dalam pengaruh alkohol dan semacamnya—bisa jadi Emilia serius.
Pada dasarnya, amarah dan dendam bisa merusak segalanya, termasuk persaudaraan.
"Aku tidak pintar dalam banyak hal. Tapi denahnya bisa membantumu, kan?" timpal Emilia lagi, membuat Jungkook sadar.
Benar juga. Yang dia butuhkan hanyalah denah. Hanya sebuah informasi. Hanya sejauh itu dia perlu melibat orang lain.
"Sejujurnya aku masih heran kenapa kau bisa menerima semuanya semudah ini." Satu sudut bibir Jungkook meninggi bersamaan dengan alisnya. "Aku jadi penasaran. Kau tidak terkejut memangnya?"
Emilia justru balik bertanya. "Terkejut karena apa?"
"Aku orang jahat." Dan kau bisa melaporkanku, Nona Jung. Seharusnya itu yang kau lakukan.
"Entahlah." Emilia mengedikkan bahu sekilas. "But this kind of things suits you."
"Cocok jadi kriminal, maksudmu?" balas Jungkook, tak tahan untuk mengulas senyum. Begitu saja, keseriusan percakapan sebelumnya luruh. Padahal pembicaraan mereka bukan sebuah candaan.
"Pakaianmu hitam semua. Kau pemilik bar, suka balapan liar. Dan misimu terdengar seperti Robinhood modern."
Dia tak akan menyangkal cara Emilia menilai dirinya, tetapi melihat perempuan itu balik tersenyum, Jungkook jadi merasa sedikit lebih baik. Dan, hei, disebut Robinhood modern? Terdengar keren. "Kau juga akan jadi kriminal kalau kita ketahuan, Em."
"Kalau begitu jangan sampai ketahuan—uhuk!" Emilia mengulas senyum tapi tak lama terbatuk, membuat Jungkook spontan memberikan air minum lagi.
"Sebelum bergabung, aku lebih suka jika keadaanmu membaik dulu."
Berisiko sekaligus berpeluang. Begitulah kehadiran Emilia dalam rencananya. Sisanya hanya tinggal keputusan dan caranya menggunakan tawaran yang perempuan itu berikan.
Sekarang, satu anggota baru bertambah. Dan dengan begini, pembalasan dendamnya semakin dekat. Penantian 15 tahunnya akan terbayar.
Sebentar lagi, Bu. Gumamnya dalam hati. Sebentar lagi akan kuselesaikan. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro