Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12

Selamat malam pipel. Nungguin? 🌚

-

Sebenarnya kepala Emilia berdenyut hebat, tubuhnya goyah dan berteriak untuk tetap berbaring di kasur saja. Namun begitu matanya terbuka, kesadaran memaksa dia untuk bangkit dan pulang.

Dia tahu sejak awal memang seharusnya tidak berada di sini.

Dengan tenaga seadanya, Emilia berusaha bangun, sebisa mungkin mengesampingkan sakit kepala yang membuat kepalanya seperti dihantam kuat-kuat, membereskan selimut dan mengambil tas yang tergeletak di dekat meja. Kelihatannya Jungkook dan Jimin mengambil barangnya juga dari loker penitipan perpustakaan. Entah bagaimana caranya, tapi tindakan itu cukup membantu. Pekerjaannya berkurang.

Usai mencangklongkan tas, Emilia keluar dari kamar dengan bantuan dinding sebagai sandaran. Dalam kepala dia mencoba mengingat apa saja obat yang tersedia di apartemennya. Karena jarang sakit, dia tidak begitu memikirkan ketersediaan obat.

Yah, setidaknya sekarang dia tahu tubuhnya masih sama seperti manusia pada umumnya.

Seraya berjalan keluar dari kamar, diedarkannya pandangan ke sekitar, mencari pemilik apartemen untuk pamit. Dia sudah merepotkan, paling tidak dia bisa membalas dengan sedikit terima kasih dan pamit. Semakin banyak langkah yang diambil, samar-samar terdengar suara berat yang berbeda sibuk bercakap-cakap. Butuh beberapa saat sampai dia sadar salah satunya suara Jungkook. Kemungkinan satunya lagi Jimin.

Emilia ingin langsung pamit, hanya saja, percakapan itu tampak begitu intens, membuatnya berdiri. Semula dia tidak begitu mengerti apa saja yang dibicarakan dua pria itu di sana, tapi satu nama memantik kesadaran sekaligus kepekaannya.

Jung Kwanhyung.

Nama itu familier, dan pastinya bukan hanya satu orang yang memiliknya. Seumur hidupnya Emilia hanya mengenal satu orang dengan nama begitu.

Mungkin karena pengaruh denyutan kepala yang tak berkurang atau sebatas spontanitas saja, tapi tanpa berpikir lebih lanjut, Emilia mendapati diri sudah mengambil langkah, memunculkan diri di ruang tengah dengan satu tangan masih memegang dinding, dan mulutnya sudah menyuarakan isi kepalanya begitu saja.

"Yang kau maksud Jung Kwanhyung itu... calon gubernur sekarang, kan?"

Dua pria di sofa langsung menatapnya, dan dalam sekejap membuatnya sadar itu bukan sesuatu yang seharusnya dia tanyakan. Ah, tidak. Malah dia tidak seharusnya muncul dan mendengarkan semuanya.

Jungkook lebih dulu berdiri, kelihatan terkejut dan geram. "Kenapa kau ke sini, Em—"

Kalimatnya terpotong—atau mungkin Emilia yang tidak mendengarnya sampai habis, karena tubuhnya kembali lemas, membuatnya sedikit terperosok. Jungkook langsung berlari, langsung membantu perempuan itu berdiri dan memapah dan membawanya ke sofa paling panjang di ruang tengah dan menyuruhnya berbaring, menanggalkan tas yang sebelumnya Emilia bawa.

"Kau mirip zombie, Emilia," komentar Jimin. Anehnya raut wajah pria itu sarat kecemasan meski kalimatnya terdengar seperti candaan. "Kenapa tidak tidur di kamar saja?"

"Aku mau pulang."

"Aku ragu kau bisa melakukan itu sekarang." Jimin menggeleng sambil menghela napas panjang. Tatapannya tertuju pada Jungkook. "Jadi aku harus keluar sekarang?"

"Ya." Jungkook mengangguk, dan sekilas Emilia bisa melihat rahangnya mengeras, sementara Jimin terlihat semakin khawatir.

Tanpa diduga pria itu balik melirik ke Emilia, tersenyum kecil sebelum beranjak pergi setelah berkata, "Aku tahu kau orang bijak, Kim Jungkook."

Firasat Emilia mendadak tidak enak. Matanya masih tertuju pada punggung Jimin yang menjauh hingga menghilang, terdengar bunyi pintu yang terbuka kemudian tertutup lagi, tapi tak lama tubuhnya tersentak begitu sofa menandak dan Jungkook sudah berada di atasnya.

Bahaya.

Hanya itu satu kata yang terlintas dalam kepalanya. Dia ingin menendang, berteriak, menggeliat dan merangkak pergi. Namun satu-satunya hal yang dia lakukan justru diam sementara tangan Jungkook melingkar di lehernya.

Tu-tunggu! Ini kenapa—

"Kalau memang yang kami bicarakan calon gubernur itu, apa yang akan kau lakukan?" Suara pria itu menusuk, seakan di tiap silabelnya menekankan ancaman.

Emilia mengerjap panik, napasnya sesak. Dia sama sekali tidak dicekik, tapi dia juga tak bodoh untuk menyadari situasi. Jungkook bisa melakukan itu kapan saja.

Di tengah keheningan mencekam, sang puan memaksa kepalanya bekerja cepat, berusaha menggali ingatan yang sebelumnya dia abaikan karena siksaan saraf-saraf di sekujur tubuhnya.

Sekretaris. Bobol rumah. Bos utama. Jung Kwanhyung yang brengsek. Jaksa. Keamanan. Tak sulit untuk merakit semua kata itu ke dalam sebuah asumsi. Sialnya, Emilia tak menyukai buah pikirnya itu.

Apa sebenarnya yang Jungkook rencanakan?

Dikumpulkannya keberanian untuk balik menatap Jungkook, berusaha mencari jawaban juga jalan keluar. Sesaat, dia merasa sosok Kim Jungkook yang dia kenal di bar beberapa pekan lalu menghilang. Pria ini juga bukan seperti si pengemudi liar yang bahagia dalam permainan mengancam nyawa.

Di depannya saat ini justru mata kelam penuh kebencian, tegas dan garang, bukan siap mempertaruhkan nyawa, melainkan merenggut paksa.

"Apa yang ingin kaulakukan pada Jung Kwanhyung?" tanya Emilia.

"Dan apa yang akan kaulakukan setelah tahu?"

Sudah pasti bukan sesuatu yang baik. Emilia mencoba menerka. Membobol rumah dan jaksa. Kedengarannya seperti sesuatu berbau politik. Tapi rasanya Jungkook tidak berniat bersaing atau semacamnya.

"Kau dan Jimin bicara soal keamanan rumahnya, kan?" Emilia kembali bertanya. "Aku tahu denah dan keamanannya."

Jungkook mengernyit, beberapa saat ekspresinya melembut—bukan berarti Emilia aman. "Apa maksudmu?"

"Barangkali kalian butuh bantuan."

Sebenarnya bukan itu yang ingin Emilia katakan. Kepalanya terlalu berantakan, terlalu sulit untuk mengambil keputusan dan memilah-milah apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Dan kalau mau jujur, rasa penasarannya tersentil karena nama sang ayah disebut-sebut.

Ada juga yang membenci Ayah. Pemikiran itu membuatnya tergelak dalam hati. Kesannya kurang ajar, tapi Emilia lebih dari tahu hal itu tidak mengejutkan karena anaknya sendiri saja membenci pria itu.

Meski ucapan Emilia sebelumnya terlalu tiba-tiba dan patut dipertanyakan, ide spontan itu tampaknya membuat Jungkook berpikir. Pria itu menjauhkan tangan dari leher Emilia, lantas menyingkir dari sofa, menyugar rambut sebelum berkata, "Apa yang kau inginkan?"

"Penjelasan." Jawaban itu datang lebih cepat dibanding yang dia duga. "Dan... aku juga mau pulang."

Jungkook menatapnya sejenak seakan tengah menimang-nimang. Perlahan kemarahan mengancam yang terpancar mereda, membuat pria itu terlihat lebih 'aman' untuk diajak bicara.

"Kalau begitu biar kuantar," celetuk Jungkook.

Belum sempat berkomentar, pria itu sudah beranjak pergi, kemudian kembali dengan jaket jins sudah melekat di kulit dan mantel di tangannya, lantas kembali mendekat dan menyelimuti Emilia dengan itu.

"Aku harap kau tak menolak, Em," kata Jungkook lagi, kali ini berlutut dan membungkuk hingga wajah keduanya nyaris sejajar. "Bukan hanya kau yang butuh penjelasan, bukan?"

Emilia menelan ludah, mau tak mau mengangguk, membiarkan pria itu meluruskan punggung, menyodorkan tangan.

"Maaf atas kekasaranku tadi."

Suara itu terdengar manis, dan Emilia menerima uluran tangan itu. Namun di saat yang sama, dia tahu hal itu mungkin terulang.

Sekarang dia harus benar-benar berpikir 'penjelasan' seperti apa yang harus dia katakan sebelum Jungkook benar-benar membuatnya tak bernyawa.

Dan sebenarnya, Emilia cukup penasaran. Seperti apa orang-orang yang ingin menjatuhkan Jung Kwanhyung? Karena sejujurnya, dia pernah berada di posisi serupa.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro