Bab I
"Rey ... Qilla."
Panggilan tersebut membuat Rey dan Qilla yang saat itu tengah duduk berdampingan di sebuah sofa mendengkus kesal. Kesal karena waktu santai mereka kembali berkurang karena bunda. Meski begitu Qilla tetap bangkit berdiri, tanpa Rey ikuti.
"Ayo!" kata Qilla garang. Matanya melotot.
"Males." Rey berkata santai. Lalu mengangkat sebelah kakinya ke atas sembari memfokuskan pandangan pada tv tak jauh di depannya.
"Gue bilangin Bunda lo, ya."
Rey berdecak sebelum ikut beranjak. Membuat Qilla tersenyum puas karena berhasil membuat Rey nurut.
"Gitu doang kena lo. Haha."
Rey memberhentikan langkahnya. Lalu mencekal tangan Qilla hingga membuat cewek itu ikut berhenti melangkah. "Maksud lo?"
"Enggak jadi."
"Kasih tahu nggak!"
"Kalian tuh ya. Bisa enggak sehari aja enggak berantem? Dari tadi Bunda panggil enggak nyahut-nyahut." Bunda panti tiba-tiba datang, melerai perdebatan mereka.
"Maaf Bunda," ucap mereka serempak.
"Sudah-sudah. Kalian bantuin ibu dapur masak buat malam ini ya." Bunda menggeleng lalu melenggang pergi meninggalkan mereka berdua.
"Masak lagi nih, Bun?" Rey menyahut tak rela.
Qilla menggelengkan kepalanya sebelum pergi meninggalkan Rey sendiri. Ia sempat merasa heran mengapa cowok itu bisa masak tetapi sangat pemalas. Tak ingin kembali memikirkan hal yang tidak-tidak Qilla melangkah semakin cepat menuju dapur.
***
"Ayam kecap ya Bu?" tanya Rey tiba-tiba pada Ibu pengurus dapur saat baru saja tiba.
"Lo ke mana aja sih? Dari tadi disuruh bunda masak, sampe ayamnya hampir mateng lo baru dateng." Qilla mendelik. Menatap tajam Rey yang saat itu tengah santai duduk.
"Ya terserah gue, dong."
Dengan langkah santai, Rey mendekati kompor. Mengaduk sebentar isi panci sebelum menyendok kuah ayam kecapnya sedikit. Ia meniup-niup sendok itu, sebelum mencicipinya. Rasanya memang sedikit hambar, seperti kurang garam dan juga kecap sedikit. Sesaat kemudian ia berdecak sambil mengulangi apa yang ia lakukan sampai tiga kali.
Qilla yang melihat Rey seperti itu hanya bisa terdiam. Firasatnya mengatakan jika Rey lagi-lagi mengajaknya berdebat sebentar lagi.
"Bu, ini siapa yang masak?" Qilla menatap Rey jengah.
"Gue. Kenapa?"
Rey tersenyum misterius. "Pantesan. Rasanya hambar begini."
"Apa lo bilang?!"
Rey tertawa sebelum kembali mengatakan jika masakan Qilla hambar. Tak ada manis-manisnya. Qilla mencak-mencak mendengar apa yang Rey katakan. Masakannya hambar katanya? Ia yakin Rey mengajaknya debat kali ini.
Qilla yang tak percaya, lantas ikut mencicipi hasil masakannya bersama ibu dapur. Ia mengaduk sebentar sebelum menyendok kuah ayam kecapnya. Meniup-niup sebentar mengikuti apa yang Rey lakukan sebelum mencicipinya. Aneh. Menurutnya masakan ini sudah pas. Tidak hambar seperti yang Rey katakan.
"Mana hambar? Pas gini kok. Lonya aja yang nyari ribut sama gue. Ya kan?" Qilla tertawa menantang. Alisnya, ia naik turunkan. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Benar-benar menantang.
Rey maju beberapa langkah mendekati Qilla. "Lo enggak percaya? Coba tanyain ke ibu dapur, gimana rasa masakan yang lo buat?"
"Oke." Qilla mengangguk semangat. "Coba ibu rasain. Pasti pas kok."
Ibu dapur yang melihat sekaligus mendengar pertengkaran mereka, hanya bisa menggelengkan kepala sembari tersenyum kecil. Cara Rey dan Qilla bertengkar seperti itu, terlihat lucu di matanya.
"Ayo bu, silakan cobain. Gue yakin, pasti lidah ibu sama kek gue," kata Rey sambil menjulurkan lidahnya, tanda mengejek.
Ibu dapur melangkah mendekati kompor, kemudian melakukan hal sama seperti yang Rey maupun Qilla lakukan. Rasanya memang pas, namun jika ditambah sedikit garam dan kecap akan lebih nikmat rasanya. Ia terdiam sebentar di depan kompor, membuat Qilla gemas karena ibu dapur tak segera memberikan pendapatnya.
"Gimana Bu? Gimana? Pasti pas. Emang dasar lidahnya Rey yang aneh."
"Apa lo bilang?"
Qilla berbalik menghadap Rey sembari berkacak pinggang. "Gue bilang lidah lo aneh."
"Sembarangan aja." Rey yang tak terima dikata seperti itu hanya bisa melotot.
"Lo tuh yang sembarangan. Bantuin enggak bantuin, bisanya ngeritik."
Ibu dapur tersenyum melihat mereka adu mulut seperti itu. "Sudah-sudah. Masakannya pas kok, cuma kalau ditambah sedikit garam sama kecap rasanya pasti lebih nikmat."
Qilla tersenyum menang.
"Tuh kan, bener apa kata gue. Emang dasar lidah lo aja yang aneh. Rasanya pas dibilang hambar. Ck."
Tak mau kalah, Rey membalas. "Ibu dapur memang bilang rasanya udah pas. Tapi kurang sedikit garam ma kecap. Itu artinya masakan lo kurang."
Bunda panti datang, membelah keributan yang Rey dan Qilla perbuat. Semua seketika terdiam. Malu bercampur takut hinggap pada pikiran masing-masing, kecuali ibu dapur yang kini tengah tersenyum.
"Kalian ini, disuruh bantuin masak malah bertengkar. Cepat selesaikan! Yang lain sudah menunggu." Rey dan Qilla mengangguk cepat. ibu dapur mematikan kompor, kemudian menyuruh Rey menuangkan hasil masakan mereka ke dalam mangkok besar.
"Bu, menu malam ini cuma ayam kecap?" Rey bertanya dengan suara pelan, takut kembali bunda panti datangi.
Ibu dapur mengangguk sekilas sambil menyusun beberapa piring ke atas nampan. "Iya, bahan makanan hanya tinggal ayam. Mau dibuat ayam goreng, anak-anak pasti bosen. Mungkin besok bunda nyuruh kalian buat beli beberapa bahan makanan."
Mereka berdua mengangguk-anggukkan kepala. Sebelum membantu ibu dapur mengantarkan nasi, lauk, piring dan sebagainya ke meja makan yang letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga.
Anak panti lainnya bersorak ramai ketika melihat Rey membawa nampan berisi nasi dan ayam kecap. Sedangkan Qilla hanya bisa tersenyum melihat betapa senangnya mereka ketika makanan.
"Maaf lho bikin kalian semua nunggu. Mbak Qilla-nya ini yang lama. Biasa cewek." Rey memelankan kalimat terakhirnya. Qilla yang mendengar hanya melolot tak terima. Enak saja! Padahal ia yang membuat semua menunggu hanya karena berdebat.
Melihat kursi sebelah kanan Airin-- Anak panti yang paling imut -- kosong, membuat Rey maupun Qilla dengan cepat menuju tempat itu. Mereka secara bersamaan menyentuh sandaran kursi. Rey menarik kursi itu ke kanan, Qilla juga menariknya ke kiri. Adegan tarik menarik kursi pun tak dapat dihindari lagi.
Keributan kecil hanya karena berebut kursi membuat aktifitas anak panti beserta bunda terhenti. Mereka menatap ke arah Rey dan Qilla yang tak berhenti tarik-menarik kursi. Airin yang berada di sebelah kiri mereka pun hanya bisa terdiam memandang mereka aneh.
"Rey! Qilla!" Teriakan bunda panti menggelegar, membuat Qilla maupun Rey berhenti. "Kalian tuh ya! Dari tadi, Ribut ... terus kerjaannya. Mau duduk aja masih harus ribut. Kalian udah dewasa! Harusnya bisa kasih contoh yang baik buat adik-adiknya. Bukan malah bertengkar terus macam ini."
Keduanya menunduk. "Maaf Bunda," kata mereka serempak.
"Mau enggak mau, kalian harus Bunda hukum. Bersihkan dapur sekarang juga! Kalian boleh makan setelah hukuman selesai. Mengerti?!" Keduanya mengangguk sembari menunduk. Tak berani menatap bunda yang kini menatap mereka bengis.
Bersambung...
Hari pertama, wkwk.
010818
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro