Mother
Science Fiction Day
Written by. Arabicca
||
Dari balik kaca bening kantorku, gedung-gedung pencakar langit tampak berdiri dengan gagahnya, seakan tengah berlomba-lomba menunjukkan kesombongannya, kesempunaan detailnya, pada langit ciptaan Tuhan yang warnanya tidak lagi sejernih dulu.
Menerawang jauh ke tengah pusat kota, aku bisa menangkap Mother—sebuah bangunan raksasa di mana semua ingatan manusia disimpan di sana. Bentuknya mirip silinder besar. Kadang mengilat, kadang redup, lalu pernah beberapa kali kulihat sisi dindingnya yang transparan itu seperti mengeluarkan retih api dari dalam.
Mother berperan penting dalam kehidupan manusia sekarang ini. Selain sebagai pusat arsip ingatan yang menyimpan jutaan kenangan—sejak jatuhnya sebuah meteor di tengah pusat kota, sampai masa di mana manusia hidup di antara kecanggihan teknologi—Mother juga merupakan kecerdasan buatan yang dapat mengendalikan para robot pekerja melalui sistemnya yang telah terintegrasi, serta mampu mengendalikan otak dan pikiran manusia melalui sebuah chip yang ditanam di belakang leher. Seolah tidak ada yang tidak bisa dilakukan Mother, orang-orang pun mulai bertuhan padanya. Berharap dunia dengan teknologi yang semakin mumpuni mampu membawa mereka pada sebuah ketentraman yang abadi, yang entah mengapa terdengar seperti omong kosong bagiku.
Katanya, manusia yang dipasangi chip itu, bisa dibangkitkan kembali setelah kematian. Aku sendiri tidak tahu bagaimana prosesnya, sebab aku memang belum pernah merasakan mati. Akan tetapi .... Para ilmuwan yang bekerja untuk Mother, entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Katanya bukan lagi sekadar katanya. Aku menyaksikan Bella hidup kembali, tapi dia tidak bisa mengenaliku. Dunia yang secara tidak sengaja memisahkan aku dari Bella, dunia macam apa ini sebenarnya?
Kuhela napas gusar sembari melirik jam tangan pintar yang sudah berkedap-kedip sedari tadi. Begitu layarnya kutekan, wajah seorang robot pekerja muncul dalam layar hologram yang berderik-derik memproses suaranya.
"Ada apa?"
"Sepertinya Anda harus melihat ini, Pak," katanya kemudian. Aku tidak bisa menebak apa yang terjadi lantaran nada suara di seberang terdengar datar tanpa penekanan berarti.
Sebelah alis kunaikkan tinggi-tinggi. Dan, robot pekerja pun kembali berkata lagi, "Kami ...," suaranya putus-putus, "... sepertinya menemukan peradaban asing."
__________________________
Peradaban asing?
"Di mana tempatnya?" tanyaku pada mereka.
Para robot pekerja menunjuk sebuah lubang besar yang menganga di bawah puing-puing bekas kota Meikarta.
Dulu, Meikarta merupakan wujud sebuah kota pintar yang dibangun untuk orang-orang elit dan berduit. Beberapa kali kota ini mengalami perubahan, demi mewujudkan impian orang-orang untuk bisa hidup di tengah-tengah kecanggihan teknologi. Namun sayang, pembangunan kota ini mesti dihentikan akibat rantai korupsi yang seolah tidak pernah putus. Bertahun-tahun terbengkalai, setelahnya kota ini pun hancur lebur akibat diterjang serpihan batu meteor. Setelah melakukan perundingan besar yang diikuti oleh puluhan perusahaan, proyek kota ini akhirnya jatuh ke tanganku. Pemerintah memberiku wewenang untuk membangun ulang tempat ini, menjadikannya unit huni dengan wajah baru yang layak bersaing dengan kota pintar lainnya di Indonesia.
"Apa kita perlu memeriksa ke dalam sebelum membongkar?" tanya sebuah suara statis, yang aku pun tidak tahu robot pekerja mana yang berbicara.
Dahiku mengernyit dalam memandangi lubang tersebut. Gelap menyelubungi pintu masuknya. Ada sesuatu yang terasa ganjil di dalam sana. Membuatku merinding saat gaungnya terdengar sampai keluar. Salah satu robot pekerja kemudian bergerak ke arahku. Dia memberiku sebuah teropong—teropong X—yang mampu menembus jauh ke dalam sana. Semakin jauh, hanya ada kerlipan logam yang terdeteksi—yang berhasil diterjemahkan menjadi warna merah melalui teropong ini.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan apapun di dalam sana.
"Langsung bongkar saja!" perintahku, setelah berulang kali memastikan.
Bor antareja berukuran raksasa pun langsung bekerja. Ujungnya yang sedikit lancip berputar-putar memporak-porandakan bekas tanah beton Meikarta. Puing-puing patah beterbangan, sementara sebagiannya menyerpih ke bawah tanah. Di antara suara gerung mesin yang menderu-deru, aku seperti mendengar jeritan seseorang meski samar-samar. Refleks kuedar pandangan ke penjuru wilayah. Betapa kagetnya aku, sewaktu mendapati ujung bor antareja seperti memercikkan sesuatu yang dibawanya naik ke permukaan.
"Hentikan! Ada-ada ...!"
Ada banyak manusia di bawah di sana! Teriakku pahit, tak mampu menyuarakannya. Gambaran potongan tubuh yang beterbangan di depan mataku benar-benar bagaikan mimpi buruk. Darah memuncrat mencemari udara, lalu mendarat habis di antara puing-puing. Aku bahkan nyaris terpental saat sebuah potongan kaki terbang menuju perutku.
"Hentikan ...!"
Setelah lelah berteriak-teriak, bor antareja yang sempat menggila akhirnya mau menuruti perintah.
Aku melesak turun. Tanah yang kupijak ini adalah tanah sungguhan, bukan berasal dari material beton. Kedua tanganku terkepal erat, merasa tidak habis pikir, mendapati sebuah tatanan kota sederhana yang telah rubuh di sana-sini. Hening mengiringi langkahku berkeliling. Semakin ke dalam, rupanya semakin gelap saja. Kemudian, sayup kudengar suara rintihan di bawah timbunan tanah dan reruntuhan bangunan. Sebuah tangan tiba-tiba mencuat di baliknya. Dengan segenap perasaan ngeri, kutarik tangan itu hingga wajah seorang wanita yang berdara-darah mampu kudekap erat.
"Bertahanlah! Demi Tuhan, aku tidak tahu kalau kalian hidup di ...." Tidak—lebih daripada itu, mengapa teropong X tidak bisa mendeteksi kehidupan di bawah sini?
"Jika manusia membunuh manusia, maka sudah sepantasnya dia dijatuhi hukuman," wanita itu terbatuk-batuk parah. Aku hanya bisa menggeleng, memintanya untuk tidak berbicara hal yang aneh-aneh. "tapi kalau robot yang melakukannya, menurutmu, apa mereka juga akan dijatuhi hukuman?"
Kondisi tubuhnya hancur dari paha ke bawah. Aku menggeleng lagi. Tenggorokanku terasa begitu tercekat—entah karena berusaha menahan tangis atau akibat menjerit-jerit.
Tangan wanita itu perlahan terjulur menelusuri rahangku. "Kau tidak perlu merasa bersalah, Aidan." Dia menyebut namaku. "Mother memang tidak mengizinkan kita untuk dapat mendeteksi sebuah kehidupan. Karena kita hidup berdampingan bersama para robot android dan besi berkarat, Mother memberi kita hak yang setara—yaitu, hidup—"
"Tapi tabung sialan itu malah mengambil semua milik kami!" teriak sebuah suara, memotong pembicaraan wanita itu.
Mataku terhentak jauh ke dalam kegelapan. Sedikit was-was saat suara keritan sepatu dengan tanah memantul di penjuru tempat. Sosok lelaki yang wajahnya lama-kelamaan kelihatan berkat cahaya dari permukaan itu mengejutkanku. Aku ... seperti melihat diriku sendiri. Garis wajahnya begitu mirip denganku. Kami bahkan saling melontarkan kalimat hampir bersamaan.
"Siapa kau—?!"
"Lepaskan ibuku atau kuleburkan kepala robotmu itu!"
"Robot ...?" Aku dibuat terkesiap. Namun, pandanganku justru jatuh pada wanita yang sedang kurengkuh. Dia mengeluarkan darah dari mulut dan telinganya.
Sementara lelaki itu, dia mulai menghitung. "Satu ... dua ...."
Senjata laras panjangnya langsung terkokang ke arahku pada hitungan ketiga. Secepatnya aku beringsut. Dan, tepat pada hitungan kelima, sinar laser meletus dari dalam lubang senjatanya. Kedua mataku membeliak lebar, nyaris tak bisa mengedip. Menyaksikannya dengan tanpa belas kasih menembak Ibu tepat di belakang leher.
Kulihat air matanya bercucuran di pipi.
"Kenapa kau menembaknya?" tanyaku tidak mengerti. Jika dia memang sesedih itu, mengapa malah melepas tembakan pada Ibu?
"Ibuku sudah mati." Dia menyerot ingus yang hendak turun. "Lebih baik seperti ini," katanya lagi, membuatku makin kebingungan. "Aku tidak ingin mereka mengambil chip-nya. Melalui chip itulah, Mother memetakan ingatan manusia. Jika seseorang meninggal, robot pekerja akan langsung mengambil alih sebuah chip dan menanamkannya di dalam kepala robot android. Dan, kau—" tudingnya ke arahku. "—adalah salah satu dari mereka!"
"Apa kau tahu bagian gilanya?! Hah?! Kalian bahkan melapisi kulit sintetis kalian dari serat kulit kami!"
Sontak aku terhenyak akibat kata-katanya. Semuanya seakan terjawab sudah. Bella yang mengingatku ternyata memang sudah mati, tidak mungkin bisa dibangkitkan kembali. Bella yang menggantikannya, mungkin Bella android. Lalu, bagaimana denganku? Aku tidak ingat apa-apa soal lelaki di depanku ini—meski wajahnya sangat mirip denganku. Apa Mother juga memetakan ingatanku? Ibu ditembak hingga bagian kepalanya terburai, tapi aku tidak merasakan kehilangan yang teramat sangat.
Saat lelaki itu hendak berteriak lagi, getaran dari atas permukaan justru membawa guruh dan langit-langit jatuh menimpa kami. Longsoran tanah menenggelamkan kami berdua. Kami terkurung di antara puing-puing bangungan yang menyilang sempit. Kedua tanganku sudah mati rasa, namun napasnya justru terasa hangat di wajahku. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh dada kiriku sewaktu hendak ditolaknya tubuhku menjauh.
Susah payah aku menahan tangannya. "Apa kau bisa merasakannya? Jantungku berdetak—aku masih manusia—sama sepertimu."
"Tidak. Kita tidak sama, Aidan."
Puing-puing di atas kami dengan mudah dia letuskan menggunakan senjatanya—tanpa memperhitungkan risiko, hingga pipa-pipa bekas gedung pencakar lagit yang mengungkung kota bawah tanah ini berlubang karenanya, serta menguarkan bau busuk yang sangat mengerikan.
Sementara aku masih tercenung, dia seperti sedang menungguku di sana. Anehnya, dia tidak memprotes saat aku mengikutinya. Bayangannya yang tertinggal seperti menuntunku untuk tetap bersamanya. Jalanan mulai terasa lebih becek di sini. Kami memasuki pipa besar yang meneteskan-neteskan air ke sisa-sisa tanah di dasar pijakan, menyongsong cahaya menyilaukan di ujung sana. Lelaki itu, kuperhatikan belakang lehernya, tampak sedikit berlubang.
"Kau tidak punya chip," ujarku spontan. Perasaanku seakan digerayangi sesuatu, terlebih saat dia menoleh dengan mata sinisnya.
"Kami, manusia, tidak butuh ingatan yang dibuat-buat. Kami hidup dengan membawa masa lalu, yang membuat kami bisa merasakan banyak hal, seperti kebahagiaan dan penyesalan."
Tatapannya sangat menghakimiku. Begitu kutanyakan, apakah aku ini robot android yang mendapat kehidupan dari ingatannya, dia tidak menjawabku.
Katanya, semua bermula saat putri dari seorang ilmuwan meninggal akibat kerusuhan di tahun 2100. Sembilan belas tahun yang lalu, orang-orang yang merasa tidak mendapatkan hak azasi yang setara, datang ke pusat kota—mereka yang disebut kaum pinggiran. Karena tidak semua orang hidup di kota pintar, rasa tidak terima itulah yang membawa mereka menghancurkan pusat kota. Betapa mengerikannya saat itu. Meikarta, dan kota-kota pintar lainnya, hancur lebur.
Ilmuwan tersebut merasa sangat kehilangan putrinya. Kemudian, dia pun memulai sebuah penelitian gila untuk memetakan ingatan manusia dalam sebuah data digital. Namun, ketika sadar bahwa ingatan seseorang yang sudah mati tidak bisa dikembalikan lagi, ilmuwan itu memilih untuk bunuh diri.
Proyek yang sedang dikerjakannya pun diambil alih oleh ilmuwan lain. Sayangnya, sehebat apapun tangan dan otak para ilmuwan yang menggantikan, ingatan manusia tidak bisa seenaknya dipindahkan. Tidak semudah men-download video porno dari situs web, sebab ingatan dan pikiran manusia terlalu dalam dan luas untuk diselami.
Pada akhirnya mereka mencari alternatif lain. Untuk bisa menstimulasi ingatan manusia dengan ingatan palsu, mereka menggunakan teknik hipnoterapi. Mengulik kesakitan orang-orang, rasa dendam, iri, dan perasaan-perasaan yang dapat membawa manusia dalam kehancuran, kemudian memperbaikinya dengan menyuntikkan ingatan baru melalui chip, agar orang-orang dapat hidup dengan damai, tidak ada lagi kerusuhan dan pertikaian.
"Kemudian, manusia yang mati, ingatannya akan diseleksi oleh Mother, lalu dipindahkan ke dalam kepala robot android. Agar mereka yang mati bisa hidup kembali dengan ingatan dan identitas pemilik sebelumnya."
"Lalu, apa kesakitan terbesarmu?" Dari semua hal yang dia jelaskan, entah mengapa hal itulah yang justru kutanyakan. Namun, lagi-lagi tidak dia acuhkan.
"Bukankah hal itu justru bagus? Berkat Mother dan chip tersebut, kita tidak perlu merasa kesakitan atau kehilangan, seperti ilmuwan itu."
"Bodoh! Perasaan itulah yang membedakan kita dengan para robot sialan itu!"
Aku merasa diberi kesempatan saat dia mengatakan 'kita'. Dia menarik kerah bajuku, tepat saat getaran kuat mengguncang pipa besar beserta kami di dalamnya.
"Pipa besar ini adalah saluran pembuangan limbah milik kawasan bekas industri Cikarang," katanya panik. Di atas kepala, suara berdebum terdengar lagi. Pipa pun kembali bergetar.
"Kita tidak bisa ke sana!" teriakku, mencegahnya yang hendak menerjang jalan keluar. "Kami berencana membangun stasiun kapsul bawah tanah di kawasan itu! Robot pekerja pasti sedang melakukan penggalian di sana!"
Dapat kurasakan bor antareja sepertinya kembali mengamuk.
"Setidaknya kita harus mencoba sesuatu, daripada mati tertimbun di sini!"
Aku tidak tahu lagi. Demi apapun, aku ingin tetap hidup. Aku takut sekali.
Dia bilang,"Justru itulah yang membuatmu lebih manusiawi."
Sinar di ujung sana mendadak padam tersumpal moncong bor antareja yang berputar-putar. Sabit milik dewa kematian rasanya sudah semakin dekat dengan leher kami.
Di sela-sela gemuruh mesin, dia berteriak lagi. "Kau pun harus tetap hidup, Aidan! Kau sedang membawa ingatan baru saat ini. Tidak ada yang boleh memprogram ulang sistem chip-mu. Jika aku mati, kau yang harus menghancurkan Mother."
Dalam kegelapan, hanya napasnya yang bisa kurasakan. Tubuhku seperti ditarik dan dihimpit bebatuan. Sewaktu sinar laser keluar dalam dalam senjatanya, kudapati tangannya ternyata sudah hilang sebelah.
Teriakan. Darah. Gelap, lalu hening tiba-tiba.
Dia sempat membisikkan sesuatu, sebelum deru napasnya benar-benar lenyap di telingaku.
"Berjanjilah untuk tetap hidup, Aidan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro