7 - THE UNFORTUNATE ENCOUNTER
Supaya bisa lebih berkonsentrasi pada audisi yang akan berlangsung hari ini, Richard sengaja meminta Ruri agar memesankan kamar di Ritz-Carlton, mengingat audisi akan dilaksanakan di salah satu auditorium hotel tersebut. Dia tidak ingin bangun pagi lalu tergesa-gesa berangkat yang justru akan mengacaukan mood dan konsentrasinya. Dengan menginap semalam di hotel, dia bisa lebih fokus dan menggunakan paginya untuk berolahraga.
Richard mengamati bayangannya di cermin selepas mengganti pakaian yang digunakannya untuk tidur dengan celana renang. Dia sengaja menghindari gym demi menjaga tenaganya supaya tidak banyak terkuras. Dia akan berenang setengah jam, mandi, sarapan, meditasi, lantas bersiap ke audisi. Mengalungkan handuk, Richard kemudian keluar dari kamar dan berjalan menuju lift. Memasang earphone, dia memutar lagu-lagu yang ada dalam playlist paginya untuk memberi sedikit suntikan semangat.
Menekuri ponsel sambil menunggu pintu lift terbuka, Richard bersenandung pelan. Ting! Kaki jenjang pria dengan tinggi 186 sentimeter tersebut sudah melangkah maju, tapi ketika dia mengangkat wajah, tiga kejadian menyerangnya di saat yang bersamaan.
Ayunan kakinya berhenti.
Senandungnya digantikan oleh diam.
Dan yang terakhir adalah sebuah kalimat pendek yang bisa diartikan siapa pun sebagai umpatan.
"You've got to be joking!"
"Seriously?"
Dua kalimat tersebut meluncur dari mulut Richard Ackles dan Jazmine Anjani secara serentak diikuti oleh pandangan tidak suka. Kebencian menguar dari keduanya, langsung menggantikan perasaan apa pun yang sebelumnya hadir dalam benak mereka.
Dengan spontan, Richard memundurkan tubuhnya dibarengi sebuah gelengan. "Ngapain lo di sini?"
"Gue juga bisa nanya hal yang sama. Ngapain lo ada di sini? Ngerusak pagi gue aja."
"Dan lo pikir pagi gue nggak rusak?" Richard menunjukkan senyum yang jelas-jelas mengejek dan menampilkan kepura-puraan. "Dasar cewek preman!"
Richard mundur selangkah ketika Jaz maju dengan cepat. "Lo nyebut gue ap—?"
Dengan penuh kekesalan, Richard memencet tombol sekukat tenaga agar pintu lift di hadapannya tertutup dengan segera. Dan benar saja, tidak sampai sepuluh detik, pintu tertutup hingga perempuan terakhir yang ingin ditemui Richard itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Suasana hati Richard yang riang sepuluh menit lalu, berubah drastis dalam hitungan detik. Semuanya gara-gara cewek sialan itu! gerutunya dalam hati sebelum dia berjalan mondar-mandir sambil menimbang apakah dia harus kembali ke kamar dan bermeditasi atau tetap melanjutkan niat untuk berenang.
Tanpa berpikir panjang, Richard membuka kunci ponselnya dan segera menghubungi Ruri. Dalam deringan kedua, suara perempuan itu terdengar.
"Kenapa, Rick? Ada masalah sama hotel lo?"
"Pagi gue officially berantakan! I'm screwed! Mood gue udah ancur! Semua gar—"
"RICHARD ACKLES!"
Richard menjauhkan ponsel dari telinganya begitu dia mendengar teriakan Ruri yang sangat melengking. Dia sangat yakin, asistennya pasti membangunkan seisi rumah dengan volume yang tidak terkontrol seperti itu. Namun membayangkan Ruri bisa saja berada di dalam taksi menuju Ritz-Carlton, membuat mata Richard membelalak ngeri.
Begitu yakin jeritan Ruri selesai, Richard kembali mendekatkan ponsel ke telinganya. "Lo lagi di mana?"
"Lo pokoknya tanggung jawab kalau sampai sopir taksi yang gue tumpangin nuntut gue karena udah bikin dia budek." Terdengar sayup-sayup Ruri meminta maaf kepada sopir taksi. "Lo lagi dapet krisis apa?"
"Gue ketemu cewek preman yang namanya haram banget gue sebut."
Rahang Richard mengeras ketika wajah perempuan itu hadir lagi dalam ingatannya. Bukan, bukan wajah yang sedikit berkeringat dan beberapa helai rambutnya jatuh melekat pada pipi serta pakaian olahraga yang menunjukkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Namun ekspresi perempuan itu sesaat setelah menamparnya untuk yang kedua kali. Dia pun menggeram pelan.
"Oh, di mana?"
"Lo pikir gue lagi di mana? Ya di hotel!"
"Terus?"
"Dia udah berantakin pagi gue dan possibly, hari gue!" seru Richard gemas.
"Gue sampai sepuluh menit lagi. Awas aja kalau sampai lo ngelakuin hal tolol dan cuma nurutin nafsu. Balik ke kamar sekarang dan jangan dikunci!"
Belum sempat Richard menanggapi, Ruri sudah mengakhiri panggilan. Mencengkeram ponselnya dengan kuat, Richard berjalan kembali menuju kamar dengan kekesalan yang harus dilampiaskannya sebelum Ruri sampai. Jika tidak, maka ada kemungkinan dia akan menjadikan Ruri sasaran. Richard bergidik membayangkan reaksi Ruri jika dia melakukannya.
***
"Lo nyebut gue apa?"
Namun belum sempat kalimatnya selesai, pintu lift di depannya sudah tertutup. Jaz mengepalkan tangan sebelum dia meluapkan kekesalannya.
"Dasar cowok pengecut!"
Jaz mengikat emosinya sekencang mungkin demi menghindarkan diri dari malu jika pintu lift tiba-tiba terbuka dan ada tamu hotel yang berdiri di hadapannya. Beruntung hingga dia naik ke lantai sepuluh, tidak ada satu orang pun yang masuk hingga saat sampai di tujuannya, Jaz secepat kilat keluar dari lift dan mempercepat langkah menuju kamar.
"Anggi! Gue ketemu manusia paling brengsek yang pernah hidup di muka bumi!" jerit Jaz begitu dia masuk ke kamar. Dia langsung menghampiri tempat tidur dan membanting tubuhnya di sana. Dengan tenaga yang tersisa setelah berolahraga di gym, Jaz memukuli tempat tidur dan menjerit sekeras-kerasnya.
"Di mana?" Anggi sepertinya cukup paham siapa yang dimaksud Jaz. Oleh karena itu, dia menahan diri untuk tidak mengucapkan nama yang sangat haram didengar oleh Jaz.
Jaz dengan segera mengangkat mukanya dengan rambut yang masih berantakan. Namun dia tidak memedulikannya. "Di lift," jawab Jaz singkat sebelum dia akhirnya duduk sambil meraih bantal. Sedetik kemudian, dia membenamkan wajahnya untuk kembali berteriak.
"Udah?" tanya Anggi begitu melihat Jaz menyingkirkan bantal yang tadi menyembunyikan wajahnya.
"Gue nggak yakin audisi nanti bakal berjalan lancar." Jaz menggeleng pasrah. "Kenapa sih cowok sialan itu muncul di saat yang nggak tepat? Gue mulai—"
"Jaz, cukup!" potong Anggi dengan suara cukup lantang. Setidaknya cukup mengalihkan pandangan Jaz ke arahnya dan menghentikan racauan perempuan itu. "Kamu itu beneran ngasih dia space berlebih dalam pikiran sampai bisa bikin kamu jadi pesimis. You're giving him too much credit, Jaz. He's not worth it."
Mendengar itu, Jaz terdiam.
"Oke, Richard hamilin sahabat kamu dan kamu marah karena dia nggak mau ngaku." Anggi mengabaikan protes yang akan disampaikan Jaz karena menyebut nama yang selama ini pantang diucapkan. "Aku ngerti kenapa kamu benci sama dia, tapi ketika Mina sendiri nggak ngerasa kayak gitu, aku jadi bertanya-tanya. Kamu beneran benci dia, atau kamu pakai alasan itu buat nyingkirin rasa bersalah karena malam itu kamu nggak bisa ngajak Mina pulang? Karena kalau kamu nggak pulang lebih dulu, Mina nggak akan tidur sama Richard, dan dia nggak akan hamil. Dan kamu jangan lupa, bisa jadi Richard bukan ayah dari anak yang dikandung Mina begitu tes DNA keluar nanti. Kamu pernah mikir kemungkinan itu bisa aja terjadi nggak?"
Jaz terpaku. Tidak ada kalimat yang mampu dia rangkai untuk dikatakannya kepada Anggi, termasuk sanggahan atas kemungkinan Richard bukanlah pria yang menghamili Mina.
Jaz sadar, perasaan bersalah itu tidak akan berhenti menguntitnya. Hanya satu kali dia mengungkapkan sesal kepada Anggi, yaitu setelah mengetahui Mina hamil. Sesudahnya, dia atau Anggi seolah menyingkirkan obrolan tersebut dan tidak lagi mengungkitnya. Hingga sekarang. Sejujurnya, kebencian kepada Richard memang didasari atas sikapnya yang menolak bertanggung jawab.
Apakah gue udah kelewatan? Jaz berharap mampu menemukan jawaban atas pertanyaan yang tidak pernah disuarakannya itu.
"Selama kamu belum tahu alasan utama benci sama Richard—dan ya, aku akan mulai nyebut namanya supaya kamu terbiasa—maka aku akan nganggep perasaan nggak suka kamu ke dia nggak punya dasar yang kuat." Anggi lantas meraih tas yang digeletakkannya di atas meja. "Aku peduli sama kamu, Jaz, tapi ini," Anggi menggeleng, "aku beneran nggak ngerti. Kamu masih punya satu jam setengah sebelum harus ke auditorium. Terserah kalau kamu masih merasa Richard udah bikin semuanya jadi kacau. Dan terserah juga kalau kamu ngebiarin masa depan kamu dikendalikan oleh dia." Anggi mencangklongkan tasnya di pundak. "Aku tunggu di lobi."
Tidak ada yang bisa dilakukan Jaz selain membisu dan menyaksikan punggung Anggi menjauh sebelum asistennya tersebut keluar kamar dan pintu ditutup. Dia menelan ludah, memikirkan kata-kata yang dilontarkan Anggi, berharap mampu menemukan argumen dan celah untuk membantah pendapat yang ditujukan kepadanya. Namun semakin dia menggalinya, semakin dia tidak mendapatkan apa pun.
Memejamkan mata, Anggi kemudian merebahkan tubuhnya dan kembali menutupi wajahnya dengan bantal. Hanya saja kali ini, tidak ada teriakan kesal yang keluar dari mulutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro