Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40 - JAZMINE


"Daniel, gue beneran nggak tahu lagi harus ngomong apa."

Dengan satu gerakan mengentak, Jaz menyalakan teko listrik untuk menyeduh teh. Dia sengaja memunggungi Daniel yang Jaz yakin, masih menghunuskan pandangan ke arahnya. Jaz sungguh tidak paham dengan kecemburuan pria itu kepada Richard meskipun berkali-kali dia sudah memberikan penjelasan. Dia tidak lagi punya kalimat yang bisa diucapkan demi meyakinkan Daniel.

"At least you can look at me."

Sekalipun belum lama mengenal Daniel, cukup bagi Jaz untuk tahu betapa dingin kata-kata yang baru saja menyambangi telinganya itu. Jaz tidak pernah menyangka Daniel memiliki sikap yang sangat bertolak belakang dengan kepribadian yang selama ini ditunjukkannya di hadapan Jaz.

Meraih cangkir sebelum mengisinya dengan kantong teh, Jaz menunggu air di dalam teko mendidih. Dia sudah lelah berargumen dengan Daniel, terlebih untuk masalah yang sama, tetapi membiarkannya hanya akan melebarkan jurang yang mulai terbentuk di antara mereka. Bersikap diam tidak akan menyelesaikan, justru hanya akan menunda sesuatu yang enggan dipikirkan Jaz.

Begitu terdengar suara yang menandakan air di dalam teko sudah mendidih, Jaz dengan segera menuang isinya ke dalam cangkir. Ada waktu yang sengaja diulur Jaz karena dia masih menimbang kata-kata yang harus dilontarkannya kepada Daniel, setidaknya membuat pria itu sedikit paham. Dengan satu tarikan napas, Jaz lantas membalikkan badan dan mendapati Daniel berdiri mematung. Pandangan mereka dengan cepat bertabrakan.

"Jadi sekarang mau lo apa?" tanya Jaz sembari menyilangkan lengan di dada. "Lo mau gue berhenti main film sama Richard? Karena gue nggak ngeliat cara lain supaya bikin lo ngerti dengan semua alasan yang udah gue kasih."

Jaz sadar bahwa kalimatnya penuh dengan sarkasme. Bukan pilihan bijak mengingat Daniel bisa salah mengartikannya dan justru berpotensi membuat argumen di antara mereka semakin sulit diredam. Hanya saja Jaz tidak memiliki pilihan lain. Jika memang mereka harus melalui pertengkaran ini supaya ke depannya tidak lagi ada kesalahpahaman, Jaz dengan rela mengambil jalur tersebut.

"Jaz, bukan itu maksud aku. Kamu—"

"That's exactly what you mean, Daniel," potong Jaz mengetahui pria yang berdiri di hadapannya ini berusaha meredakan situasi. Namun dirinya tahu, Daniel akan mengungkitnya lagi lain kali. Jadi Jaz lebih baik menyelesaikannya sekarang agar semuanya jelas. "Lo nggak suka gue berinteraksi sama Richard karena lo cemburu—gue belum selesai ngomong." Jaz mengangkat tangannya, memberi tanda kepada Daniel bahwa ada kalimat yang masih menunggu untuk ditumpahkan. "You are being jealous, Daniel. Gue nggak punya kata lain buat gambarin sikap lo. Dan nggak peduli gimana gue ngeyakinin lo, itu nggak cukup. Jadi sekarang gue nanya, mau lo apa? Karena selama syuting berlangsung dan juga sampai film rilis, gue bakal sering ketemu Richard karena itu bagian dari kontrak. Lo mau gue bayar penalti karena mandek di tengah jalan?"

Jika ada satu hal yang paling dibenci Daniel adalah sikap tidak profesional. Jaz sengaja menyinggung sesuatu yang tidak disukai pria itu, bukan untuk memenangkan argumen, tetapi demi memberi pemahaman kepada pria itu bahwa pilihan yang dimilikinya hanya dua: keluar dari produksi atau tetap memenuhi kontraknya. Sekalipun terdengar kejam, Jaz tentu lebih memilih Revulsion dibanding hubungannya dengan Daniel. Dia hanya berharap pertengkaran mereka tidak perlu sampai ke titik tersebut.

Mereka dibalut diam sekalipun tatapan mereka tidak saling beranjak dari satu sama lain.

"I just don't want to lose you, Jaz. Because I love you."

Jaz membasahi tenggorokannya dan mengerjap, berharap Daniel tidak menggunakan alasan tersebut untuk menjustifikasi sikapnya selama ini, terlebih sejak mereka bertemu dengan Richard dan Beth. Dia benar-benar tidak tahu Daniel bisa seposesif itu kepadanya seperti pria yang selama ini identik dengan sikap gentleman dan pengertian, hilang ditelan bumi.

"Asal lo tahu, Daniel, kalau sikap lo kayak begini terus, lo bakal tetep kehilangan gue," ujar Jaz akhirnya setelah tidak lagi bisa menahan apa yang ingin dikatakannya. "Kalau bukan Richard, akan selalu ada cowok cakep di sekeliling gue karena itu adalah bagian dari kerjaan gue. Kalau setiap ada cowok yang lo anggep cakep, terus lo jadi begini, buat apa lo percaya sama gue? Sama aja lo nggak bisa pegang omongan gue. What's the point in us having a relationship?"

Ujung mata Jaz melirik teh yang sudah tidak lagi panas sebelum mendapati Daniel memotong jarak yang memisahkan mereka. Pandangan keduanya masih belum bergeser dari satu sama lain hingga kemudian tangan Daniel memegang lengan Jaz.

"Jaz, kamu perempuan spesial, dan aku nggak mau kehilangan kamu. Mungkin alasan itu nggak cukup buat kamu, tapi aku nggak punya alasan lain." Daniel menunduk sesaat sebelum kembali memandang Jaz. "Aku tahu harusnya bisa percaya sama kamu, tapi ketakutanku begitu besar. Aku masih mencoba buat nggak takut, tapi itu bukan hal yang mudah." Daniel lantas meraih tangan Jaz dalam genggamannya. "Please forgive me, Jaz. I promise I'll never overreact like this again."

Jujur, Jaz memang tidak suka bertengkar dengan Daniel, apalagi situasinya saat ini sedang menjalani syuting di Bali. Tidak banyak hal yang mampu meredakan emosinya seperti ketika dirinya ada di Jakarta. Dia menginginkan dukungan dari Daniel, bukan dibombardir dengan berbagai tuduhan dan rasa cemburu.

Tidak peduli besarnya keinginan Jaz untuk memancing keluar semua kekhawatiran Daniel hingga tidak ada lagi yang tersisa, tenaganya sudah sangat terkuras dengan cekcok yang mengisi waktu mereka. Belum lagi dia tetap harus menjaga stamina karena syuting yang akan dilakukannya besok menuntut dan menguji totalitas Jaz sebagai aktris. Dia tidak ingin datang ke lokasi syuting tanpa persiapan dan tenaga yang utuh.

Menarik satu napas panjang, Jaz mengembuskannya pelan. "Gue nggak perlu janji lo, Daniel. Gue lebih butuh bukti dan sikap lo karena buat gue, itu jauh lebih penting."

Jaz menyaksikan anggukan pelan Daniel. "I know," ucap pria itu lirih. "Mungkin aku merasa kalah ganteng dari Richard."

Mendengar itu, Jaz meloloskan tawa kecil, tahu bahwa Daniel hanya bercanda. "Mau dia seganteng Chris Hemsworth pun, kalau gue nggak ada rasa, nggak akan mempan juga di gue."

Jantung Jaz berdegup lebih kencang saat mengatakannya. Dia berusaha menganalisis alasannya, tetapi tiap kali melakukannya, benaknya selalu diisi oleh Richard dan pandangan kecil yang mereka bagi saat makan malam bersama Beth dan Daniel. Membayangkan malam itu selalu berhasil mengusik sesuatu yang belum bisa diartikan Jaz.

"Aku ingin menebus semua rasa cemburuku, Jaz."

Dengan cepat, Jaz menggeleng. "Gue tahu lo pasti berharap gue minta sesuatu dari lo. Tapi jujur, Daniel, gue nggak mau apa-apa. Gue cuma mau kita nggak nyelipin nama Richard," Jaz menelan ludah seolah nama itu begitu berat untuk dia ucapkan dengan mudah, "dan justru jadi ribut. Gue pengen ngabisin waktu sama lo sebelum lo harus balik ke Jakarta tanpa ada drama. Can we do that even if we do nothing?"

Daniel mengangguk. "Tapi kita tetep perlu makan, Jaz. Aku lapar, dan teh kamu nggak bisa lagi diminum."

Jika sudah menyangkut makanan, Jaz tidak berani beradu argumen karena Daniel selalu bisa mengalahkannya. Dia harus menuruti kemauan pria itu makan di restoran yang cukup menguras kantong supaya pertengkaran mereka tidak lagi terpantik.

"Lo mau makan di mana?"

"La Lucciola, ya? Kita bisa sambil nunggu sunset."

"Oke," balas Jaz singkat sebelum dia menerima pelukan dari Daniel.

Memejamkan mata, tangan Jaz mengelus pelan punggung pria itu, tetapi bayangan Richard muncul tanpa bisa dia tepis. Jaz tidak ingin mengkhianati Daniel, tapi dia juga tahu, mengusir bayangan Richard akan berujung kesia-siaan.


***

Halo semua,

Maaf ya seminggu ini ceritanya 'dianggurin' karena saya lagi sibuk banget, jadi nggak sempet buka Wattpad, apalagi nulis. Semoga masih ditunggu cerita tentang Jaz dan Richard. 

Selamat berakhir pekan semuanya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro