19 - AKSARA AWARDS
"Lo mau gue mempermalukan diri sendiri di depan banyak orang? Mikir dong!"
Protes tersebut dilantangkan Richard dengan sekuat tenaga. Tidak keras sampai terdengar ke luar ruang ganti, tapi cukup untuk membuat Ruri meringis.
Richard sudah tampil tanpa cela dengan balutan jaket dengan sentuhan etnik di bagian ujung lengan, dada, dan kerah berwarna hitam yang didesain secara khusus oleh Mandala Putra untuk dikenakannya di malam Aksara Awards. Kesan yang ingin ditampilkan Mandala Putra pun tidak berlebihan. Siapa pun yang melihat Richard malam ini, tahu bahwa bukan pakaian itu yang menonjol, tapi karena Richard Ackles yang mengenakannya.
Namun satu informasi yang didapat Richard setelah sampai di lokasi penganugerahan mengubah suasana hati yang sebelumnya sangat ceria.
"Rick, lo tahu alasannya dan kejadian kayak gini bukan sekali-dua kali lo alamin. Apa sih yang bikin beda kali ini?"
Menarik napas panjang demi menenangkan diri, Richard membalikkan badan dari bayangannya di cermin demi menatap Ruri. Pertanyaan yang diajukan asistennya tersebut terdengar seperti jenis pertanyaan yang dikeluarkan remaja lima belas tahun tentang apa warna langit.
"Ru, in case lo lupa, gue bakal bacain nominasi dan pemenang bareng cewek yang sampai sekarang berusaha gue hindari demi kewarasan diri gue sendiri. Dan gue baru tahu satu jam yang lalu! Lo mau gue sama dia gontok-gontokan di atas panggung?"
Mengepalkan kedua tangan, Richard berjalan mendekati pintu sebelum kembali berdiri di depan Ruri yang masih duduk memandangnya. "Sekarang gue tanya, pilihan yang lo punya apa? Lo udah nyampe sini, media udah liat lo dateng, apa nggak bakal jadi pertanyaan besar misalkan lo tiba-tiba ngilang? Mau lagi lo masuk berita gosip?"
Sekalipun memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Richard jelas tidak mau mengakuinya. Egonya terlalu besar. Namun Ruri jelas tidak punya waktu meladeni egonya saat ini. Seperti biasa, asistennya tersebut lebih memilih untuk melontarkan fakta.
"Oh ya, tambahan lagi. Lo mau dicap sebagai orang yang nggak bertanggung jawab cuma karena lo nggak suka sama partner lo di sini? Bayangin gimana reputasi lo kalau lo mutusin buat pergi dari sini sekarang? Yakin lo mau itu? Inget, Rick, status lo masih belum lepas dari Mina."
Menelan ludah, Richard menunduk kalah. Dia sadar tidak punya alasan kuat untuk menyanggah semua kata-kata yang terlontar dari mulut Ruri. Richard sungguh tidak memahami alasan dia selalu dipertemukan dengan Jazmine dalam situasi yang mustahil baginya menghindar.
"Biarin gue meditasi dulu, seenggaknya buat menetralkan perasaan gue karena gue nggak yakin kalau ketemu dia nanti, gue nggak bakal hilang kendali."
Dengan langkah gontai, Richard menghampiri salah satu kursi yang ada di ruang ganti itu sebelum duduk. Dia mulai memejamkan mata sementara Ruri memilih keluar, memberikan Richard sedikit ketenangan.
***
"Nggi, ini seriusan gue harus naik panggung saa Richard? Kenapa sih lo nggak ngasih tahu sebelumnya? Kan gue bisa nolak."
Ketika Anggi menanyakan kepadanya tentang tawaran last minute ini, tanpa ragu Jazmine langsung mengiyakannya. Terlebih ini adalah Aksara Awards pertamanya. Kesempatan ini tidak pernah datang sebelumnya, dan Jaz tahu berada di sini malam ini akan punya konsekuensi bagus untuk karirnya di film. Namun Jaz tentu tidak menyangka justru akan berpapasan lagi dengan Richard Ackles.
Lagi-lagi dipertemukan cowok nggak banget itu, gerutunya dalam hati.
"Tuh, kamu kayak gini lagi tiap kali berhubungan sama Richard. Katanya udah mau move on?"
"Move on gimana sih maksud lo, Nggi?"
"Kemaren ke Bali ngapain? Apalagi lo udah setuju juga buat tetep di Revulsion, yang berarti lo bakal lebih sering ketemu Richard nantinya. Apa bedanya nanti sama sekarang?"
Jaz menggeram pelan sembari mengentakkan kakinya di ruang ganti yang tidak seberapa besar itu. Gaun rancangan Adiguna Tirta tersebut memang membalut tubuhnya dengan sempurna, terlebih warna yang dipilih desainer tersebut berwarna gelap, kontras dengan kulitnya yang kuning langsat.
"Ya beda, Anggi. Sekarang ya sekarang, nanti ya nanti. Seenggaknya gue masih punya waktu sebelum harus ketemu dia tiap hari. Tapi ini unexpected, dan gue nggak suka hal-hal begini."
Dengan frustasi Anggi duduk di kursi lalu memandang bayangannya di cermin. Siapa pun yang melihatnya di atas panggung nanti—terlebih pemirsa di televisi—akan dengan jelas melihat ekspresi wajahnya yang tidak nyaman berdiri bersisian dengan Richard. Tatapan matanya juga tidak bisa berbohong.
"Jaz, dengerin aku."
"Lo mau ngomong apa lagi? Supaya gue nggak kabur dari acara ini? Gue janji nggak akan ngelakuin hal sesembrono itu," balas Jaz mendahului ceramah yang biasanya dilontarkan Anggi pada saat-saat seperti ini.
"Bukan itu maksudku." Anggi lantas menghampiri Jaz dan duduk di meja tempat Jaz memangku kedua lengannya. "Ini justru kesempatan bagus, Jaz. Bukan buat kamu atau Richard, tapi buat Revulsion."
Mendengar itu, Jaz mengangkat wajah untuk menatap Anggi. "Maksud lo?"
"Coba kamu bayangin, ini akan jadi penampilan pertama kalian berdua setelah resmi jadi Brian dan Claudia. Nggak direncanain, tapi efeknya akan tetep sama. Begitu berita kalian bakal main Revulsion dilempar ke publik, mereka pasti akan nyebut malam ini sebagai pertanda, atau apa pun itu. Aku yakin, akan banyak acara-acara ke depannya di mana kalian harus tampil berdua, nggak peduli kamu suka atau nggak, karena itu akan jadi bagian dari publisitas. Jadi apa bedanya nanti sama sekarang kalau hasilnya akan sama aja?"
Jaz tampak diam memikirkan penjelasan Anggi yang seperti biasa, jauh memikirkan efek ke depan dibandingkan hanya melihat konsekuensi yang sifatnya temporer. Dia sendiri tidak tahu apakah semua yang dikatakan Anggi akan menjadi kenyataan atau tidak, tapi jika ada satu hal yang dipelajarinya sejak menjadi public figure adalah publisitas itu penting. Bahkan publisitas yang jelek pun tetaplah sebuah publisitas sekalipun bukan yang diharapkan public figure mana pun.
Memandang lagi bayangannya di cermin, Jaz melihat determinasi dalam tatapan matanya. Sudah lama dia memimpikan peran utama di sebuah film. Jika dia mampu mengesampingkan semua perasaannya kepada Richard untuk menerima peran Claudia, dia harusnya bisa melewati beberapa menit dengan pria itu.
"Oke," ucap Jaz singkat. "Let's do this, then. Gue nggak bakal bisa juga menghindar dari dia terus-menerus."
Senyum lebar Anggi terpasang di wajahnya. "Aku tahu kamu akan ambil keputusan yang benar."
***
Selepas menyampaikan penghargaan untuk Naskah Adaptasi Terbaik, Jaz dan Richard segera kembali ke backstage.
"Congrats, Bang. Gue tahu Kelabu adalah film yang istimewa," puji Richard kepada Edo Panjaitan, penulis naskah Kelabu begitu dia turun dari panggung.
"Ah, naskahku nggak akan jadi bagus kalau sutradaranya bukan Leo."
"It takes two to tango," balas Richard sembari tersenyum.
Suasana di backstage memang ribut hingga Richard tidak mengetahui bahwa perhatian Jaz tidak lepas darinya. Jelas ada tatapan mencemooh yang berusaha disembunyikan perempuan itu.
"SKSD banget," ujar Jaz ketika mereka berdua berjalan menuju ruang ganti, dengan suasana yang sedikit lebih sepi. Orang-orang saling berlarian atau mengeluarkan teriakan hingga Jaz yakin, tidak ada yang akan menaruh perhatian ke mereka.
"Pikiran lo emang negatif terus ya soal gue?" Richard mengikuti kalimatnya dengan sebuah decakan. "Gue udah berhati-hati banget supaya nggak kepancing sama kata-kata lo, jadi lo lebih baik nggak usah bikin gara-gara." Richard memang terlihat menahan diri agar tidak lepas kendali, terlihat dari tatapana matanya yang tajam dan rahangnya yang sedikit mengeras.
Tawa mencemooh Jaz lolos dari mulutnya. "Gue bikin gara-gara? Perasaan gue cuma ngomong fakta."
"Jaz!"
Teriakan itu menghalangi Richard untuk membalas kalimat Jaz. Tidak lama kemudian, dia melihat perempuan datang tergopoh-gopoh menghampiri Jaz dengan raut muka yang hanya bisa diartikan Richard sebagai ekspresi panik.
"Kenapa, Nggi?"
"Mina udah di rumah sakit. Air ketubannya pecah."
Tanpa dikomando, Jaz dan Richard saling bertukar pandang.
Seriously? Sekarang banget? tanya Richard dalam hati.
"Lo serius?" Jaz membelalak tidak percaya.
Anggi mengangguk. "Aku udah siapin mobil, jadi kita bisa pergi sekarang."
"Buruan!"
Dalam hitungan detik, Richard menyaksikan Jaz menggandeng tangan perempuan yang tadi menghampirinya dan mereka berlari kecil meninggalkan Richard yang masih terpaku. Hingga kemudian dia menoleh saat pundaknya ditepuk.
"Lo kenapa? Kayak ngelihat hantu gitu?"
Richard mengerjap sebelum dia memandang Ruri yang sudah berdiri di sampingnya. "Mina lagi di rumah sakit. Kayaknya dia mau lahiran."
"Serius?"
"Sepertinya sih gitu."
"Jadi lo mau ke rumah sakit?"
Dengan cepat Richard menggeleng. "Ngapain? Gue nggak yakin bisa langsung tes DNA. Kita balik aja."
"Lo serius, Rick?"
"I said let's get out of here," tukas Richard sembari berjalan meninggalkan Ruri. "Lo aja yang nyetir. Anterin gue ke The Oak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro