Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 |Finale


| RIAN |

Aku membuka mata dan melihat pintu kapsul yang dipaksa terbuka. Wajah Rico yang panik memenuhi pandangan.

"Kau baik-baik saja Rian?" tanyanya, sambil mengulurkan tangan.

"Ya, aku baik-baik saja."

Aku mengambil uluran tangan itu dan mencoba bangkit.

Terakhir yang kuingat saat menjadi Fhou adalah kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Melihat diriku yang baik-baik saja menunjukkan bahwa Fhou tidak mati. Seketika perasaan hangat menyelimuti dada. Ada rasa senang saat menyadari ia kini dapat menikmati masa depan baru dengan keluarga kecilnya. Namun, tidak bohong bila ada sedikit rasa sedih yang menusuk hati saat aku menyadari itu adalah saat terakhir bersamanya. Mau itu aku ataupun ia, pasti paham bahwa kami berdua memiliki kehidupan kami masing-masing yang menunggu. Jadi, tidak perlu terlalu bersedih pada perpisahan ini.

Mungkin ini juga akan menjadi masa depan baru bagiku.



BRAK!

"Semuanya cepat berlindung ke emergency room!" teriak Kansha.

Teriakan lantang milik Kansha membuatku kembali tersadar. Seketika hanya Atsa yang terpikir, membuatku dengan cepat beralih ke arah sumber keributan. Mataku menulusuri setiap sisi tanpa terlewat mencari rambut merah yang berkobar paling menyala meskipun tidak ada cahaya matahari yang menyinarinya. Namun, usahaku sia-sia. Keadaan di sini terlalu kacau, tim Kansha kini sedang beradu tembak dengan beberapa yang lain beradu tinju dengan kasar.

"RIAN!" Kansha menarikku dengan kasar, membuyarkan fokusku.

"Apa yang kau lakukan di sini?! Cepat berlindung!" teriaknya.

Lalu dengan cepat menundukkan kepalaku dengan kasar sambil menembak ke arah kerumunan. Aku tidak menyadari diriku yang berjalan perlahan menuju kekacauan itu karena sibuk mencari seseorang yang kutakutkan berada di tengah-tengah sana.

"Atsa! Dimana dia?!"

Aku ikut berteriak akibat sahut-sahutan tembakan yang tidak berhenti memenuhi ruangan ini.

"Dia tidak ada di sini—Akh!"

Kansha menangkis sebuah tembakan lagi mengunakan lengannya sambil melindungiku.

"Ikuti aku," perintahnya.



Aku berlindung di tengah tim besar milik Kansha yang perlahan mundur menuju emergency room. Salah seorang timnya melempar sebuah granat tangan yang sedetik kemudian menghasilkan cahaya menyilaukan. Kami semua dengan cepat berlari menjauh dan masuk ke dalam lift besar ini dengan selamat. Pintu besi kemudian menutup dan terkunci dengan bunyi nyaring. Lift kemudian bergetar yang mengingatkanku pada sensasi saat berlindung dari kejaran Neirontza di gedung 178. Tak lama pintu pada sisi lain terbuka dan aku menemukan semua orang berkumpul di ruangan bawah tanah.

"Rico, sudah semua orang?" tanya Kansha tanpa melewatkan waktu sedetikpun.

"Tinggal Ria—Ah! Sudah semua!"

Ia menjawab dengan cepat saat matanya menangkap diriku.



"RIAN!" Teriakan Eva membuatku dengan cepat beralih dan melihat Uta serta Zair yang berlari mendekatiku.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Uta.

"Hei, seriusan apa yang kau pikirkan?!"

Zair berteriak kepadaku sambil memberikan ekspresi ngeri.

"Maaf, aku ... hanya mencari Atsa."

Sambil menjawab asal, mataku kembali menjelajah mencarinya di tengah kerumunan.



"...."

Melihat mereka bertiga tidak memberikan jawaban, membuat diriku sempat panik. Namun, Uta dengan ekspresi tenang membuka mulutnya kembali.

"Dia ada di sana," jawabnya sambil menunjuk ke suatu tempat.

Aku dengan cepat mendorong beberapa orang dan semakin mempercepat langkah ini ketika mataku menangkap warna merah yang selama ini kucari. Petra sedang menggendong Atsa yang tidak sadarkan diri dan baru saja merebahkan tubuhnya perlahan pada sebuah kasur rawat. Pemandangan ini tidak hanya membuat hatiku hancur berkeping-keping, pikiranku pun tidak henti-henti mengumpat kasar membayangkan hal terburuk yang terjadi padanya.

Takut akan hal terburuk, aku berlari sekuat tenaga.



"Rian! Kemana saj—"

"Apa yang terjadi?!" potongku dengan nada yang cukup tinggi.

"Tenang dulu, Rian. Dia sebenarnya sudah kembali, tetapi masih belum sadar saja."

Keyla menjelaskan sambil menahan diriku agar tidak panik.

"Maksudmu ... dia belum sadar dari koneksi itu. Bagaimana bisa?" tanyaku.

"Dia sudah kembali, aku yakin itu dan sampai saat ini kondisinya pun masih stabil. Dia hanya seperti ... tertidur," jelas Keyla dengan ekspresi yang bingung.

"Tapi kuakui, ini aneh." Petra memulai.

"Apakah kalian berhasil?" tanya Petra.

"..." Aku hanya terdiam mencoba memahai semuanya.

Bahkan Zair maupun Eva menatap penuh bingung.

Kurasa tidak ada cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Apapun itu usaha yang kita lakukan di masa lalu, setidaknya itu tidak memakan nyawa seperti halnya ingatanku di beberapa kehidupan yang lain. Namun, pemikiran itu dengan cepat ditangkis dan kepalaku kembali menunduk menatap wajah Atsa dengan kerutan penuh pada dahi.

Wajahnya kini terlihat sangat tenang, bahkan tubuh yang bergerak naik-turun secara perlahan menyakinkanku bahwa ia kini hanya tertidur lelap, seperti yang dikatakan Keyla. Tetap tidak bisa dipungkiri ia belum tersadar semenjak koneksi—Tidak, itu tidak penting sekarang. Atsa harus keluar dari sini, ia butuh perawatan sekarang juga. Aku harus men—

"Halo Rian!" Sebuah suara wanita dewasa tiba-tiba terdengar dari dekat telinga.

"WAAA!"

Aku yang tidak mempersiapkan diriku pada kejutan ini pun refleks berteriak.

"AAAA! KENAPA?!"

Begitupun Petra yang juga terkejut mendengarkan teriakanku.

"Maaf membuatmu terkejut," jawab suara itu kembali.

Aku dengan cepat menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara.

"Perkenalkan aku Thalia, salah satu AI yang dibuat oleh Atsa."

Thalia, nama yang selama ini hanya keluar dari mulut Atsa, kini memperkenalkan diri.



"Ia memberimu akses terhadapku. Kau bisa tanya apapun yang kau mau, dan aku bisa melakukan apapun," jelas Thalia kembali.

"Apapun?" tanyaku.

"Ya apapun. Oh! Aku tidak bisa membuatmu berkelahi seperti Atsa. Kalau itu, kau harus melatih tubuhmu sendiri. Tidak boleh curang."

Entah karena ini AI yang ia buat, tetapi aku merasa caranya berbicara sangat mirip dengan Atsa.



"Ada apa Rian? Hei!" panggil Petra, yang kini menggoyang-goyangkan tubuhku.

"Atsa memberikan akses AI-nya kepadaku." Aku menjelaskan.

"Mengapa?" tanya Petra.

"Itu karena, untuk menghancurkan AI perlu dilakukan di lini waktu ini," jelas Thalia yang kini suaranya terdengar lebih nyata dibandingkan sebelumnya yang terasa seperti ditembakkan langsung ke dalam pikiranku.



"WAAA! SUARA APA ITU?" Petra kembali berteriak.

"Perkenalkan aku Thalia," jawabnya dengan singkat.

"Atsa mau menghancurkan AI? Tidakkah kalian akan ... hancur?"

Aku bertanya pada udara kosong karena tidak tahu kemana aku harus memberikan pertanyaan ini.

"Itu keputusan kami semua. Gion sudah melakukan bagiannya, dan kini giliaranku untuk melindungi kalian," jelasnya kembali.



"Kau tahu apa yang terjadi pada Atsa?" Aku bertanya kepada Thalia.

"Aku tidak memiliki fungsi untuk memeriksa kondisi tubuhnya." Ia menjawab dengan sangat tenang.

"Namun, sebelum aku kehilangan koneksi dengan Gion, dia mengatakan bahwa Atsa baik-baik saja. Kalian hanya perlu menunggunya terbangun."

Walaupun ia hanya sebatas suara tanpa sumber, aku merasakan bagaimana suara ini melembut agar memberiku ketenangan. Atsa baik-baik saja. Itu adalah kalimat yang sangat kutunggu hingga rasa lega benar-benar menghantamku jatuh menyerah pada tekanan gravitasi.



Thalia yang kini bersamaku, menunjukkan bagaimana bahayanya keadaan kami. Kami disergap, bahkan lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Berbagai hologram muncul di hadapanku. Tidak hanya menunjukkan peta lab setiap lantai, juga pergerakan penyerang kami melalui potret inframerah, dan yang paling mengerikan persenjataan yang mereka kenakan. Posisi kami yang sulit untuk ditembus membuat para penyerang kesulitan untuk menemukan tempat ini. Namun, berapa lama kita dapat aman di tempat ini?

"Aku sudah mengatakan ini sebelumnya padamu Rian, tetapi biar aku ingatkan kembali. Aku bisa melakukan apapun, kau hanya tinggal meminta," jelas Thalia kembali padaku.

"..." Aku terdiam memahami maksud dari penjelasannya.

"Mungkin bila aku mengatakannya seperti ini dapat membuatmu memahami maksudku."

"Seperti membantu Cheon untuk menghancurkan AI."

Ide Thalia menyadarkan diriku. Benar. Cheon sempat membagi rencananya kepadaku. Aku benar-benar membiarkan rasa takut membutakanku pada apa yang ada yang di depan mata. Setelah menarik napas dalam, aku dengan cepat menarik kepalaku menuju udara kosong.

"Thalia, apa kau bisa menunjukkan apa yang terjadi dengan Cheon saat ini?" tanyaku agak sedikit ragu dengan permintaanku.

"Mudah," jawabnya.



Lalu sebuah hologram lainnya muncul di hadapanku, membuat Zair, Uta, Petra dan Eva pun ikut terkejut melihatnya. Sebuah visi muncul dalam sepersekian detik memperlihatkan keadaan Cheon dan Shelva. Mereka berdua kini dikelilingi oleh orang-orang yang menodongkan senjatanya.

"Bagus. Bagus! Bagus sekali! Dengan semua informasi ini, kita bisa mengendalikan semua orang!"

Suara lantang dari Tuan Pemimpin menggema keluar dari visi di hadapanku. Membuatku menyadari bagaimana keadaan kini dengan cepat berpindah menjadi sangat menyeramkan.

"Hentikan Madda! Kau kira kita akan membiarkanmu!"

Cheon berteriak mencoba menantang Tuan Pemimpin, tetapi sekali lagi dihadang oleh orang-orang yang menodongkan senjata.



"Tunggu, apakah ini artinya kita sudah terlambat?" tanya Zair yang kini sudah dipenuhi oleh keringat dingin setelah menyadari seberapa gentingnya keadaan ini.

"Tidak. Benka sudah memindahkan semua akses AI kepada Madda dan Gion sudah membuka pengamanan kode utama. Ini seharusnya sudah sangat mudah untuk menghancurkannya dan Cheon tahu bagaimana caranya," jelas Thalia.

"Mereka terperangkap."

Eva akhirnya menyuarakan keraguannya.

"Tidak adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?"

Pertanyaan Uta terngiang-ngiang di dalam kepalaku.



"... konspirasi?"

"Jumlah yang besar akan selalu menakutkan."

Ide-ide menakutkan milik Fhou terputar cepat di kepala, seakan kami sedang berbagi pikiran. Konspirasi? Jumlah yang besar? Aku tidak tahu apakah ini memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu yang singkat. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Setelah menata berbagai informasi di dalam kepala, dengan cepat aku kembali menarik wajahku pada udara kosong.

"Thalia apakah kau bisa mendapatkan rekaman saat Tuan Pe—maksudku Madda Neirontza menyergap rumah Atsa?"

"Tentu mudah," jawab Thalia dengan cepat dan kembali memunculkan layar kecil dimana semua pertikaian itu terjadi.

"Untuk apa itu—"

Aku melihat bagaimana Uta dengan cepat menutup mulutnya saat melihat Atsa disuntikan Jaringan Obsc secara paksa oleh pengawal Madda. Petra pun tidak dapat menahan amarah melihat beberapa urat wajahnya yang menegang. Zair dan Eva pun menarik wajahnya menjauh dari visi itu. Aku menarik napas dalam menenangkan semua rasa kesal dan kembali membuka mulut.

"Lalu apa mungkin kau bisa mencari segala koneksi Madda dengan semua kasus IO yang tidak stabil?" tanyaku kembali.

"Lebih mudah lagi, karena itu sudah ada dalam memori."

Kurasa Atsa pernah memintanya atau mungkin menyiapkan untuk saat seperti ini.



"Kau punya ide, Rian?" tanya Petra yang kini menatap sama seriusnya dengan diriku.

"Kau ingat bagaimana Revolusioner menang dari dua kubu?"

Aku mengajukan pertanyaan ini kepada Petra.

"Propaganda!" Petra dengan cepat sudah menjawab dengan semangat yang sama denganku.

"Itulah mengapa aku membutuhkan bantuan kalian."

"Bisakah kalian membuat video konspirasi untuk ini?" pintaku, sambil melirik bergantian dari Uta kemudian Petra.

"Tentu saja," jawab Uta dengan pandangan tajam.

"Sangat mudah."

Petra dengan seluruh rasa percaya diri, tersenyum sangat lebar membalasku.

"Tujuannya adalah menyulut emosi banyak orang."

Aku menjelaskan yang kemudian dijawab dengan anggukan dari mereka berdua.



Tidak sepertiku yang hanya terbatas informasi yang kudapat dari beberapa koneksi dengan Fhou. Aku percaya Uta dan Petra memiliki kemampuan untuk mengolah informasi ini dengan baik. Dan aku membutuhkan itu untuk membantu Cheon.

"Apakah itu akan membantu?"

Eva kini menyuarakan rasa penasarannya.

"Sebenarnya ini hanya mengalihkan perhatian Madda, aku harap itu bisa memberikan sedikit waktu bagi Cheon untuk menghancurkan AI," jelasku.

"Bahkan lebih baik. Kita bisa membuat emosi semua orang terlempar kepadanya." Petra ikut menimpali.

"Selesai."

Uta selesai mengotak-atik alur informasi dengan memanfaatkan bantuan Thalia.



DUM!

Tepat ketika detik-detik awal video terputar pada layar kecil di hadapanku, sebuah suara keras terdengar dari arah luar. Kansha dan timnya kini bersiaga pada salah satu sisi ruangan dimana peneliti lain berkempul di sisi berlainan. Aku menerima informasi genting dari Thalia bahwa orang-orang yang menyerang kami kini sudah berada di bawah tanah. Sangat sadar misi ini tidak dapat kulakukan seorang diri, maka dengan cepat mataku beralih kepada Zair.

"Zair, ingat yang kau lakukan di gedung 178?"

Aku melempar tablet terdekat sambil memberikan tatapan tajam.

"Serahkan padaku!"

Ia menjawab dengan satu anggukan mantap.



BRAK!

Dalam satu hentakan keras, salah satu sisi ruangan terbuka dan beberapa orang beserta tembakan bertubi-tubi memenuhi ruangan ini. Baku tembak kini berlangsung sangat intens dengan dinding transparan di tengah perseturuan. Dimana tembakan dari lawan tertahan hologram sedangkan tembakan tim Kansha melewatinya tanpa halangan. Membuat pertarungan ini terlihat berat sebelah bila lawan tidak memiliki beberapa orang bertubuh kekar yang terus memukul-mukul hologram hingga mampu menggetarkan ruangan. Kuakui itu ide yang sangat luar biasa, Zair benar-benar memahami cara mengendalikannya. Aku tidak salah mempercayakan ini kepadanya.

Tidak hanya itu pemandangan menyeramkan lainnya terlihat pada sisi lain ruangan. Eva kini sedang mengisi peluru senapan laras panjang dengan satu hentakan cepat dan kembali menembak-nembak beberapa orang dengan jitu. Rambut pink coral yang bergelombang dari kedua kucir itu berkibar setiap kali tubuh kecilnya terhentak pada tembakan yang ia buat. Satu tembakan darinya mampu melumpuhkan satu orang bahkan lebih. Tidak perlu membandingkan kemampuannya dengan Zero.



"Rian." Thalia memanggil langsung ke dalam pikiranku.

Benar. Semua orang sedang berusaha. Aku tidak boleh lengah dengan semua pemandangan ini. Aku sekilas melihat Atsa yang tertidur lelap di tengah kekacauan, membuat kedua sisi mulutku tertarik. Bahkan di saat seperti ini Atsa masih tetaplah Atsa, perasaan ini membuatku kembali fokus. Aku menelusuri dengan cepat alur informasi yang dibuat oleh Uta dan Petra dalam video. Setelah merasa puas, kepalaku kembali mendongak ke udara kosong dan membuka mulut.

"Thalia! Siarkan video ini ke jaringan emergency!" perintahku.

"Baik."

Dia menjawab dengan nada tenang yang terngiang dalam pikiranku dimana sangat kontras dengan segala keributan yang terjadi di ruangan ini.



Setelah itu visi di hadapanku berjalan sangat cepat.

Aku melihat bagaimana layar berwarna merah muncul di hadapan setiap wajah manusia yang ada di ruangan ini, menghentikan segala kecauan yang terjadi dan memutar video yang telah kami buat. Pasang demi pasang mata bergetar panik melihat informasi yang kami kemas dengan buru-buru di dalam video itu.

Aku bahkan sempat melihat kondisi Cheon dari layar yang Thalia bagi. Dimana Madda Neirontza beserta beberapa orang penting—dan aku pun melihat orang yang paling kubenci di sana—melihat video itu dengan muka pucat. Bahkan beberapa orang yang sebelumnya mengarahkan senjata kepada Cheon dan Shelva kini melempar ragu pada orang-orang yang seharusnya menjadi tujuan loyalitas mereka. Dan di tengah ketegangan itu, Cheon dengan cepat berlari menuju panel-panel rumit dan menancapkan sesuatu di sana.

Lalu yang kuingat selanjutnya adalah cahaya yang menyilaukan kembali menyerang penglihatan.






Next: Sunshine

Photo on banner by Kristopher Allison on Unsplash.
Edit by Me.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro