29 |Havoc
| CHEON |
Pagi ini bagai memori lain yang sedang kuputar kembali di dalam pikiran. Aku tidak pernah percaya dapat merasakan semua memori ini kembali. Melihat wajah cantik Shelva saat membuka mata pertama kali adalah sesuatu yang dapat menghentikan napasku saat ini juga. Aku membiarkannya tertidur pulas dan menikmati pemandangan indah ini dengan senyuman lebar. Aku masih larut dalam perasaan memabukkan ini saat Shelva meringkuk mendekatkan dirinya kepadaku. Aku merentangkan tangan, memeluk tubuhnya, dan membiarkan kami berdua menikmati kehangatan tubuh satu sama lain.
Tepat ketika kami berdua turun menuju ruang makan untuk sarapan, aku melihat Atsa menyengir sangat lebar.
"Kenapa?"
Dia cukup terkejut ketika mendengar pertanyaanku.
"Tidak. Memangnya kenapa?" Atsa dengan cepat menjawab.
"Kenapa kau menyengir jelek seperti itu?" tanyaku.
"Aku ti—Hei! Aku tidak jelek!"
Itukah yang penting?
Aku menarik kursi untuk Shelva, kemudian duduk di sebelahnya. Gramp memberikan ekspresi yang sangat jauh berbeda dengan ekspresi yang diberikan Atsa.
"Uh. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini," gerutu Gramp sambil menyeruput kopinya.
"Aku tidak pernah tahu Gramp-ku tukang menggerutu!" teriak Atsa dengan ekspresi yang sangat menjengkelkan.
Aku menyeruput kopi panas dan menikmati kekacauan menggelikan di hadapanku. Kubiarkan otak merekam pemandangan dan semua perasaan yang membangun episode menyenangkan ini. Aku benar-benar berharap alur waktu dapat berhenti saat ini juga sehingga aku dapat hidup di momen ini selamanya. Momen yang selama ini kudamba akan ketenangan, kebahagian dan kenyamanan yang akhirnya datang menghampiri kami semua. Aku ingin, hidup seperti ini yang akan terus kutemukan di masa depan.
"Ada apa?"
Tangan lembutnya sudah menyentuh pundakku, aku membuka mata dan beralih kepada Shelva.
"Tidak ada. Hanya ... sangat nyaman sekali momen ini."
Aku kembali memandang Atsa dan Gramp yang sibuk menjahili satu sama lain.
"Maka dari itu, kau harus menikmatinya."
Aku kembali memandang wajah cantik yang sudah menyinggungkan senyuman manis padaku.
KRIIIIING!
Sebuah panggilan masuk ke jaringan rumah sehingga memaksa sebuah layar biru memenuhi pemandangan kami. Gramp menyentuh layar itu, lalu orang yang mencoba menghubungi kami kini memenuhi layar.
"DAD!" Atsa yang pertama memanggil.
"Atsa?! Kenapa kau masih di rumah?!" tanya Dad dengan matanya yang melotot sangat bulat melihat Atsa.
Benar juga. Apa anak ini tidak akan terlambat ke sekolah?
"Masih ada waktu, ko," jawabnya sambil menunjuk ke arah jam tangan.
"Tidak! Berangkat saat ini juga! Aku sudah menyuruh Rozan."
Aku bisa melihat Dad yang cukup panik mengetik hpnya di layar penuh ini.
"Aaaaah ... Dad ..." Atsa kemudian memelas.
"Sekarang!"
"Akh! Oke." Dia akhirnya menyerah.
"Aku berangkat," ucap Atsa yang lumayan jengkel, lalu pintu sudah menutup.
"Oke. Ada sesuatu yang penting sampai menyuruhnya pergi?"
Pertanyaan Gramp akhirnya meruntuhkan suasana hening ini.
"Apa? Tidak!"
"Kalian tidak tahu berapa kali Atsa hampir terlambat!"
"Dia seharusnya berangkat 15 menit yang lalu!"
"Kenapa kalian membiarkannya?"
Dan omelan Dad berlangsung terus menerus hingga membuat Gramp cukup jengkel dengan semua ini.
"Astaga Nova! Kalau kau punya banyak waktu untuk ini semua lebih baik kau bantu saja Hanza sana!" teriak Gramp yang cukup jengkel hingga membuat Dad akhirnya terdiam. Ekspresi wajahnya dengan cepat berubah menjadi lebih tegang.
"Yeah, Hanza sangat kewalahan sekarang. Rumah sakit saat ini sangat kacau," jelas Dad. Kalimatnya membuat tubuh kami bereaksi dengan cepat.
Dad adalah seorang dokter bedah yang menspesialisasikan dirinya pada transplantasi. Ya, begitulah bagaimana semua tentang AI ini dapat dihasilkan oleh keluarga kami. Mom seperti halnya Atsa dan Gramp adalah seorang programmer. Dan keluarga ini memiliki perusahan besar yang sudah berdiri bahkan semenjak Perang Dunia keempat. Perusahaan ini fokus pada penciptaan teknologi mutakhir dan terus mendorong dunia ini untuk terus berevolusi dalam kecepatan ekstrem, terutama setelah meledaknya bom nuklir. Semua orang mengenal kami dengan sebutan Agna Corp.
Cara untuk mengatur IO adalah sesuatu yang sudah ratusan tahun menjadi fokus utama Agna Corp. Hingga Dad menjadi bagian dari perusahaan ini dan Atsa dengan kemampuan yang mengerikan menyelesaikan semua ide ini.
"Apa sesuatu terjadi pada Mom?" tanyaku cukup panik.
"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di luar sana." Ekspresi Dad semakin gelap.
"Astaga." Shelva sudah menutup mulut saat ia mengecek tablet.
"Kami sudah menemukan cara untuk mengendalikan IO!" teriak seseorang yang sangat kami kenal, terdengar sangat lantang berasal dari tablet Shelva.
Itu adalah Madda.
"Mereka akhirnya mulai menyerang ya," ucap Gramp sambil menarik sebelah bibir. Di saat seperti ini aku bisa melihat bagaimana Atsa dan Gramp sangat mirip sekali.
"Mereka mengirimkan pesan," ucap Dad sambil kembali sibuk melihat hpnya. Tak lama sebuah pesan muncul tepat di sebelah layar.
'Memanggil perwakilan Agna Corp untuk membahas mengenai keberlangsungan pemanfaatan AI.' Begitulah penggalan kalimat di dalam pesan itu.
"Ha! Klise!"
"Hei, apakah ayahmu itu tidak memiliki imajinasi?" tanya Gramp melemparkan kalimat itu kepada Shelva.
"Tapi ini terlalu terang-terangan," gumam Shelva ragu.
"Itulah, apa yang dipikirkannya? Membuat Perang Dunia baru?"
Gramp berdecak sangat keras, benar-benar kesal pada semua hal yang terjadi.
"Cheon, aku dan ibumu tidak dapat meninggalkan rumah sakit saat ini, terlalu banyak orang yang meminta untuk mengganti implantansi IO akibat berita tersebut." Dad memulai.
"Aku harap kau dapat menemani Gramp," pinta Dad padaku, yang kubalas dengan anggukkan.
"Kau kira aku akan berbuat apa hingga perlu ditemani oleh cucuku."
Kami semua menatapnya tidak percaya. Justru semua kelakuan Atsa berasal darinya, itulah mengapa dia tidak boleh dibiarkan sendiri. Aku tidak mau membayangkan City Hall yang hancur lembur akibat amarahnya yang terlalu cepat tersulut.
"Hei Nova! Berhati-hatilah, jaga anakku!" perintah Gramp sebelum hubungan kami terputus dengan Dad.
"Ayo Cheon! Kau harus membiasakan dirimu dengan AI ini," ajak Gramp padaku.
Shelva sempat menarik lenganku ringan, aku dengan cepat berbalik. Mata Ruby itu menyala menatapku.
"Aku juga ingin membantu," bisiknya kepadaku.
"Tentu kau juga! Memangnya kita akan membiarkanmu duduk manis saja, Tuan Putri," ajak Gramp yang sudah lebih dulu berjalan menuju lab pribadinya.
***
Kini kami berdiri di tengah lab pribadi Gramp dimana setiap sudut lab dipenuhi oleh banyak sekali robot dengan berbagai macam bentuk, berbagai layar yang menunjukkan model-model robot canggih dan kaca-kaca transpran penuh dengan coretan. Sangat berbeda dengan lab tempat kami melakukan koneksi. Aku dapat melihat bagaimana orang-orang yang menghabiskan waktunya di sini memiliki pandangan yang luar biasa luas.
Bagaimana alur informasi mengalir dari coretan asal di sebuah kaca menjadi sebuah model 3D, kemudian menghasilkan berbagai iterasi prototipe yang terus dipoles hingga menghasilkan produk akhir yang luar biasa. Proses itu terekam pada setiap sudut lab hingga kau pasti akan sangat terkagum pada proses berpikir orang-orang yang bekerja di sini.
"Ada peraturan yang harus kalian berdua turuti."
Gramp berbalik dengan cepat melirik dariku kemudian kepada Shelva dengan ekspresi serius.
"Apa itu?" Shelva yang pertama kali membuka mulut.
Tangan Gramp dengan cepat menunjuk pada satu meja dimana terdapat banyak kertas lusuh.
"Jangan menyentuh meja Atsa!"
"Anak itu bisa tahu kalau barangnya bergerak satu senti saja."
"Dan omelannya bisa berlangsung hingga berjam-jam, katanya ada sedikit Beethoven atau Lupin[1], apalah itu," oceh Gramp, yang dengan cepat sudah berbalik.
"..." Kami berdua masih terdiam menunggu kalimat lain dari Gramp.
"Hanya itu?" tanyaku.
"Yup! Hanya itu," jawabnya santai.
Lihat bagaimana kini aku harus berhadapan dengan Atsa-lanjut-usia.
"Tapi Gramp apa ini semua? Maksudku robot ini? Apakah ini—"
"Ah! Ini? Semua ini hanya mainanku dan Atsa. Aku harus membongkar beberapa, sepertinya sudah terlalu penuh di sini," jawabnya sambil menggaruk kepala yang pasti tidak gatal.
"Wow. Mainan," bisik Shelva dengan nada kagum.
BRAK!
Dalam satu sapuan, Gramp sudah menjatuhkan seluruh barang yang ada pada meja besar tepat di tengah ruangan. Tidak mengindahkan sedikitpun barang-barang yang terjatuh pada satu sisi meja ini.
"Shelva!" panggil Gramp.
"Ya!" jawabnya, kaget pada suara Gramp yang terlalu lantang di ruangan yang sepi ini.
"Kau hafal bagaimana cara ayahmu bekerja, kan?"
Memahami maksud dari pertanyaan itu, membuatnya menatap Gramp dengan mantap yang kemudian diikuti oleh anggukkan sekali dengan penuh tekad.
"Apa yang akan dia serang?" tanya Gramp.
"Bila ini adalah rencananya, kali ini tindakannya terlalu terang-terangan. Tidak seperti biasanya," jawabnya sangat meragukan semua ini.
"Tapi pasti ada sesuatu, benar?" tanyaku, membantunya mencari kemungkinan yang masih belum pasti.
"Mungkin ... hm." Shelva berpikir cukup keras.
"Kalau ini tentang IO, mungkin mereka akan meyakinkan semua orang mengenai keamanannya."
"Hanya untuk menanam keresahan mengenai fungsi AI."
"Kalau seperti itu bukankah hasil akhirnya cukup dengan memusnahkan AI saja," potong Gramp.
"Tidak, jika dia memanipulasi opini yang berputar di tengah diskusi. Hasilnya bisa jadi berbeda."
Shelva kini memandang sesuatu yang jauh, dan sepertinya sedikit memahami rencana Madda.
"Entahlah aku masih meragukan semua itu," ucap Gramp ragu.
"Lalu apa yang kita lakukan? Menekan keresahan mereka pada AI?" lanjut Gramp.
"Jadi kita hanya perlu memusnahkan AI saja. Kurasa itu pilihan yang paling masuk akal dibandingkan membiarkan mereka semua menguasai ini," usul Gramp.
"Kurasa itu ide buruk, Gramp. Tanpa AI mereka dapat secara terang-terangan mengatur siapapun." Aku dengan cepat menimpali.
"..." Ada keheningan sebentar sebelum Shelva akhirnya membuka mulut.
"Mereka pasti akan membuat Agna sangat mencurigakan setelah pertemuan itu." Shelva memulai.
"Tapi, sebenarnya kita cukup membuat semua orang curiga pada segala hal," jelas Shelva.
"Hahaha."
Seakan paham pada ide yang diberikan oleh Shelva, tawa Gramp pecah di tengah lab sunyi.
"Benar! Pandangan curiga dari semua orang seharusnya tidak hanya tertuju pada kita, tetapi pada mereka juga. Aku suka ide ini!"
"Tapi bagaimana kita mengarahkan pembicaraan itu?" tanyaku.
"Akan aku ajari."
Shelva kemudian tersenyum membalas pertanyaanku.
***
[1] Pada percakan ini Benka seharusnya menyebut Chopin bukan Lupin, karena dia tidak hafal dengan komposer musik klasik, maka dia asal menyebut nama itu.
Next: Tenacious
Photo on banner by Kristopher Allison on Unsplash.
Edit by Me.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro