Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 |Dream




Aku berdiri menghadap pintu coklat, menggenggamnya dengan erat sambil menghela napas panjang.

"Selamat datang. Haruskah kau melakukan itu setiap kali akan masuk ke rumah sendiri? Memang kuakui ini terlihat seperti neraka." Gion menyambut dengan mulut—seperti katanya—sepanas neraka.

"Mau di sekolah atau di rumah kadang berat," keluhku.

"Aku tidak peduli. Kau mau makan atau mandi dulu?" tanya Gion.

"Makan, eh ... mandi!"

"Oke, aku akan menyiapkan air herbal untukmu."

Kemudian visualisasinya menghilang dan beberapa bunyi-bunyian mulai terdengar dari lantai dua.

"Dia sibuk sekali."



Gion adalah sebuah AI, artificial intelligence, aku dan kakek dulu yang membuatnya. Dia adalah dasar dari AI yang dipasang pada setiap tubuh manusia untuk menyempurkan IO. IO itu apa? Akan ada orang yang menjelaskannya karena itu panjang sekali dan aku sudah sangat lelah untuk memberi penjelasan, untuk siapa juga aku berbicara seperti ini.

Meskipun AI yang beredar di publik tidak seaktif ini, tetapi tenang saja, mereka masih memiliki fungsi utama yang sama. Hanya saja Gion ini adalah AI yang dibuat khusus untukku, untuk mengurus keseharianku. Kasian sekali dia.



***

Setelah berendam dalam air herbal, aku kemudian turun untuk menyantap sup hangat dan beberapa rebusan sayuran lain. Dan ada irisan ayam hari ini, hm?

"Pasti ada sesuatu sampai kau menyiapkan ayam hari ini," sahutku melempar pertanyaan kepada Gion.

"Tidak ada, hanya memberikan nutrisi lebih pada tubuhmu," jawabnya tanpa memvisualisasikan dirinya.

"Ayo, sini duduk depan sini dan ceritakan keluhanmu!" ajakku sambil menepuk-nepuk meja yang kosong.



Kemudian Gion muncul dalam bentuk laki-laki seumuran denganku bermata hitam, rambut hitam lurus dan wajah tirus.

"Harusnya itu bagianku untuk bertanya," jawabnya dengan ekspresi yang cemberut.

"Kenapa? Kau penasaran denganku? Haaa ... paling kau sudah bosan dengan semua keluhan ini. Pelajaran yang membosankan, kurang waktu di ruang musik, orang tua dan kakek yang semakin jarang berkunjung," jelasku.

"Masih berkutat dengan hal-hal seperti itu," jawabku sambil memutar-mutarkan sendok.

"Jangan main-main nanti tumpah. Hei!" teriak Gion.

"Kau bahkan lebih galak dari Mom," gerutuku.

"Oh!"

"Jangan-jangan ada yang malfungsi?" tanyaku sambil menyondongkan badan ke depan.

"Aku baik-baik saja, justru kau yang bermasalah, ada apa denganmu?" jawabnya kesal.

"Aku kenapa? Aku biasa saja, mungkin lebih banyak bos—"

"Bukan itu! Tadi pagi seluruh tubuhmu menunjukkan reaksi tinggi. Apakah IO-mu melewati batas?" tanya Gion yang cukup serius memandangku.



Seketika itu aku teringat mimpi semalam.

"Itu bukan karena IO, aku hanya mimpi buruk. Lagi pula IO tidak akan memberikan reaksi tinggi justru kebalikannya dia akan membuat tubuh menjadi lemah," jelasku.

"Apa jangan-jangan kamu tidak sengaja menghapus pengetahuanmu tentang IO? Sini aku bantu download!" ajakku.

"Bukan itu! Aku hanya mengira mungkin ada reaksi lain dari IO yang tidak stabil," jelasnya mencemaskanku.

Inilah bedanya dia dengan AI lain, kecerdasannya terus berkembang.


"Jangan bodoh, kamu seharusnya lebih pintar dari aku. Tidak ada reaksi lain tau!"

"Diamlah!" Bisa-bisanya dia berkata balik kepadaku.



Setelah menghabiskan beberapa waktu saling melempar-lempar sindiran, lebih banyak kata kasar. Aku akhirnya menghempaskan badan ke kasur.

"Lelah sekali," keluhku.

Aku kemudian memosisikan badan tepat di tengah kasur besar, menutup seluruh badan dengan selimut tebal dan memenuhi telinga dengan headset. Aku yang merasa cukup puas dapat tidur dengan perut kenyang dan badan yang lelah, tidak lama pun kehilangan kesadaran.



***

Memang yang namanya tidur rasanya seperti hanya berlalu beberapa detik, tetapi badanmu tidak akan berbohong. Rasa nyaman ketika kau terbangun memang sangat menyenangkan, terutama jika momen ini dapat dilanjutkan kembali. Sayangnya itu semua tidak sebanding dengan dampak yang akan aku dapatkan. So, ayo bangun! Sambil duduk, aku meregangkan tangan dan otot-otot.

"Hmmmm ..." geramku.



Lalu wangi kayu manis bakar menyerang hidung. Mataku terbuka lebar dan menoleh ke kanan dan kiri. Seketika semua terasa memusingkan, entah mengapa pikiranku tidak dapat melontarkan pertanyaan 'Dimana aku?' karena pemandangan ini tidak terasa asing.

Tirai-tirai kayu yang berayun dan sinar yang merambat masuk dari sela-sela menjadi pemandangan di ruangan ini. Aku yang penasaran dengan sinar menyilaukan itu kemudian keluar dari kasur dan mendekati ... hmm? Jendela? Atau pintu geser? Aku tidak tahu yang mana, karena ini bentuk yang cukup asing. Aku meraihnya dan menggeser dengan canggung, pintu atau jendela itu sedikit. Kemudian mendapati wajahku dibanjiri dengan cahaya menyilaukan yang hangat. Sebagian diriku berteriak dan membiarkan perasaan ini mendominasi.

Air mataku berlinang ketika cahaya matahari membanjiri tubuh. Anehnya, ini seperti pertama kali, tetapi di saat yang sama bukan pertama kalinya aku merasakan perasaan ini. Semuanya sangat membinggungkan, ini seperti bukan diriku, tetapi di saat yang sama juga ini adalah diriku.



Aku mendengar beberapa suara berisik dari arah lain di luar ruangan. Merasa sedikit terancam, aku melangkah keluar dari ruangan dan menelurusi lorong kayu terbuka di tengah hamparan luas, hanya lantai dan kanopi berbahan kayu. Menelusuri lorong ini bagaikan berada dalam lorong penuh dengan hologram ilusi yang menampakkan berbagai pemandangan pada setiap sisi. Aku mendapatkan taman dengan berbagai macam bunga yang keindahannya menyihir mata akibat bantuan sinar matahari. Lalu dengan cepat pemandangan berubah menjadi sebuah kolam megah dimana air jernihnya mampu menonjolkan warna-warna indah dari makhluk yang sedang menari gemulai di dalamnya.

Sempat terpana dengan semua pemandangan itu, tetapi suara bisikan dari berbagai arah membuatku memaksakan kesadaranku untuk kembali menapak ke bumi.



Merasa semakin terancam, aku kemudian memutuskan untuk keluar dari lorong dan menjelajah taman sambil bersembunyi di antara semak. Berharap mendapatkan jalan keluar, aku menemukan diriku menghadap sebuah tembok dengan tinggi sekitar dua meter. Menelusuri tembok ini hingga menemukan pintu keluar akan memakan waktu dan kemungkinan diriku tertangkap pasti lebih besar.

Maka aku dihadapkan pada satu pilihan, yaitu meloncatinya.

Beruntungnya, aku menemukan batu setinggi denganku yang dapat digunakan sebagai batu loncatan. Aku menarik gaun tidur setinggi lutut lalu memulai dengan ancang-ancang. Kemudian berlari ke arah batu dan menampakkan kaki kanan padanya. Aku mendorong seluruh beban tubuh ke arah tembok dan dengan perkiraan yang cukup abal, menampakkan kaki kiri tepat di atasnya. Dengan gaya yang tersisa, aku menghempaskan badan menuruni tembok dan mendarat dengan kedua kaki.



Seketika itu otot-otot kakiku menggeram, seperti pertama kalinya melakukan hal ini. Tidak masuk akal, tetapi juga masuk akal di saat yang bersamaan. Perasaan seperti ini muncul lagi. Aku kemudian berdiam diri sambil menahan semua rasa sakit. Namun, sayangnya kesempatan ini tidak dapat bertahan lama.

"Dia meloncati tembok ini!" teriak seseorang dari balik tembok.

Aku sangat geram karena badanku masih cukup sakit akibat loncatan tadi, tetapi aku harus cepat-cepat menjauh dari tempat ini. Sambil menahan rasa sakit, aku memaksa tubuh berlari. Aku baru menyadari bahwa aku berlari tanpa menggunakan alas kaki apapun, sehingga aku pun harus menahan rasa sakit tambahan akibat berlari di aspal panas.



Setelah berlari cukup jauh tanpa arah, aku menemukan diriku berada di perkotaan yang ramai. Bising kendaraan serta banyaknya orang di sini sedikit membuatku kagum. Perasaan aneh ini muncul lagi. Dan karena perasaan ini aku baru menyadari ada beberapa laki-laki dengan badan yang cukup besar, menggunakan pakaian serba hitam, menunjuk-nunjuk ke arahku dan mulai mengikuti dari belakang. Aku kembali berlari, mendorong-dorong kerumunan dan kadang berlari melawan arus.

Beberapa orang menatapku heran. Well, aku pun tidak menyalahkan, memang semua ini cukup aneh. Dan tiba-tiba suatu pertanyaan mengetuk pikiran.

'Kenapa harus lari dari mereka?'

Anehnya pertanyaan itu membuat tubuhku kaku. Kenapa? Aku pun tidak tahu. Namun, aku harus lari. Kenapa? Aku tidak tahu, aku tidak bisa berpikir sama sekali.

"Itu dia," teriak salah satu laki-laki yang mengejarku.

Aku melirik ke belakang dan menyadari jarak di antara aku dengan mereka mulai memendek. Dengan perasaan panik, aku melirik sekitar dan melihat gang sempit lalu memutuskan untuk berlari ke arah sana.



Gerombolan laki-laki berbaju hitam pun mengikutiku masuk ke dalam gang. Tidak jauh, aku melihat pagar besi yang menghalangi satu-satunya jalan. Aku pun mendengar tawa kecil datang dari orang-orang yang mengejar di belakang. Sayangnya, hal ini tidak membuat diriku putus asa, karena kepercayaanku bahkan lebih tinggi dibandingkan pagar itu.

Aku kemudian mempercepat lariku dan menaiki kardus kemudian tempat sampah yang ada di sebelah kiri gang dalam tempo yang cepat. Lalu tanpa sedikitpun mengurangi momentum ini, aku mendorong tubuh ke kanan. Tanganku meraih tangga di kanan gang yang aku gunakan sebagai pegangan untuk berayun. Dengan lincah aku mengayunkan badan ke depan dan belakang lalu dengan waktu yang tepat serta menyerahkan sisanya pada gravitasi, aku melompat. Selang beberapa detik tubuhku sudah berdiri melewati pagar tanpa masalah, dengan kembali mendaratkan diriku pada kedua kaki.

"Argh!" geramku sambil menahan sakit akibat otot-otot yang berteriak.

Tanpa menoleh kebelakang aku berlari kembali.



Aku keluar dari gang dan menemukan jalanan besar yang pemandangannya sangat berlawanan dengan jalan sebelumnya. Sedikit sekali orang yang melewati jalanan ini. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk menentukan kemana aku harus berlari. Cukup penuh pikiran ini dalam menentukan rute pelarian selanjutnya hingga ...

... badanku kembali membeku. Hanya karena melihat sebuah bayangan yang terpantul di cermin sebuah toko perhiasan.



Sensasi ngeri mendominasi tubuh saat pandanganku menangkap bayangan itu. Aku menemukan sebuah bayangan wanita dengan rambut lurus hitam dan mata biru yang memiliki ekspresi yang cukup letih serta lusuh. Wanita itu cukup berantakan dari rambut serta gaun tidur putihnya yang sangat kusut tanpa menggunakan alas kaki sama sekali. Wajahnya yang tirus menunjukkan perawakannya sebagai wanita yang cukup serius.

Dan yang sangat menakutkan adalah matanya yang menangkap mataku, atau aku yang menangkap pandangannya. Kemudian sebuah pernyataan terlontar di pikiran.

'Ini bukan aku,' cukup membuatku sangat panik.



Aku menjauh dari bayangan yang menunjukkan ekspresi terkejut itu. Dimana tanpa aku sadari seseorang menarik tanganku.

"Hati-hati!"

Kemudian badanku ditarik masuk dalam dekapannya dan aku mendengar derung mesin kencang diikuti bunyi klakson dekat sekali dengan tempatku berdiri.

"Kau baik-baik saja? Kau hampir tertabrak tadi," jelas orang yang mendekapku itu.

Aku menoleh ke atas untuk melihat wajahnya. Namun, sayang wajah itu tertutupi oleh bayangan karena cahaya matahari di belakangnya tepat jatuh mengenai mataku. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk mendapatkan wajah jelasnya. Dan hal pertama yang aku dapat adalah mata coklat yang terlihat sangat lembut.



***

Aku menarik tubuh dengan keringat yang membanjiri. Kemudian berlari menuju kamar mandi dan menghadapkan wajah ke depan cermin. Di sana wajah yang sangat kukenal terpantul dalam bayangan cermin. Wajah seorang gadis memandangku balik dengan ekspresi yang panik dan rambut merah yang cukup berantakan serta mata abu yang lelah.

"Mimpi! Hanya mimpi," ucapku menenangkan jantung yang berdebar cukup kencang. Aku kemudian mencuci wajah dan kembali ke kamar.

"Yakin itu bukan karena IO-mu?" tanya Gion yang tiba-tiba menampakkan dirinya di kamar.

"Tidak. Aku hanya bermimpi," jawabku sambil kembali ke tempat tidur.

"Lagi?"

Iya, itu pertanyaan bagus, 'lagi'? Aku bahkan tidak punya jawaban untuk itu.



Dengan tubuh yang sudah cukup tenang dan stabil, aku menoleh ke arah jendela, teringat akan suatu hal penting yang kutemukan dalam mimpi.

"Jam berapa sekarang? Apa sudah pagi?" tanyaku pada Gion.

"Jam berapa? Tentu sudah pagi, sudah saatnya kau bersiap ke sekolah," jawabnya dengan nada heran.



Aku membuka jendela dan mendapatkan langit yang mungkin tidak dapat dibedakan apakah masih gelap atau sudah terang, kuakui langitnya terasa sedikit memiliki warna yang agak cerah. Aku kemudian mengangkat tinggi tanganku seperti menggapai sesuatu di langit.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Gion.

Dengan pedih aku menjawab, "Aku tahu bagaimana indahnya sinar matahari."






Next: Cloudy

Photo on banner by Hugo Jehanne on Unsplash.
Edit by Me.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro