Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 |Rigorous


| ATSA |

"Tiiiit ... tiiiiit ... tiiiiit ...."

Bau antiseptik memenuhi hidung dan memaksa mataku terbuka akibat pusing yang tiba-tiba menyerang. Aku meraih controller pada bagian kiri kasur dan menyentuh tombol pengharum ruangan untuk menghilangkan bau menyesakkan ini. Dengan tubuh yang tidak dapat tertidur lagi, aku menemukan diriku menatap langit-langit ruangan.

Tubuh ini berada dalam keadaan kritis setelah kejadian itu, bahkan dokter harus menggunakan defibrillator untuk mengembalikan detak jantung yang sempat membentuk garis horizontal. Meski tubuh ini tidak mendapatkan luka tembak seperti yang dialami Ryuka, tetapi otak berkata lain. Ia menerima impuls itu dengan nyata hingga membuat seluruh tubuh ini bereaksi. Menyeramkan bagaimana trauma mental dapat membunuh sama kejamnya dengan tembakan senjata. Aku jatuh dalam koma selama dua minggu dan masih dalam perawatan intens di rumah sakit hingga saat ini.



Sudah satu bulan berlalu. Selama itu aku berada di tempat ini hingga membuat seluruh jiwaku meresap nuansa yang dihasilkan rumah sakit, yaitu kehampaan. Apakah ini semua terjadi karena aku tahu ada bayi yang ditinggalkan ibunya. Atau akibat semua rasa sakit yang mampu membuatku selamanya meninggalkan dunia ini. Atau ini mengenai aku yang merasakan langsung bagaimana rasanya seseorang menghilang dari dunia, tetapi dengan curangnya masih bernapas di sini. Atau karena ini Ryuka yang pergi.

Atau aku yang tahu semua ini akan terjadi, tetapi tidak melakukan apapun.

Mungkin karena semua alasan itu.

Setelah malam itu, aku tidak bermimpi lagi menjadi Ryuka. Sudah jelas apa yang selanjutnya terjadi. Itu akhir dari hidup Ryuka dan ...

dia berakhir di tangan Fhou.



Aku sadar, bila mencoba, pikiran ini pasti bisa memecahkan masalah itu. Namun, semangatku lenyap di kedalaman rasa bersalah yang pekat. Beban kematiannya menarik kesadaranku hingga titik terendah. Titik dimana sudah sangat terlambat untuk bangkit, karena kini momentumku sudah hilang. Maka aku membiarkan masalah yang tidak terpecahkan ini di belakang kepala, dan memutuskan untuk mengubur segala hal tentang Ryuka pada masa lalu.



***

Aku kembali bersekolah dan hari-hari bergulir tanpa bisa kuhentikan, seakan lintasannya sangat mulus tanpa hambatan. Pengawasan penuh diberikan oleh orang tuaku, akan ada yang mengantar dan menjemputku di sekolah. Merupakan penawaran bagus bagi diriku yang pemalas ini.

Dan kini sudah lebih dari dua bulan aku kembali bersekolah yang masih saja sibuk melakukan berbagai check-up mengenai kondisi tubuhku. Meski tidak ada lagi 'pengawas' yang menjaga selama di sekolah, aku kini menyadari hal terburuk. Instingku masih terus berteriak pada sorotan transparan yang selama ini selalu menghantui, walaupun seharusnya sudah tidak ada lagi yang memfokuskan dirinya padaku. Seseorang masih menjaga pandangannya padaku, meski tanpa tahu apa yang mereka mau. Kubiarkan mereka, selama tidak ada ancaman nyata.



Aku sedang berjalan di lorong sepi saat mendengar sepasang kaki yang berbunyi beriringan denganku, dimana semakin lama semakin terdengar keras di belakangku. Aku mempercepat langkah, memaksa seluruh tubuh ini bergerak agar dapat terbebas dari siapapun itu. Namun, secepat apapun aku, suara langkah ini semakin lama semakin terdengar keras.

Sedikit lagi!

Ketika langkahku akhirnya menyentuh pekarangan luas di pintu utama sekolah, aku merasakan tangan besar menyambar tangan kananku. Sebuah tarikan kuat memaksaku berbalik menghadap orang itu.

"Hah!"

Aku melihat wajah Kakak Senior yang itu, entahlah aku lupa dengan namanya. Napasnya terengah-engah dan ada setitik keringat yang mengucur dari pelipisnya. Mata Citrine itu membelalak menatapku seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Rambut gelapnya yang sedikit bergelombang menyatu-nyatu pada bagian dahi dan pelipis akibat terkena keringat.

"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kau harus berlari seperti itu?" teriaknya, sedikit memarahiku.

"Bukan salahku, itu adalah refleks karena kau mengikutiku."

Setelah mengatur napas kembali, aku mengeluarkan semua keluhan padanya.

"Aku tidak—"

Aku melihat matanya sempat bergetar panik, kemudian alisnya kembali menekuk tajam, menancapkan pandangannya kepadaku.

"Tunggu, ada yang mengikutimu?"

Akibat ucapannya itu sekarang aku melihat beberapa staf sekolah yang berada pada tempat yang mencurigakan. Bagaimana bisa aku melewatkan hal ini, bahkan mereka terlihat sangat jelas seperti ini. Setelah menemukan beberapa orang mencurigakan itu, aku kemudian mendekatkan wajahku kepadanya dan berbisik cukup pelan.

"Ada dua orang. Satu di belakangmu bersender di tiang, satu lagi di sebelah kiriku sedang berbicara dengan murid perempuan yang memakai tas merah." Aku menerima tanggapan dari gerakan tubuhnya yang tiba-tiba menengang mendengar penjelasanku.

"Lebih baik kita ke kantor pol—"

Sebelum aku menyelesaikan kalimat itu, ia kembali menarik tangan kananku, yang ternyata selama ini tidak dilepas olehnya.



Dia menarikku keluar dari sekolah, kemudian berbelok cepat ke kiri. Kukira ia akan menarikku ke tempat pemberhentian bis, tetapi kami hanya berlari melewatinya saja. Sejujurnya aku sama sekali tidak suka dengan keadaan ini, karena sekarang ada beberapa orang yang terang-terangan mengejar kami berdua.

"Tunggu!"

"Kita mau kemana?"

"Hei!"

Sudah beberapa sahutan berlalu tanpa sedikitpun ia sambut dan hanya fokus berbelok-belok dengan cepat menjelajahi distrik ini. Dia seakan sangat hafal dengan rute yang ia ambil, dimana membuat pelarian ini menjadi sebuah ide buruk.

"Hei! Kakak Se-"

"Rian! Sudah berapa kali kubilang ini, Rian!"

"Oke, Rian! Mau kemana—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat itu, kepalanya sempat melirik cepat ke arah kiri. Aku yang sangat percaya pada kemampuanku kemudian merangkul lengan kirinya dengan cepat. Di saat ia masih cukup terkejut dengan apa yang terjadi, aku kemudian mendorong dan menyerahkan semuanya pada gaya dorong, hingga membuat kami berdua berbelok ke kanan. Yang awalnya aku ditarik-tarik olehnya, sekarang aku sudah mengambil alih dan menariknya mengikuti ruteku.

"Hei tunggu—"

"Hush diam!"

Aku dengan cepat memotong omongannya.

Kemudian, "Thalia! Cari rute untuk kabur dari orang-orang ini!" perintahku pada Thalia.

"Berlari sejauh 9 meter kedepan lalu berbelok ke kiri. Setelah itu langsung ke kanan dengan tajam, jangan bersuara dan cukup diam saja di sana. Aku akan membantu mengecoh mereka."

Tanpa menunggu sedetikpun Thalia memberikan solusi padaku.

"Thanks Thalia."

"Ayo!" ajakku.



Kami berlari sesuai arahan Thalia dan ketika kami berbelok kanan dengan tajam, aku melihat sedikit ruang di sini untuk kami bersembunyi. Setelah dapat mengatur napas kembali, aku melihat dua orang yang berlari cepat melewati tempat kami bersembunyi. Kemudian tak lama suasana sudah kembali hening. Gion bukan satu-satu AI yang kubuat, Thalia adalah generasi kedua dari AI yang kubuat setelahnya. Karena Gion sangat fokus pada kedaan di dalam tubuh, maka Thalia adalah AI yang sensitif pada keadaan di luar tubuhku. Dia sangat kompeten dalam hal proteksi dan inilah alasan mengapa aku tidak lagi membutuhkan 'bodyguard'.

"Mereka sudah berada 18 meter dari sini."

"Hah ..."

Kami berdua menghela nafas panjang seakan sudah menahannya selama ini.

"Hei kau, apa yang—"

"Ini Atsa, oke. Bukan 'kau'. Lagian kau mau membawa kita kemana sih?"

Aku cukup frustasi menanyakan pertanyaan ini berkali-kali padanya. Kami berdua saling menatap dengan tajam, lalu dia berkaca pinggang dan mendesah panjang.

"Aku tahu tempat aman dari mereka."

Tidakkah kalimat itu membuatnya sangat mencurigakan. Apa yang membuatnya yakin bahwa aku akan mengikutinya menuju 'tempat aman' itu, ketika ia sangat tahu siapa yang mengejar kami. Meski begitu, aku menemukan diriku tidak bisa mencurigainya. Aku kemudian membuka mulut.

"Ya, dan di saat kita akan aman di sana. Kau juga menuntun mereka ke tempat dimana kita berdua sedang bersembunyi. Begitu?"

Aku melihat tangannya mengepal dengan kuat setelah mendengar penjelasanku.

"Aku tahu kau panik, dan tidak ada hal baik yang terjadi apabila kau panik. Di saat seperti itu kau harus mencoba tenang terlebih dahulu ... Rian."

Ada sedikit rasa canggung saat menggunakan nama asing itu. Aku dengan cepat membuang wajahku darinya.

"Aku akan mengawasi mereka melalui Thalia, dia dapat mengecoh mereka hingga dermaga 07."

Aku mengutarakan ideku tanpa sedikitpun menoleh kepadanya.



***

Kami berdua sampai pada sebuah toko artefak kuno yang menjual berbagai peralatan dan artefak dari masa lalu. Waktu berjalan berbeda di dalam toko ini, seakan berhenti pada angka tertentu. Aku sempat melihat sekilas beberapa artefak yang terpajang, beberapa ada yang sudah berkarat, terkelupas, tergores, maupun retak pada beberapa bagian. Ada memori kuat yang tersimpan pada setiap kecacatan itu. Seakan sebuah halimun tipis melapisi setiap artefak, membalut mereka dengan ceritanya masing-masing, bila kau memperhatikannya dengan teliti. Suasana yang dihasilkan toko ini membuat dirimu terombang-ambing pada perasaan yang sangat melankoli, antara kerinduan, kebencian, sedih bahkan bahagia. Untung penjaga toko tidak menambah kesuraman pada suasana di dalam sini.

Penjaga tokonya adalah sebuah robot anjing yang menggunakan topi dan dasi kupu-kupu pada lehernya. Rian, ugh aku masih canggung memanggil nama itu, memberikan semacam kode kepada penjaga toko yang kemudian mempersilakan kami berdua untuk masuk ke bilik di belakang meja kasir. Aku sempat melambaikan tangan kepadanya sebelum menghilang di bilik bersama Rian. Selanjutnya kami melalui berbagai macam lorong dan tangga, naik dan turun. Hingga tak lama, Rian membuka pintu besi besar dan menemukan cahaya putih yang membutakan mata di baliknya.

Ini adalah sebuah laboratorium. Hampir mirip dengan lab milik Gramp, haruskah aku mengingatkan diriku bahwa semua lab memang terlihat seperti ini. Lab ini bertolak belakang dengan toko artefak sebelumnya. Waktu seakan maju sangat cepat di tempat ini dengan beberapa orang berjas putih mondar-mandir keluar masuk ruangan sambil membawa tablet. Terdapat beberapa bagian dengan kaca transparan yang menampakkan segala hal yang dikerjakan orang-orang ini, seakan tidak ada hal yang ditutupi di dalam lab ini. Kode dan data menjadi penampilan yang kulihat pada setiap komputer yang ada di sini. Beberapa peneliti bahkan berdiskusi dengan hebat pada sebuah repetisi potongan gambar hidup seseorang dalam bentuk hologram 3D.

Lab ini cukup luas, kami berdua kini menjelajahi labirin kaca rumit dan berjalan semakin dalam. Akhirnya kami masuk ke dalam sebuah ruangan besar dimana terdapat banyak sekali kapsul seukuran manusia lengkap dengan berbagai kabel yang menancap dari lantai hingga dinding ruangan. Semua pemandangan ini seakan berteriak untuk—



DRAP!

Refleksku bekerja dengan instan beralih ke asal suara. Dan kini menemukan seorang pria, mungkin sekitar 25 tahun, yang menatapku tidak percaya. Pria itu memiliki rambut berwarna maroon bahkan lebih gelap beberapa warna dan memiliki mata berwarna pucat. Kacamata kotak itu membuatku sulit mendapatkan detail warna matanya dan ia menggunakan jas putih panjang seperti halnya beberapa peneliti di sini. Dan tergantung di saku kiri sebuah tanda pengenal dengan tulisan 'Cheon'. Sesuatu tentang dirinya mengingatkanku pada sesuatu, meski aku tidak tahu apa.

"A-apa ... Apa yang kau ... lakukan Rian ..."

"Katanya dia sedang diikuti."

Rian sudah memotong sebelum laki-laki bernama Cheon melanjutkan kalimatnya.

"Kau diikuti seseorang? Kau liat siapa yang mengikutimu?"

Cheon meraih kedua bahuku dan menggenggamnya cukup kuat sambil menatapku dengan mata yang bergetar akibat panik. Aku bisa melihatnya sekarang, matanya yang pucat memiliki sedikit warna biru.

Aku dengan cepat mendorongnya menjauh dan melepaskan genggaman yang meresahkan itu dariku.

"Siapa kalian? Apa ini semua? Itu seharusnya hal pertama yang kalian berikan padaku," tagihku pada keadaan yang aneh ini.



***

Kami kini berada di sebuah ruangan kantor dengan meja dan sofa untuk menjamu tamu serta di belakangnya terdapat meja kerja seseorang. Semua ini terasa canggung. Maksudku, apa yang perlu dibahas dengan serius dengan anak sekolah sepertiku sehingga aku diperlakukan seperti partner bisnisnya. Ketika minuman hangat sudah dihidangkan, aku dengan cepat memulai.

"Lab apa ini?"

Karena sejujurnya dengan akses seperti Thalia, dia bahkan tidak bisa mengetahui nama lab ini. Sangat mencurigakan.

"Hhhhhh ..."

Cheon menghela napas cukup panjang sebelum memulai penjelasan.



"Kami juga kembali ke masa lalu, sama sepertimu ..."

Badanku bereaksi mendengar penjelasan itu.

"... Apa maksudnya itu?"

"Kami tahu kau kembali ke masa tepat saat Perang Dunia ke empat, Atsa. Kami medeteksi energi astral—"

"Jadi kalian yang membuatku seperti ini?" potongku.

"Tidak mungkin. Hanya orang-orang yang bersinergi dengan energi astral saja yang dapat kembali ke masa lalu."

Sejujurnya aku tertarik mengetahui lebih lanjut, tetapi ...

"Karena kau sudah berada di sini, bagaimana jika kita melakukan beberapa pemeriksaan."

... keputusanku tidak pernah berubah.



"Tunggu."

Aku dengan cepat memotong sebelum mendengar sisa cerita yang tidak ingin kudengar.

"Aku bukannya tidak paham dengan tujuan kalian, tetapi aku tidak ingin berhubungan dengan ... masa lalu."

Aku berdiri, "Tidak perlu mengantarkanku, aku tahu jalan keluar."

Kemudian setelah menunduk hormat, aku berbalik menelurusi jalan pulang dengan Thalia yang memanduku.



***

Karena aku tidak ingin orang tuaku tahu mengenai aku yang mengikuti orang asing ke tempat asing. Maka aku berjalan sedikit untuk menunggu supirku, Rozan, agar menjemputku di tempat pemberhentian bis di dekat sini. Saat aku mengetik kode tempat ini, sebuah mobil berhenti tepat di depanku dan jendela bagian penumpang turun secara perlahan.

"Hi Atsa apa yang kau lakukan di sini?"

Aku dengan cepat menoleh dan menemukan orang yang sangat kukenal dari dalam mobil itu.

"Sister Shelva!"

Tanpa aku sadari aku sudah mengobrol panjang dengan Sister Shelva di dalam mobil yang melaju kencang menuju rumahku. Orang tuaku pasti akan mengomel keras mengenai hal ini. Aku sadar tidak baik terlalu dekat dengan Shelva Neirontza, karena ada sedikit permasalahan politik antara keluargaku dengan keluarga Neirontza. Tapi bagiku Sister Shelva adalah Sister Shelva!

Untuk memahami permasalahan kompleks ini, mungkin sudah saatnya aku menjelaskan bagaimana kondisi duniaku sekarang.



Next: Pandora Box

Photo on banner by Tom Roberts on Unsplash.
Edit by Me.

Iya penjaga tokonya kaya Taroumaru iya, emang referensinya dari sana. Yuk genshin player merapat sini. Jangan lupa tinggalin jejak kalau kalian suka sama ceritanya ya, biar aku bisa lebih semangat bikin ceritanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro