1 |Morning
Aku berjalan lemas menuju tempat pemberhentian bis. Mimpi semalam sangat menguras tenaga. Semua sensasinya terlalu nyata untuk disebut mimpi, dimana aku bahkan mampu mengingat tekstur yang menyentuh kulitku. Semua indra kembali merinding saat mengingat kembali mimpi itu.
Hanya mimpi. Lupakan!
Tak lama bis pun datang dan aku bersama sekitar enam orang lainnya masuk secara teratur. Aku menempelkan WristIO di IO tapper, kemudian duduk di kursi dua terdepan bersebelahan dengan bocah sekolah dasar yang sibuk bermain Donstars. Ini merupakan salah satu (di antara beberapa, yang pasti sedikit) game yang ada saat ini. Bahkan lebih jarang lagi menemukan anak kecil yang suka bermain game.
Aku pasti akan bersemangat mengajaknya berduel, tetapi kepalaku terlalu pusing untuk bermain dengannya. Aku memenuhi telinga dengan headphone merah dan memutar playlist terakhir yang kubuat. Berharap dengan lagu, pikiranku dapat mengatur segalanya seperti semula. Namun, badan ini ternyata harus lagi kalah oleh rasa kantuk. Dan tanpa sadar kesadaranku pun menghilang.
Entah berapa lama waktu berlalu, karena aku merasa seseorang menarik-narik lengan bajuku.
"Kak! Sebentar lagi sampai di tempat pemberhentianmu tuh!" begitu teriak seseorang di sebelahku.
"WAH!" Jantungku melonjak kaget.
Dengan panik aku melirik sekitar dan menemukan bangunan yang biasa kujadikan patokan untuk turun.
"Oh tidaaaaak ..." teriakku frustasi sambil mengambil tas kemudian berlari sempoyongan mendekati pintu keluar.
Aku meraih tiang penyangga untuk membantuku berdiri dengan stabil di bis yang sedang melaju cukup kencang. Sambil menunggu beberapa meter hingga sampai di tempat pemberhentian, aku mengantre di belakang murid laki-laki yang sedang sibuk dengan hpnya. Dengan postur tubuh yang cukup tinggi, perlu berjinjit untuk benar-benar bisa melihat apa yang sedang ia lakukan. Namun, sesuatu terjadi dengan cepat yang membuatku menyesali apa yang sudah kulakukan. Laki-laki itu menoleh ke belakang dan menangkapku basah.
Ini memalukan.
Aku dengan cepat memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa bersalah ini jauh dari tatapannya. Satu tatapan tajam yang terus mengiris kesadaran. Namun, dengan kendali penuh aku menoleh keluar jendela seakan sedang menunggu tempat pemberhentian. Menyerah pada kegigihanku, laki-laki itu kemudian berbalik memandang hpnya. Dimana dengan cepat rasa malu ini kembali menguasai hingga membuatku menundukkan kepala sangat dalam.
Memalukan sekali.
Bis kemudian berhenti dan beberapa orang yang sudah mengantre pun turun dari bis. Ketika kakiku menyentuh tanah, aku mendorong tubuh berlari menjauhi kerumunan.
Setelah beberapa toko kulewati, aku menguatkan diri untuk menoleh kebelakang dan—
"Wah untung tidak ada ..." ucapku lega.
Sangat lega sekali, bisa bayangkan laki-laki tadi satu arah denganku. Aku bisa dikira stalker. Sepertinya ia berbeda sekolah, baguslah.
Kemudian aku berbalik dan mulai melangkah pergi. Hari ini di mulai dengan hal-hal yang sangat tidak mendukung, membuat suasana pagi ini jadi muram saja—tidak berarti langit terlihat cerah juga hari ini. Namun, baru saja beberapa langkah berjalan, sesuatu mengetuk pikiran.
"...."
"Kenapa bocah tadi tahu aku turun di sana? Memangnya kita selalu satu bis ya?" tanpa sadar menyuarakan pertanyaan.
Mungkinkah dia naksir aku, sampai sangat perhatian kepadaku?
Baik, kuakui pikiran aku terkadang bodoh juga.
***
KRIIIING!!
Bel sekolah berbunyi tepat ketika aku meletakkan tas di atas meja. Menyebalkan. Aku biasanya menggunakan beberapa menit sebelum pelajaran mulai untuk tidur. Mampus! Aku bisa tidur di tengah pelajaran ini, mana pelajaran pertama Bu Inka. Bukan guru yang galak, tetapi pelajarannya itu sejarah.
Sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu masih dibahas sampai saat ini. Adakah sesuatu yang bisa kita lakukan dengan memahami sejarah. Sekadar pemahaman tentang 'jangan meniru hal seperti ini' saja yang diajarkan dari sejarah. Kalau begitu tidak perlu dijadikan pelajaran wajib yang harus aku hadapi bertahun-tahun juga.
"Bu Inka datang!" teriak ketua kelas.
Serentak kami menegakkan badan dan kemudian menundukkan kepala. Bu Inka membalas dengan merapatkan kedua tangan dan menunduk sedikit kepada kami semua.
"Baiklah anak-anak, bagaimana liburan kalian?"
Bu Inka memulai pelajaran dengan pertanyaan yang disahut cukup bersemangat oleh teman-teman sekelasku. Dimana aku hanya membalasnya dengan helaan napas panjang.
"Oke, oke. Cukup."
"Sekarang, seperti yang Ibu janjikan, kita akan belajar mengenai masa Revolusi," sahut Bu Inka.
Gemuruh sahut-sahutan datang dari teman-temanku yang kemudian memenuhi seisi ruangan kelas. Aku dengan energi yang tersisa hanya memutar-mutarkan pensil, hingga Dave akhirnya menyahut.
"Yah ... Bu, kan sudah pernah pas SMP dulu."
Oke, aku sangat suka dengan pernyataan ini. 'Sudah pernah kita pelajarin dulu', jadi? Buat apa dipelajari lagi, ya kan?
"Wah bagus tuh kata-kata Dave," jawab Bu Inka, yang kalau aku boleh bilang agak sedikit terkejut. Dia setuju dengan itu?
"Oke, Dave. Karena sudah pernah belajar di SMP dulu, bisa kamu jelaskan tentang masa Revolusi?"
Dan itulah yang disebut 'mata dibalas mata'. Untung aku cukup malas untuk mendukung omongannya tadi, sehingga tidak kena getahnya.
"Mampus lo, Dave," bisik beberapa orang.
"Aaaa ... Revolusi itu ... revolusi dari perang," jawabnya terbata-bata.
"Apa yang terjadi saat masa Revolusi?" tanya Bu Inka.
"Aaaa ... Revolusi ... Orang-orang bebas dari kubu-kubu," balasnya tidak yakin.
"Ya, dan?"
Terus dengan pertanyaannya, Bu Inka seperti mengejar jawaban tertentu dari Dave.
"Dan ... hmmm ... Bom nuklir meledak?" jawab Dave sangat tidak yakin.
"Hm. Bom nuklir adalah salah satu dampak dari Revolusi, dan itu akan kita bahas setelah materi ini," simpul Bu Inka.
"Oke, bagaimana yang lain ada pendapat mengenai Revolusi?"
Bu Inka melepaskan pertanyaan kepada semua orang dan itu membuat ruangan kelas menjadi sunyi. Aku yang berharap tidak dilempar pertanyaan dengan cepat memalingkan pandangan menjauh darinya.
"Oke, Atsa!" Mampus aku.
"Ya, Bu," jawabku dengan nada kaget-kesal-bete.
"Jadi bagaimana?" tagih Bu Inka kepadaku.
Yang membuatku tidak yakin adalah jawaban seperti apa yang dia harapkan. Karena jawaban Dave sudah cukup menjelaskan dengan sangat umum dan aku tidak menemukan hal yang salah. Namun, jawaban itu tidaklah memenuhi ekspektasi. Karena aku benci dengan keadaan yang tidak pasti ini dan tidak ada manfaatnya berasumsi, maka aku memberanikan diri untuk bertanya kembali.
"Maaf, Bu. Pertanyaannya apa ya tadi?" jawabku tenang.
"Oke, jelaskan menurutmu apa yang terjadi saat masa Revolusi?" Bu Inka menjelaskan kembali pertanyaannya.
Setelah menyusun jawaban dalam kepala, aku menarik napas kemudian mencoba menjawab.
"Revolusi terjadi akibat panjangnya masa perang dunia ke-4 antara Kubu Barat dan Kubu Timur, dimana saat itu perang yang terjadi sudah tidak terkendali. Kubu Barat yang fokus dalam strategi penyerangan mereka, yaitu salah satunya adalah pengembangan bom nuklir, digunakan untuk menghancurkan pelindung dari Kubu Timur. Sedangkan Kubu Timur fokus memikirkan bagaimana mereka dapat membuat pertahanan yang cukup baik untuk menahan serangan-serangan Kubu Barat."
"Dan orang-orang yang disebut dengan Revolusioner merupakan kumpulan orang yang memikirkan bagaimana cara untuk menghentikan perang karena tindakan yang dilakukan kedua Kubu ini dapat menghancurkan bumi. Dan dengan perjuangan mereka yang pada akhirnya mendapatkan dukungan dari masyarakat yang berasal dari kedua Kubu, perang akhirnya dapat dihentikan. Dan di saat masa tenang dimana kedua Kubu akan menandatangani piagam perdamaian. Sisi Kubu Barat melakukan pemberontakan, yaitu dengan meluncurkan bom nuklir, karena merasa tidak puas dengan keputusan yang dibuat."
"Bom yang diluncurkan tidak dapat dihentikan, maka saat itu mengubah target peledakan ke luar angkasa merupakan solusi terbaik. Ketika bom meledak di luar angkasa, keadaan bumi berubah drastis akibat reaksi dari hasil ledakan dan radiasi yang terjadi di atmosfer bumi. Semenjak itu badai dan petir selalu menyambar bumi. Dan yang paling drastis terjadi adalah musim dingin bertahun-tahun yang terjadi di seluruh dunia akibat atmosfer bumi yang semakin padat dan tidak dapat ditembus oleh sinar matahari—"
"Oke cukup Atsa." Bu Inka memutus penjelasanku. Kurang jelas, kah?
"Kita hanya membahas sampai sejarahnya saja, nanti kita bisa membahas mengenai perubahan keadaan bumi di pelajaran lain, oke?" balas Bu Inka.
"Baik, Bu," jawabku agak sedikit malas.
"Penjelasan Atsa menurut ibu sudah cukup jelas. Tapi, ..." Ia mengantungkan penjelasannya.
"Yang akan kita pelajari sekarang akan lebih detail dari itu. Perang terjadi akibat perbedaan pemahaman mengenai cara pemerintahan dari masing-masing Kubu. Kubu Barat yang cukup otoriter dengan ideologi 'Penyetaraan' dan Kubu Timur yang berjuang mempertahankan ideologi 'Perbedaan', kedua itulah yang membuat perang muncul. Perang dapat terjadi lebih lama lagi selama masing-masing Kubu masih belum bisa menemukan cara untuk saling memahami ideologi satu sama lain. Dan yang memperburuk keadaan adalah masing-masing Kubu memanfaatkan momen ini untuk adu perkembangan teknologi militer tanpa memikirkan bagaimana orang-orang sudah lelah dengan perang panjang. Hal ini memicu munculnya Revolusi dengan pahlawan-pahlawan mereka yang disebut Revolusioner," jelas Bu Inka.
"Berarti ada politik yang terjadi di sana begitu, bu?" tanya Rhes.
"Politik akan selalu ada kapanpun. Dan iya, di perang ini ada beberapa isu politik yang terlibat."
Hm. Agak sedikit mengesalkan saat dia bisa menjelaskan semua itu dalam penjelasan singkat sedangkan mulutku sampai berbusa barusan. Namun, ada sesuatu dari penjelasan Bu Inka yang tidak sesuai dengan apa yang aku jelaskan.
"Bu, kalau penjelasan ibu begitu, berarti alasan Revolusi untuk menghentikan perang karena dapat menghancurkan bumi itu salah, bu?" tanya Gou.
Bagus! Aku baru saja memikirkan ini kemudian ada orang yang mengutarakannya. Sungguh penghematan energi.
"Itu tidak salah, tetapi salah satu alasan lain juga karena semua orang sudah merasa lelah dengan perang panjang yang menghabiskan banyak nyawa, energi, dan sumber daya," jawab Bu Inka.
Memang tidak ada yang suka dengan perang panjang. Namun, cukup mengherankan mengapa dari dulu Revolusioner selalu diagung-agungkan sebagai kelompok orang yang menyelamatkan dunia. Sepertinya yang disebut Revolusioner tidak sesuci itu.
"Oke, sekarang keluarkan buku kalian dan kita akan membahas secara detail mulai dari ...."
Ucapan Bu Inka masuk dan keluar dengan cepat di telingaku. Karena seperti yang kukatakan sebelumnya, aku kurang suka pelajaran ini.
***
Pelajaran Bu Inka berlalu-tidak-dengan cepat. Aku hampir tertangkap dua kali tertidur di kelas. Dan anehnya pelajaran berikutnya berlalu seperti angin lalu dan tidak menetap di otak. Aku bahkan lupa pelajaran hari ini apa saja, selain sejarah tentunya.
Sudahlah, aku tidak peduli. Karena tujuanku datang ke sekolah bukan untuk belajar. Aku berjalan cepat melewati lorong dan tiba di ruangan yang tidak akan ada orang lain selain aku yang menggunakannya. Kusiapkan tenaga yang kubutuhkan untuk mendorong pintu besar di hadapanku, yang kemudian membalas dorongan ini dengan erangan yang cukup keras. Angin ringan mengelitik wajah ketika pintu sudah benar-benar terbuka.
Dan inilah dia, aula besar, kedap suara yang pasti, dan penuh dengan berbagai alat musik. Zaman sekarang, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang biasa, semua orang pintar, karena kita harus bertahan hidup. Namun, alat musik merupakan suatu hal yang langka, tidak banyak manusia di muka bumi ini yang dapat memainkannya. Karena kami semua masih dalam masa trauma akibat sisa bom nuklir yang terjadi saat masa Revolusi. Bukan karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar memainkannya, tetapi tidak adanya urgensi terhadap kreatifitas membuat sedikit sekali manusia yang tertarik di bidang ini.
Jujur, menyedihkan masih banyak orang yang terpuruk akibat keadaan bumi ini. Walaupun cuaca sudah tidak ekstrem seperti dulu, tetapi tetap saja manusia masih harus berjuang. Bila aku membandingkan kehidupan manusia di masa lalu dengan masa kini, terlalu berat sebelah. Ratusan tahun lalu, manusia lebih banyak melakukan hal menyenangkan. Tidak seperti manusia di zaman ini yang masih memasang wajah suram.
Aku menarik kursi dan duduk di depan piano. Jemariku kemudian menari, berpindah-pindah kunci, memainkan melodi yang terpikir dalam pikiran.
Seandainya semua orang dapat menikmati lagu kembali.
Kemudian aku terlelap dalam permainan hingga WristIO (WIO)-ku bergetar menandakan waktu untuk pulang. Aku merapihkan cacatan kemudian berjalan pulang. Sekolah sudah cukup sepi tidak banyak murid yang masih menetap di sekolah selarut ini, dan langit pun kurang terlihat perbedaannya, apakah ini sudah malam atau masih sore.
Ya sudahlah, tidak terlalu penting.
Next: Dream
Photo on banner by Hugo Jehanne on Unsplash.
Edit by Me.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro