3rd
You're my best and worst memories.
***REVIVE***
Di hadapanku, aku melihat padang bunga tanpa ujung. Bunga memenuhi semua ruang yang ada.
Aku tersenyum, menarik nafas panjang guna mencium aroma tersebut.
Keningku mengerut.
Aku mencium bau anyir darah yang memasuki hidungku. Tanganku reflek hinggap di hidungku demi mengurangi tajamnya bau amis. Aku reflek membuka kedua mataku, lalu merasa konyol karena terbangun dengan keadaan tangan menjepit hidungku sendiri.
Aku bangkit dari tiduranku. Segera kuintip jendela, menatap keadaan diluar yang masih pagi buta. Matahari belum menampakan dirinya. Aku hanya heran bagaimana bisa mereka membuat bau menyengat ini tak membuat para tetangga curiga. Darah ayam juga amis, tapi ini sangat amis.
Aku melihat Ibu dan Ayah berbincang-bincang di halaman belakang rumah. Mereka berjongkok di depan ember penuh air yang kusiapkan kemarin malam sebelum dibunuh. Tangan Ayah bersimbah darah, Ibu mengambil sikat dan kulihat mereka berdua sama-sama berupaya agar darah itu menghilang.
Jika saja kejadian mengerikan ini tak pernah terjadi, aku akan tetap salut dengan Ayah yang masih tulus mencintai Ibu meskipun beliau tak bisa memberikan momongan.
Tapi ini berbeda, Ibu mendukung Ayah dan bersedia membersihkan darah yang mengering karena tindak kriminalnya? Mungkin aku perlu merasa salut juga, Ibu terlalu percaya pada Ayah yang menurutku sudah sedikit... tidak waras?
Berkat keadaan yang masih gelap dan suasana yang sunyi, aku bisa mendengar suara cipratan air setelah membuka sedikit kaca jendela kamarku.
"...Sudah berapa kali kau melihatnya lahir dalam keadaan polos?" Suara Ibu memecah kesunyian yang ada. "Tubuh gadis remaja lebih menarik daripada si Tua ini, kan?"
Suara kekehan Ayah membuatku diam. Aku hanya ingat dengan wajahnya yang ramah saat mendengar kekehan lembut itu. Semenjak kejadian malam itu, dia tak pernah sudi lagi memberikan senyuman lembut kepadaku.
Aku menunduk dalam.
"Berulang kali, Sayang. Tapi kau yang paling menarik. Ayolah, jangan membandingkan monster itu dengan bidadari sepertimu."
Aku juga... sebenarnya tidak ingin terlahir seperti ini.
Lalu, ini salahku?
"Tapi tubuhnya masih sama dengan gadis kebanyakan," ujar Ibu dengan nada cemburu. "Kulitnya putih, rambutnya hitam, rupanya cantik... lihat Istri Tua-mu, sudah mengerut dan beruban. Coba saja aku juga tidak bisa menua."
Ayah membalas dengan tenang. "Aku hanya ingin tua bersamamu. Lihat dia, tidak akan merasakan hari tua. Harusnya kau senang, Sayang."
Adegan cubit-cubitan membuatku menggeleng lesu. Adalah keinginan semua orang, hidup sampai tua bersama dengan seseorang di masa depan. Aku tahu ini terdengar mustahil untukku. Aku tidak akan bisa bahagia dalam kondisi seperti ini.
"Omong-omong, apa kau menyadari tanda lahirnya setelah kesekian kalinya kau memotong tubuhnya?"
Aku mengangkat kepalaku lemas. Aku bahkan tidak tahu aku mempunyai tanda lahir setelah sekian lama aku hidup di dunia ini. Ralat, hidup-mati.
"Punggung bagian atas, kan? Angka delapan itu?"
"Iya, yang itu."
Aku makin bingung. Tanda lahir angka delapan?
Aku tak perlu repot-repot membuka pakaianku, karena aku hampir selalu dibunuh dahulu sebelum tidur. Singkat cerita, hampir selalu seperti ini akhir-akhir ini. Aku membelakangi cermin panjang yang tergantung di kamarku, mencoba melihat di bagian punggung atasku dengan kepayahan.
Dan benar, aku mempunyai tanda lahir di sana. Tetapi bukan angka delapan.
Melainkan lambang infinite(∞).
Warnanya hitam menyerupai tatto, ukurannya tidak terlalu besar dan kurus, menurutku. Panjangnya mungkin tak sampai sejengkal tanganku.
Tapi ..., sejak kapan aku punya lambang ini di tubuhku?
*
Hari ini berjalan seperti biasanya, kami sarapan terlebih dahulu sebelum membuka D'Delicioustar pukul sembilan nanti. Tapi, tak biasanya mereka tak menghadiahkanku kematian seperti hari ini.
Biasanya, mereka akan langsung membawa pisau dan menusukannya ke perutku. Atau mereka akan mengambil tanganku dan langsung memotong nadiku, tapi tidak dengan hari ini. Mereka terlihat tenang, menikmati santapan daging mereka.
Aku merenung menatap piringku. Jangan berekspetasi terlalu tinggi, daging yang mereka makan adalah daging ayam, dan yang aku makan adalah dagingku yang merupakan sisa yang kemarin tak habis terjual.
Jangan tanya rasanya, aku tidak akan menjawab.
"Gina," panggil Ibu yang membuatku mengangkat kepalaku ragu. Mungkin dia ingin mempertanyakan mengapa aku tidak makan? Ah, kau terlalu bermimpi, Regina.
"Ya?"
"Minggu depan kita berhenti mengelola D'Delicioustar," ujar Ibu yang membuatku menerjap beberapa saat.
Aku melirik ke Ayah yang masih menikmati makan paginya dengan tenang. Dia tak membantah. Sudut bibirku tak bisa untuk tidak terangkat mendengar hal itu. Berhenti membuka warung makan itu sama artinya dengan berhenti membunuhku, kan?
"Benarkah?"
"Benar. Setelah dipikir-pikir, kami tidak menginginkan pekerjaan yang melelahkan."
Dalam hati, aku benar-benar ingin berteriak bahagia. Harapanku terkabul. Setelah seminggu berakhir, kami akan kembali seperti sedia kala, sama seperti sebelum adanya insiden itu. Semuanya akan kembali seperti yang seharusnya.
Ya, kuharap begitu.
.
.
Tinggal seminggu ini saja, aku akan merelakan diriku ditebas, dibunuh dengan cara yang menyakitkan dan menusuk perutku dalam. Aku akan menahan semua kesakitan itu, karena aku tahu setelah ini, semuanya akan berakhir.
Bahkan saat semua pengunjung D'Delicioustar terus mengumpat dan memakiku dengan kata-kata kasar, kata-kata itu tak lagi menyakitiku. Aku akan kembali seperti dulu, tanpa ingat dengan kutukan yang pernah kualami ini.
"Ini Gina. Mungkin yang terakhir." Ayah menyerahkan semangkuk sup dan menyuruhku menghidangkannya di depan.
Aku membawa mangkok berisi sup itu sambil memperhatikan lelaki terakhir yang ada di D'Delicioustar. Ya, dia adalah pengunjung terakhir hari ini, mungkin.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya D'Delicioustar sudah ditutup sejak pukul enam tadi. Tapi ya sudahlah, lagipula masih ada sisa hari ini, daripada harus memasak ulang dan mereka membunuhku?
Lelaki itu memperhatikan gadget di tangannya. Entahlah apa yang sedang dilakukannya. Yang jelas, cahaya dari gadgetnya membuat mata berwarna abu-abunya tampak begitu jelas.
"Ini supnya."
Lelaki itu mengendus sejenak sup yang ada di depannya, tanpa melepaskan pandangannya dari gadgetnya.
"Ini sup apa?"
Tentu saja aku gelagapan. Tidak pernah ada pelanggan yang mempertanyakan daging apa ini. Sebab, bau kaldu ayam pastilah sudah menjelaskan semuanya. Memang, apa yang kita tahu terkadang tidak sesuai dengan realita.
"Uhm, i-ini sup ...,"
Lelaki itu tiba-tiba saja menatapku tajam. Dihempaskannya mangkok itu ke arah lain tanpa berkata apa-apa. Sup beserta isinya tumpah. Aku gemetaran memikirkan apa kesalahan yang baru saja kuperbuat. Setahuku tidak ada. Gadgetnya diletakannya di atas meja, dia berdiri dari duduknya, berjalan ke arah dapur tanpa mempedulikan pecahan mangkok yang dilewatinya.
"K-kenapa?"
Aku berlari dan menghalangi jalannya, bahaya jika masuk ke dalam dapur dan menemukan Ayah sedang memotong mayatku, atau paling parah tengah mengeluarkan seluruh isi tubuhku.
"Ada yang salah?"
"Sup ini tidak pantas dihidangkan kepada konsumen! Mana pemilik tempat makan ini? Aku ingin berbicara dengannya."
"Ada apa?"
Ibu keluar bersama Ayah dari dapur, mungkin karena efek suara pecahan mangkok tadi. Dilihatnya wajah pucatku dengan bingung dan tampaknya tidak mengerti dengan kode yang kumaksud.
"Apa kalian pemilik tempat ini?" Lelaki itu bertanya dengan suara yang amat datar.
"Ya, memangnya kenapa? Apa ada yang salah?" Ayah melirikku sejenak. "Atau ..., ada yang salah dari pelayanan kami?"
"Ada yang salah." Lelaki itu menunjuk keberadaan sup yang sudah tumpah di atas lantai. "Sup kalian tidak pantas dihidangkan."
Wajahku makin pucat saja saat Ibu menatapku dengan tatapan tajam, seperti menyalahkanku atau mungkin dia mengira akulah yang memberitahu lelaki ini tentang sup daging manusia di sana? Tidak mungkin aku segila itu untuk mengumbarkan diriku yang bisa hidup kembali, kan?
"Mengapa tidak pantas?"
Ayah bertanya dengan suara yang dalam. Aku mulai ketakutan saat kulihat Ayah menyembunyikan sebilah pisau dapur di belakang punggungnya.
Pisau dapur yang tiap tengah malam diasahnya. Pisau dapur yang tiap kali digunakannya untuk memotongku.
Jangan.
"Sup kalian-"
"Maaf, bisakah anda pergi?" potongku sambil menatap lelaki itu dengan tatapan tajam. "Sebenarnya ini sudah jam tutup tempat ini, karena kedatangan anda, kami harus menghabiskan waktu kami untuk melayani anda yang tidak menghargai masakan kami."
Aku meneguk ludahku kasar saat aku mendapatkan tatapan mengintimidasi dari lelaki itu. Sungguh, mata abu-abunya seolah ingin menenggelamkanku di dalam sana. Aku tentu saja berusaha untuk tidak menghindar dari matanya dan ikut membalas tatapan matanya yang seolah mengajakku untuk berlaga tatap.
Lelaki itu menatapku dalam, tentu saja membuatku risih. Apalagi saat kulihat tangan di belakang punggung Ayah masih terlihat pisau sialan itu. Lelaki ini benar-benar cari mati.
"Baiklah kalau begitu, aku akan pulang. Aku juga tidak sudi datang di tempat makan yang tidak menghargai pengunjungnya."
Lelaki itu menjauh, membuatku diam-diam menghela napas lega. Saat dia ke meja dan membawa gadgetnya pergi, barulah aku berani membersihkan pecahan mangkok dan sisa tumpahan sup di bawah meja sana.
"Cih, kalau sempat dia tahu, pasti akan kubunuh."
Ayah menggeram, lalu melempar pisau dapur itu ke sembarang arah, membuatku bergidik. Aku sempat kaget karena Ayah telah berubah drastis. Dulu Ayah adalah orang yang toleran, pandai mengontrol emosi dan begitu bijaksana. Tapi mengapa, kini dia bahkan bisa sampai memberikan kata-kata yang mengandung hal-hal seperti itu?
Ibu mencoba menenangkannya. "Sudahlah. Tidak mungkin dia tahu. Mungkin supnya sudah tidak enak lagi. Itu kan sup yang paling bawah. Kaldu dan bumbunya kebanyakan dan rasanya pasti aneh." Ibu menyuarakan komentarnya.
Sedangkan aku hanya bisa diam. Aku tidak berani berkata apa-apa. Sebab, lelaki itu baru mengendus sup itu, belum mencoba atau mencicipinya sama sekali.
Setelah aku selesai membersihkan lantai, aku pun bermaksud membersihkan meja. Saat membersihkan meja itulah, aku menemukan secarik kertas dan beberapa lembar uang di bawah kotak tissue.
Aku tidak langsung mengambilnya, masih pura-pura mengerjakan tugasku dan berlagak biasa saja. Padahal, aku penasaran berat dengan kertas yang sepertinya menuliskan sesuatu dengan tinta berwarna biru.
"Sudahlah, ayo bersihkan sisanya di dalam."
Setelah mereka berdua masuk, barulah aku mengambil kertas itu dan membacanya dalam hati.
08xx xxx xxxx.
Keningku mengerut dan cepat-cepat kusimpan kertas itu ke dalam sakuku. Entahlah, dari cara berbicara lelaki itu sejak awal, dia sudah pasti bukan ingin mencari perhatian atau apalah itu namanya.
Memang, ini bukan pertama kalinya ada yang sengaja meninggalkan kontak seperti ini.
Tapi tetap saja... aku merasakan ada hal aneh yang tengah terjadi di sini.
***TBC***
29 Januari 2017, Minggu.
Note
Saya udah dapet banyak pesan yang menyarankan REVIVE dilempar di M/T. Saya pengin ngasih tau juga kalau adegan gore tidak banyak (iya), jadi tidak perlu dilempar ke M/T.
Lalu soal cerita ini yang katanya mirip sebuah film Jepang. Biar kuberitahu sesuatu di sini.
Begini, saat saya publish chapter pertama, ada seorang reader yang PM saya dan bilang bahwa cerita ini mirip dengan salah satu serial film Jepang yang berkisahkan tentang gadis cantik yang bisa membuat siapapun jatuh cinta dengannya. Nah, dia juga ngasih tau kalau nama ceweknya itu Tomie.
Akhirnya saya search google dan menemukan film ini. Lalu saya kayak, "Anjirrr, beneran ada yang bikin kayak gini." Tapi tenang, saya udah selesai nonton satu seri dan tidak ada yang mirip selain cewek itu bisa hidup lagi. Bedanya ntu cewek itu hantu, dan dia membuat semua orang berilusi tentangnya, membuat semua orang berusaha membunuhnya. Coba nonton deh! Ceritanya keren kok! //promo.
Jadi intinya di sini, saya gak contek film. Please, saya malas lho nulis hal yang sama dua kali. Full of Fools yang adalah hasil revisi cerita lama saya aja, ngaretnya setengah mati. Saya sukanya bikin cerita yang belum dibikin. Kebetulan saya sama penulis naskahnya mikir hal yang sama, topik soal cewek yang ga bisa mati.
Kalau kamu udah nonton Tomie dan masih mikir kalau cerita ini sama dengan film itu setelah kamu baca sampai sini, silahkan tunggu saya namatin Revive sampai habis. Ga, ga, Revive ga horror dan idenya sempit. Tapi saya jamin beda.
Saya berani publish Revive di wattpad karena Revive sudah dapat endingnya dari dulu (begitupun dengan Aqua World). Hanya Air Train, cerita dimana saya merasa tersesat tapi galau kalau nda tamatin.
Udah, gitu aja, sekian. BTW cerita saya yang udah completed, saya private demi keamanan cerita.
Gong Xi Fa Cai! Bagi yang merayakan //nangis liat angpao makin dikit.
See You in next CHP!
Cindyana
*
🔪
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro