Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2nd

18+
Jangan senang dulu, hoi :v

[WARNING! Gore theme! Spashed blood do exist! Hindari chapter ini jika anda sedang makan! Hindari chapter ini jika anda tidak kuat! WARNING! WARNING!]

*

Warung makan yang dikelola oleh kedua orangtua angkatku semakin ramai saja hari demi hari. Mungkin ini karena spanduk besar yang dipasang di perempatan jalan sana, atau mungkin karena promosi yang kulakukan di internet bulan lalu.

Adalah D'Delicioustar, nama tempat makan yang kuberikan namanya atas permintaan Ayah dan Ibu. D'Delicioustar adalah tempat makan yang kini tengah terkenal di tengah kota kecil kami. Menu utama yang paling diminati adalah sup daging. Cukup banyak rempah-rempah dan bumbu kaldu yang dimasukan ke dalam sana.

Kuperhatikan saat mereka menyesap sup yang ada di sendok yang mereka ambil dari dalam mangkok. Ada pula yang sampai menambah-nambah sup itu.

Kulihat kasir sudah tampak penuh dan Ayah tampak kesusahan melayani mereka semua yang terus mendesak ingin membayar agar segera mendapatkan pesanan mereka.

"Gina, bantu Ayah, cepat!"

Aku berjalan cepat ke sana, melayani mereka dengan cepat dan memberikan mangkok berisi hidangan kuah yang mereka pesan kepada para pembeli satu persatu.

"Apa sih, resep sup ini, Mbak?" tanya seorang perempuan yang memakai pakaian kerja ala kantoran. Tampaknya dia begitu menikmati sup itu, sebab tadi aku sempat mendengarnya menyeruput sup itu dengan nikmat.

"Resepnya biasa saja kok, hanya ditambah sedikit bumbu rahasia," jawab Ibu dengan senyuman ramah.

"Hebat ya, Mbak. Saya tiap hari diteror gara-gara tugas setumpuk di kantor. Saya nyaris lembur tiap malam. Minggu lalu teman saya rekomendasi makan di sini, katanya sup di sini bisa nambah tenaga." Salah satu teman perempuan tadi menimpali dengan semangat.

"Hasilnya bagus, Mbak. Makanan di sini benar-benar enak dan berkhasiat!"

"Gina, bawa piring kotor ini ke belakang."

Ayah tiba-tiba saja muncul di depanku, memberikanku setumpuk piring dan mangkuk kotor, membuatku gelagapan karena nyaris menjatuhkan salah satu piring itu.

"Erm, iya."

Aku berjalan ke belakang, menaruh piring-piring kotor itu di tempat pencucian piring. Hari ini masih siang dan D'Delicioustar sudah ramai saja.

Aku pun berdiri di belakang wastafel, saat baru saja hendak mulai mencuci piring-piring itu, aku merasakan tusukan dalam dari belakang punggungku. Aku hampir berteriak karena sakit yang kualami ini. Tapi seseorang langsung membekap mulutku dengan telapak tangannya. Aku tak bisa bernafas karena saking kuatnya dia membekapku.

Aku meringis saat melihat keramik putih di bawahku. Keramik itu sudah dinodai oleh darah-darah yang terus meluncur deras dari sumber tusukan di punggungku. Aku tak bisa mendeskripsikan rasa sakit itu. Hanya sakit. Aku bahkan bisa merasakan sakit yang lain saat pisau itu menembus perutku. Rasanya teramat sakit, apalagi saat benda tajam itu di tarik keluar kembali tanpa ragu.

Aku berbalik belakang terlebih dahulu, menyempatkan diri untuk melihat siapa pelakunya, orang yang hendak membunuhku.

Dan rupanya ..., Ayah.

"A-ayah...."

Beliau tersenyum menyeringai. "Maaf, Gina. Kita kekurangan daging lagi."

"T-tapi, Yah..." Ayah sudah membunuhku hari ini. Aku tak bisa melanjutkan kata-kata. Tanganku bergerak ke arah perut dan berusaha menutupi darah yang terus keluar, meski aku tahu itu tidak akan berguna.

"Kau tidak lihat di luar sana banyak yang masih memesan? Tidak mungkin daging satu orang cukup untuk mereka semua, kan?"

Benar.

Daging yang disuguhkan kepada para konsumen di luar sana..., adalah dagingku, daging manusia. Bukan daging ayam atau daging sapi, seperti yang pernah mereka tanyakan. Daging manusia. Daging yang sangat tak pantas disuguhkan pada sesamanya.

Aku menangis.

"Tidak masalah, kan? Lagipula kau akan hidup kembali."

Aku sudah dibunuh lebih dari sepuluh kali minggu ini. Mungkin berapa belas, atau mungkin berapa puluhan kali. Aku tak dapat menghitungnya.

Berhenti...

Tak dibiarkannya aku menjawab, tanpa hati, dia menusukan pisau itu di punggung bagian bawahku, dan menusuknya hingga menembusi perutku, berulang-ulang. Aku yang sudah tak memiliki tenaga mencoba menjauh dengan berpegangan pada pinggiran wastafel.

Tapi naas, aku terpeleset di atas genangan darahku sendiri, membuat kepalaku jatuh begitu saja di atas lantai.

Kepalaku terasa..., hancur.

Aku menjulurkan tanganku ke arah Ayah. Wajahnya semakin buram dan terlihat makin tidak jelas saja.

Saat pandanganku menggelap, tanganku pun melemas, nafasku semakin sedikit, dan samar-samar aku mendengar suara wanita yang terdengar begitu lembut di telingaku.

Tidurlah, dan aku akan membawamu bersamaku.

Suara itu ..., selalu muncul disetiap detik-detik kematianku. Aku pun paham bahwa itu adalah suara dewi kematian yang siap membawa jiwaku bersamanya. Hanya saja... tampaknya dia tidak pernah berhasil melakukannya.

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa menjadi makhluk Immortal seperti ini. Aku bahkan tak tahu harus menyebut ini immortal atau bukan. Aku mati, jasadku membusuk, namun aku terlahir kembali dengan tubuh baru yang bersih dari cacat.

Sudah sering, organ-organ tubuhku diambil untuk dijual di pasar illegal organ manusia. Sudah sering, dagingku disuguhkan kepada mereka yang tidak tahu. Sudah sering, tulang-tulangku diberikan kepada anjing liar yang tinggal di gang gelap. Sudah sering, aku di bunuh.

Tapi aku takkan terbiasa dengan semua ini.

Aku tak tahu kapan semua ini akan berakhir, kapan mimpi ini akan selesai dan kapan aku akan terbangun bersama duniaku yang dulu.

Entahlah, kapan.

.

.

Beberapa saat kemudian mataku terbuka kembali. Aku sudah berada di kamarku, di atas lantai dan dalam keadaan tak berbalut busana. Aku bangun, lalu mengelus punggungku yang tadinya hancur terkoyak oleh pisau dapur yang dihujani tanpa ampun oleh Ayah tadi. Punggung dan perutku sudah kembali mulus, seolah tak pernah ada kejadian itu sebelumnya, sama seperti kemarin.

Aku mengintip ke jendela yang berhadapan langsung dengan halaman belakang rumah yang kini juga dijadikan sebagai tempat para konsumen menyantap makanan mereka. Hanya saja, halaman belakang rumah akan dipakai jika teras depan penuh dan tidak cukup tempat.

Tanpa mereka tahu, di bawah tanah yang mereka pijak itu, berisi entah berapa puluhan kepala tengkorak diriku, yang tak mudah hancur jika hanya dipukul keras saja. Entah sudah berapa helai rambut yang dibuang mereka setiap saat. Tidak ada yang tahu.

Sekarang aku mengerti, mengapa sejak awal, Ayah bersikeras membangun dapur yang tertutup.

Agar dapat membunuhku dan memasakku dengan leluasa.

Tanpa ada yang melihatnya.

BRAK!

"Gina, gantian. Kau yang memasak."

Ibu menatapku dengan tatapan sinisnya, aku hanya mengangguk paham dan menunggunya keluar lebih dulu untuk mengenakan pakaian. Aku sengaja berlama-lama di sana, karena aku terlalu muak untuk turun. Tapi Ibu terus memprotes dan memanggil dari balik pintu agar aku secepat mungkin keluar dari kamar.

Ibu menyeretku turun, tanpa berniat sedikitpun mendengar keluhanku. Aku ingin mengatakan bahwa aku terlalu lelah untuk melanjutkan. Tapi aku tahu, meski aku menyatakan pendapat, dia tidak akan repot-repot untuk mendengarkanku.

Saat sampai di bawah, kami memasuki dapur. Kupikir aku akan dihadapkan kembali dengan para pelanggan yang mengamuk karena lamanya servis di jam makan siang ini, tapi sepertinya dugaanku salah karena kami masuk ke dalam dapur.

Aku tak dapat menahan mual yang mengerubungiku saat aku melihat Ayah tengah memotong mayatku, dibagian perut. Darah mengalir kemana-mana, tapi tak sampai keluar karena mereka sengaja membuat lantai dapur lebih rendah dibanding lantai luar. Tanpa rasa geli sedikipun, Ayah mengeluarkan isi perutku dari hati, usus, ginjal, sampai lambungku. Semuanya dikeluarkannya tanpa sedikipun rasa ragu.

Aku melihat Ayah memasukan jantung, ginjal, hati dan semua organ tubuhku yang bisa dijualnya nanti. Bahkan dengan ahlinya dia membuka isi kepalaku, memotong tali-tali dan saraf yang dilihatnya menganggu pemandangannya.

Aku jadi ingat, dulu Ayah ingin menjual bola mataku, tapi ternyata dia tidak bisa mencongkelnya dengan benar, sampai membuat bola mataku pecah dan rusak.

Aku memang tidak merasakan sakit itu saat ini. Tubuhku yang itu telah mati. Itu bukan lagi tubuhku, tapi hanya dengan melihat pemandangan yang mengerikan itu, aku bisa merasakan seluruh tubuhku seakan mati rasa. Tentu saja, mayat itu memiliki rupa yang sama dengan milikku.

"Gina, masak!"

Ayah menunjuk kompor dengan dagunya. Tangannya sibuk mengorek-ngorek isi kepala mayat itu, sedangkan Ibu sudah membantu Ayah menampung darah. Darah itu tidak dijual kepada pasar illegal itu, tapi dijual kepada pihak rumah sakit yang sewaktu-waktu membutuhkan darah.

Tapi karena pihak rumah sakit tidak asal menerima darah dan hanya menerima darah yang dibutuhkan saja, maka terkadang darahku akan dibuang sia-sia di tempat pembuangan air.

Jadi, terkadang akulah yang harus menyerahkan kantong darah itu kepada PMI, meskipun aku harus menahan rasa ngeri saat mereka semua mulai menatapku aneh. Karena itulah terkadang aku harus memberikan darah itu di puskesmas yang berbeda-beda saat aku dalam perjalanan pulang dari pasar.

Aku tidak tahu mengapa ..., Ibu dan Ayah masih membuka warung makan ini meskipun mereka sudah mendapatkan banyak uang dari menjual organ tubuhku.

"Gina, cepat!"

Aku pun berjalan ke arah kompor, mencoba melewati cipratan darah yang ada tanpa menginjaknya sedikitpun. Aku jijik dengan darahku sendiri. Ya, memang benar.

Aku hampir muntah saat aku mengaduk dagingku yang telah dicincang menjadi bulatan menyerupai bakso. Aromanya membuatku ingin muntah. Aku bisa saja muntah jika perutku terisi sesuatu, tapi kenyataannya perutku kosong. Aku hanya bisa pasrah saat melihat Ibu menambahkan agak banyak kaldu ayam untuk memperkuat aroma Ayam di sup.

Ibu mengambil alih sendok sup di tanganku, lalu mulai menyesap sedikit sup yang ada di sana, membuatku sungguh jijik.

Tidak, ini lebih dari menjijikan!

"Sudah, Gina, bantu hidangkan di luar."

Mau tak mau, aku pun mengambil mangkok, menunggu Ibu mengisinya hingga penuh dan meletakannya di nampan. Saat nampan penuh, barulah aku keluar menyerahkan dimeja satu-satu.

Semuanya berebutan dengan sup itu bagai sudah berbulan-bulan tak melihat makanan. Itu membuatku semakin ngeri saja.

"Yang cepat!" Seseorang membentakku, membuatku secepatnya berjalan ke arah orang itu. Lelaki tua botak yang tampak tak sabaran. "Dasar, tidak becus!"

Aku merasakan sedikit tumpahan sup panas di tanganku saat lelaki tua itu menyambar sup di mapan dengan kasar. Aku meringis, tanpa berkata apa-apa. Aku berjalan ke arah pengunjung lain, menyerahkan satu-satu mangkok sup tanpa mempedulikan luka melepuh ditanganku.

Tidak berguna.

Aku akan dibunuh, dan jejak itu hilang bersama tubuh lamaku.

Tidak berguna aku mengobati lukaku, menjaga diriku. Tidak berguna.

"Pekerjaan yang bagus, Gina."

Aku hanya diam, memperhatikan luka melepuh ditanganku yang memerah dan menonjol keluar karena terkena benda panas. Tanpa berkata apa-apa, aku mengambil mangkok yang sudah disediakan, dan membawanya keluar untuk dihidangkan kepada mereka yang menunggu pesanan mereka.

Aku ingin..., semuanya kembali seperti dulu.

Aku menginginkannya.

...tapi waktu tidak akan pernah berputar kembali.

***TBC***

13 Januari 2017, Jumat.

Note

No no no, bukan salah author jika anda mual sekarang. No no no, sudah saya ingatkan di atas.

Well, atau mungkin ada yang ga mual karena udah kebiasa baca? IDK, yang jelas ini kali pertama Prythalize bikin yang macam ini. Engga, saya ga phycho, defenitely no!

Sebenarnya saya galau mau up Aqua dulu atau revive, dan karena Aqua gantungnya setengah mampus, nanti baru saya up deh. Nanti, entah besok, lusa, atau kapan.

Oh ya, don't forget to read my another story:
1. Aqua World (genre: Fantasy, sci-fi & adventure)
Tentang aku dan bumi yang tenggelam.
2. The Lost Memories (genre: Fantasy)
Mainstream, malaikat yang jatuh cinta sama manusia.

Promo dua aja deh, daripada nanti jadi koran :v

CINDYANA H

🔪

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro