Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15th

Suatu hari nanti,  ayo kita pergi melihat bintang bersama-sama!

***REVIVE***

Pearl Cafe adalah sebuah rumah makan sederhana yang sangat menarik perhatian. Letaknya tidak di jalan yang ramai dengan hunian, namun menjadi incaran bagi orang-orang yang memang sedang melakukan perjalanan jauh, karena letaknya ada di antara dua kota.

Sebelumnya, aku tidak tahu bahwa cafe itu cukup terkenal sampai-sampai bisa masuk di aplikasi yang ada di map. Namun setelah kupikir-pikir lagi, mereka mungkin menambahkannya karena sebuah kebutuhan dan permintaan.

Seperti yang pernah kusebutkan sebelumnya, Averlynda—pemilik cafe—pernah mengatakan padaku bahwa cafe itu adalah satu-satunya tempat makan yang ada di sepanjang lima ratus meter. Orang-orang yang biasanya berpergian pagi-pagi dari kota satu ke kota lainnya akan melewati tempat ini. Kupikir aku tidak akan pernah bertemu dengan mereka berlima, mengingat hidupku kini sudah tidak lagi bersama kebebasan.

Dari ponsel pintar milik Rex, disebutkan bahwa Pearl Cafe buka pukul lima subuh. Kupikir Rex juga tidak punya pilihan lain selain membelokkan mobilnya ke tempat parkir yang disediakan cafe. Dia pasti benar-benar kelaparan.

Tadinya, jika Rex menolak, aku akan membujuknya dengan mengatakan bahwa mereka memiliki sup yang lezat.

"Regina, aku mau pom ke bensin dulu, kau pesankan makananku juga, ya," pesan Rex saat aku melepas sabuk pengamanku.

Aku melirik lambang tangki bensin yang ada di depan kemudi Rex. Masih tersisa dua balok lagi sebelum mendekati huruf E.

"Apa pom bensinnya jauh?" tanyaku sambil menggeser layar untuk mencari.

Baru hendak memasang kembali sabuk pengaman, Rex menahanku. "Tidak jauh, aku pernah mengisi bensin di sekitar sini. Kau keluar, ya, pesankan makananku juga."

Aku mengerutkan kening, "Aku tidak tahu kamu mau makan apa," ucapku seadanya.

"Aku tidak pemilih. Pesankan apa saja, terserahmu," ucapnya.

Sebelum membuka pintu dan keluar dari mobilnya, aku menatapnya dengan tatapan curiga, "Kamu tidak akan meninggalkanku, kan?"

Rex menahan tawanya, lalu menekan tombol di sisi kanan pintu untuk membuka pintu yang terkunci pada semua pintu mobil. "Dari perjalanan rumah ke sini, berapa lama?" tanyanya.

Aku memperhatikan jam mobil. "Hampir dua jam?"

"Pikir saja sendiri, mengapa aku mau menjemputmu saat kau menelepon kemarin, kalau memang aku berniat meninggalkanmu," sahutnya yang membuatku terbungkam agak lama, mulai berpikir.

Hm, benar juga.

Aku sudah menutup pintu mobil, namun Rex menurunkan kaca jendela mobilnya dan menahanku agar jangan pergi dulu.

Dia segera mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang tunai seratus ribuan, lalu menyerahkan dompetnya kepadaku.

"Eh? Apa ini?" tanyaku sembari menerima dompet kulit itu dengan bingung.

Kupikir dia akan memberikan beberapa lembar uang itu padaku alih-alih dompetnya. Terkadang, Rex memang bisa menjadi sosok yang paling tidak bisa ditebak di dunia ini.

"Ini dompet," jawabnya sambil mengerutkan kening.

"Bukan. Maksudku, mengapa kamu memberikanku dompetmu?"

"Aku hanya perlu segini untuk mengisi bensin sampai penuh," jawabnya, malah ikut kebingungan. "Lagipula nanti aku akan kembali ke sini untuk makan."

Jangan minta aku menjaga barang milik orang lain, karena selama menjaganya, aku akan menghabiskan semua waktuku untuk memikirkan bagaimana caranya mengembalikan barang itu secara utuh, tanpa kekurangan.

Rasanya seperti diberi tanggung jawab yang besar. Aku juga tidak berani. Berapa pun uang atau kartu kredit yang ada di dalam sana pastinya sangat banyak. Aku tidak yakin kalau menjual semua organ tubuh sekali mati bisa membayar seperempatnya.

"Anggap saja itu jaminan kalau aku akan kembali," bujuknya sambil menggerakkan tangannya seperti gerakan mengusir. "Sana, masuk."

Meskipun ragu, pada akhirnya aku menyimpannya dalam tas pemberian Rex yang berisi kotak racun dan kini juga berisi dompetnya. Sesekali, aku berbalik ke belakang untuk memeriksa keadaan, dan saat kuperhatikan, Rex baru menjalankan mobilnya setelah aku sudah masuk ke dalam cafe dan menutup pintunya.

Suara lonceng pelan terdengar memenuhi cafe. Kuperhatikan cafe itu dari sudut ke sudut, tidak ada yang berubah, baik tata meja, dekorasi maupun atmosfir dalam ruangan itu. Satu-satunya hal yang aneh adalah bahwa aku tidak menemukan Verlyn yang berjaga di kasir.

"Permisi ...."

Verlyn tiba-tiba muncul dari balik pintu, lalu menghela napas lega. Barang yang disembunyikannya di belakang punggungnya akhirnya diperlihatkannya. Aku cukup kaget saat melihat Verlyn menyimpan pistol itu di pinggangnya.

"Rupanya kau, Regina," ucapnya sambil melangkah mendekatiku.

"K-kau punya pistol?" tanyaku terbata-bata.

Verlyn menatap pinggangnya sejenak, lalu menerangkan, "Oh, ini. Belakangan ini banyak anak muda yang datang merusik cafe ini pagi-pagi buta. Beberapa hari yang lalu, mereka memecahkan kaca jendela dan membuat mobil konsumenku lecet, jadi aku membawa pistol untuk berjaga-jaga."

"Oh ...."

"Tidak perlu takut," ucapnya.

Sebenarnya aku tidak takut mati karena tertembak, hanya takut merasakan betapa panasnya peluru itu jika tertanam dalam tubuhku. Pasti rasanya sangat sakit.

"Ngomong-ngomong, kau datang sendirian?" tanya Verlyn sambil mengintip keberadaan parkiran yang kosong.

"Aku datang dengan orang yang menjemputku kemarin, tapi dia sedang pergi mengisi bensin," jawabku.

Verlyn mengangguk, lalu menunjuk satu meja yang kursinya telah diturunkan, "Ayo, duduk."

Aku pun duduk. Sedang memikirkan nama menu yang akan kupesan untuk sarapan hari ini, tiba-tiba Verlyn bertanya.

"Apa kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa. Memangnya ada apa?" tanyaku balik.

"Apa kau tidak merasa ada yang aneh dengan temanmu yang bernama Re-Reu...."

"Rex," ralatku sambil menatapnya bingung. "Ada apa dengan Rex?"

"Kau tidak merasa ada yang aneh?" tanyanya lagi, yang membuatku mulai berkeringat dingin.

"Tidak ada. Kenapa, sih?"

Meskipun terkesan tenang, sebenarnya aku sedang merasa sangat terancam dengan pertanyaan yang dilontarkan Verlyn. Dia adalah manusia, makhluk paling berbahaya yang harus kuhindari. Dan ucapan Verlyn benar-benar membuatnya terkesan seperti mengetahui sesuatu.

Tersadar oleh sesuatu yang janggal, aku bertanya lagi, "Dan darimana kamu tahu namanya?"

"Kemarin, dia datang di cafe ini dan berkelahi dengan salah satu pelangganku," sahut Verlyn yang sebenarnya lebih terdengar seperti melapor.

"Berkelahi?" tanyaku tidak percaya.

Aku memang tidak terlalu mengenal Rex, aku tidak tahu apakah sebenarnya dia memang sekanak-kanakan itu untuk berkelahi dengan orang lain di tempat publik seperti itu, tapi entah mengapa aku agak meragukan informasi dari Verlyn.

Verlyn yang sepertinya menyadari bahwa aku sedikit meragukannya, langsung menunjuk salah satu kamera keamanan yang dipasangnya di sudut ruangan.

"Kalau kau tidak percaya, aku bisa putarkan untukmu," ucapnya.

"Tidak perlu, terima kasih," ucapku pada akhirnya. "Aku akan menyuruhnya minta maaf langsung denganmu saat dia kembali nanti."

"Bukan masalah itu, Regina," ucap Verlyn yang membuatku kembali menatap ke arahnya. "Kau tidak apa-apa dengan laki-laki seperti itu? Biasanya laki-laki dengan temperasional tinggi seperti itu bisa melakukan apa saja, mereka bisa melukai siapapun."

Baiklah, aku semakin ragu dengan Verlyn dan juga Rex. Aku belum melihat rekaman CCTV yang merekam kejadian kemarin. Jika Verlyn mengatakan kebenarannya, itu berarti selama beberapa hari ini, Rex belum menunjukkan sifat aslinya kepadaku. Padahal, tinggal bersamanya selama beberapa hari membuatku berpikir bahwa Rex adalah pemuda yang suka menggoda dan mengganggu.

Ucapannya memang terkadang menusuk hingga ke ubun-ubun, tetapi Rex hanya mengatakan apa adanya, dan itulah kenyataannya.

"Rex belum pernah marah padaku," ucapku sejujurnya kepada Verlyn.

"Jadi kau baru mengenalnya dalam waktu dekat?" tanya Verlyn, memperlihatkan ekspresi terkejut. "Regina, kau harus tahu betapa liciknya laki-laki untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan."

Beberapa hari yang lalu, aku mendapat pelajaran hidup dari Rex yang memintaku untuk lebih waspada dengan manusia, dan Verlyn adalah manusia. Hari ini, Verlyn memberikanku anjuran untuk tidak mempercayai laki-laki, dan Rex adalah laki-laki. Mereka berdua seolah memintaku untuk tidak mempercayai satu sama lain.

Situasi ini memang membingungkan, tetapi tentu saja aku sudah tahu siapa yang harus kupercaya.

"Aku tahu Rex tidak akan marah tanpa alasan. Bisa saja pelangganmu kemarin berbuat kesalahan padanya," ucapku yang sebenarnya terdengar sangat membela Rex.

Rasanya sedikit tidak enak, mengatakan hal seperti itu di depan Verlyn, mengingat niat baik Verlyn adalah untuk membantuku. Tetapi dia tidak tahu apapun mengenai masalah yang menimpaku. Aku hanya perlu mendengarkan kata Rex, bahwa aku hanya bisa mempercayainya di dunia ini.

"Kalau begitu, aku berharap kau tidak berbuat kesalahan padanya. Aku benar-benar tidak ingin kau merasakan momen terpahit di hidupmu."

"Terima kasih," ucapku.

Sudah kubilang, Verlyn tidak tahu apapun. Aku sudah melewati momen paling pahit di hidupku. Ditusuk, dipotong ..., dan dimakan. Rasanya semua anjuran yang diberikan Verlyn tidak bisa mendeskripsikan apapun yang disebutnya pahit, karena sesungguhnya aku telah mengalaminya secara langsung.

"Aku tidak menyangka cinta bisa membutakanmu, Regina."

Tentu saja ucapan Verlyn sukses membuatku melotot. Apa-apaan maksudnya itu? Dibutakan cinta? Dia pikir hidup ini sebatas skenario drama picisan itu?

Karena tidak ingin berdebat panjang dengan Verlyn, akhirnya aku tidak menyangkal ucapannya yang satu itu sama sekali.

"Kau ingin memesan apa?" tanyanya pada akhirnya.

"Sup yang kemarin, dua ya," ucapku sembari melemparkan senyum—walau sebenarnya aku sedang tidak ingin tersenyum.

"Arthur atau Ardan belum datang, jadi rasanya mungkin akan sedikit berbeda. Tidak apa-apa, kan?" tanya Verlyn.

Aku menggeleng, masih tersenyum, mengatakan bahwa itu tidak masalah. Verlyn masuk ke dalam dapur untuk menyiapkan pesananku.

Di sini, aku mulai memikirkan hal yang terjadi denganku dan Verlyn sebelum aku tinggal di kastel Rex. Aku mulai merasa tidak tahu diri karena tidak menunjukkan rasa terima kasih sedikit pun kepada Verlyn yang sudah berbaik hati menyelamatkan orang asing sepertiku.

Tapi sungguh, aku tidak bermaksud melakukannya dengan sengaja. Ada beberapa hal yang kupertimbangkan dan kupikirkan matang-matang. Verlyn memang menyelamatkanku dan membawaku ke cafe ini, tetapi dia bukan penyelamat hidup, karena aku tidak bisa mati. Meski begitu, dia tetap masuk di listku sebagai seorang penyelamat.

Masalahnya, dia benar-benar tidak punya sedikit pun hak untuk memintaku menjauhi Rex. Karena sekarang, aku mulai benar-benar tersesat dan tidak tahu apa yang harus kulakukan jika Rex tidak ada di dunia ini untuk memberiku petunjuk.

Setelah beberapa saat kemudian, Verlyn keluar dari pintu tempat ia masuk tadi dan membawa keluar nampan berisi dua mangkuk dan dua piring nasi. Uap panas tipis yang berasal dari hal yang diangkut di nampan juga mengeluarkan aroma sedap yang menggiurkan selera.

"Maaf membuatmu menunggu," ucap Verlyn sambil meletakan pesananku di atas meja.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sembari mengatur tata letak piring dan mangkuk yang sepertinya memang sudah menjadi kebiasaanku, entah sejak kapan.

"Jadi, di mana temanmu itu?" tanya Verlyn sembari menarik kursi untuk duduk di sampingku.

Aku mencari keberadaan jam dinding digital yang dipasang di Pearl Cafe. Sudah setengah jam berlalu dan Rex tidak kunjung kembali.

"Mungkin sedang dalam perjalanan kemari," jawabku mencoba optimis.

Verlyn tidak mengatakan apapun, hanya duduk membisu di depanku, yang membuatku mulai berpikir bahwa ceramah sesi kedua akan segera dimulai jika Rex tidak secepatnya datang. Dan dugaanku tidak sepenuhnya salah.

"Regina, kau tidak mau berpikir ulang lagi? Aku bisa membantumu keluar dari situasi rumit seperti ini," ucapnya.

Usai menyesap sup buatan Verlyn yang juga terasa enak, aku menjawab, "Ini bukan situasi yang rumit."

Baiklah, itu jawaban bohong. Kalau aku jujur dan menceritakan segalanya kepada Verlyn, aku mulai berpikir, masalah apa yang akan dinamakannya.

"Berapa umurmu?"

"Aku sudah delapan belas tahun."

"Kau baru delapan belas tahun, Regina. Dan apa kata orangtuamu kalau tahu bahwa putrinya pergi dengan orang yang tidak dikenalnya?"

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat mendengar Verlyn mengatakan tentang 'orangtua'. Sedih, kesal, marah dan kecewa menjadi satu. Kenyataan bahwa orangtua kandungku mencampakkanku dan dua makhluk yang tidak ingin kuketahui keberadaannya itu membuatku muak. 

"Kalau kamu ingat tentang aku membicarakan aku yang hampir dijual, pelakunya adalah mereka," ucapku dengan nada serius. "Dan soal Rex, itu benar-benar urusanku. Aku senang kamu bersedia meluangkan waktumu untuk khawatir denganku, dan aku juga tahu bahwa aku adalah orang asing yang tidak tahu diri kepadamu. Tetapi tolong, jangan menasehatiku seolah kamu mengetahui semua cerita hidupku."

Aku tahu, ucapanku akan membuat Verlyn terbungkam, dan aku berharap dia akan terbungkam sampai Rex datang nanti.

"Niatku hanya ... ingin membantumu, maaf kalau kau malah tersinggung," ucapnya dengan penuh penyesalan. "Aku pernah mengikuti orang yang sangat kupercayai dan ternyata semuanya jauh berbeda dari apa yang kubayangkan. Percayalah padaku, Regina, aku pernah berdiri di posisimu saat ini."

Kenyataannya, dia tidak pernah.

Ucapannya yang terdengar sedih pada akhirnya membuatku merasa bersalah juga. Sekarang, aku mencoba menangkap maksud kebaikannya dari sisi manusia. Verlyn mungkin hanya takut aku kehilangan masa mudaku dengan pergi bersama lelaki asing dan melakukan hal-hal buruk yang dilakukan oleh remaja di jalur yang salah, tapi kenyataannya, aku dan Rex tidak seperti itu.

"Baiklah, terima kasih," ucapku dengan nada pelan, pada akhirnya.

Keheningan di cafe tiba-tiba saja dipenuhi suara dering ponsel yang pastinya berasal dari Verlyn—karena aku tidak memegang ponsel. Verlyn memeriksa layarnya sejenak, sebelum mengangkat telepon.

"Halo?"

Keheningan terjadi cukup lama, sampai akhirnya dia menyerahkan ponselnya kepadaku. Sebelum menerima ponsel itu, aku menunjuk diriku sendiri dan memastikan bahwa dia memang mendedikasikanny untukku.

"Halo?"

"Regina, ini aku."

Aku tersentak kaget, "Rex? Ada apa?"

"Ada kebakaran di pom bensin saat aku mengisi tangki, dan aku mati karena ledakan," ucapnya dari balik telepon.

Aku langsung berdiri dari dudukku dengan cepat, sampai-sampai kakiku terbentur sudut meja. Setelah meminta izin lewat bahasa insyarat kepada Verlyn untuk membawanya ke depan untuk perbincangan yang lebih privat, aku kembali bertanya.

"Pom bensinnya meledak?" tanyaku, memastikan bahwa aku memang tidak salah mendengar.

"Iya, meledak. BOOM!"

"Mengapa bisa?" tanyaku sembari mengabaikan candaannya yang tidak lucu itu.

"Entahlah. Aku tidak tahu darimana apinya berasal."

"Apa aku perlu mencari toko pakaian terdekat?" tanyaku ragu.

Rex tertawa dari seberang telepon, "Tidak perlu, aku lahir di rumah. Ada banyak pakaian di sini. Kau di sana dulu sampai aku datang menjemput, ya?"

Sebenarnya, untuk orang-orang yang tidak mengetahui nasib ajaibku dengan Rex, akan berpikir bahwa perbincangan yang kami lakukan sama sekali tidak ada hubungannya.

"Kau tidak akan kelaparan?" tanyaku lagi.

"Lapar, tapi apa boleh buat? Kau habiskan makananku saja, ya, biar lebih gemuk sedikit."

Aku menyela, "Percuma. Nanti kalau mati lagi, aku akan kembali kurus."

Jeda panjang dari ujung telepon, yang membuatku memeriksa apakah telepon masih tersambung atau tidak, dan rupanya memang masih tersambung. Antara Rex yang sedang membisu atau memang jaringan di tempat ini yang buruk.

"Halo, Rex?"

"Aku tidak akan membiarkanmu merasakan kematian lagi, Regina."

Baru saja hendak menjawab, dia kembali menyela, "Sudah dulu, aku tutup dulu teleponnya. Kau tunggu di sana saja."

Dan BEEP, dia benar-benar menutup teleponnya tanpa membiarkanku merespon apapun.

Aku pun kembali ke mejaku dan mengembalikan ponsel pada pemiliknya.Verlyn yang sepertinya melihat perubahan mimik wajahku pun bertanya.

"Kenapa?"

"Rex sepertinya sedang ada urusan penting dan dia memintaku menunggu di sini sampai dia kembali, karena—"

"Ah, iya, lebih baik kau menunggu di sini saja," sela Verlyn. "Lebih aman."

Aku akhirnya mengangguk ragu, "Baiklah, terima kasih."

Itu membuatku antara senang atau malah cemas. Mungkin aku memang harus mendengarkan cerita pengalaman hidup dari Verlyn hari ini.

***TBC***

19 Juni 2018, Selasa

A/N

2300 kata. Phew.

Menulis Aqua World dan Revive memang membutuhkan effort yang lebih besar dan memakan waktu dua malamku haha, tapi tenang, aku akan berjuang untuk update setiap minggu.

FYI, kalau kalian tidak tahu, jadwal updatenya masih sama seperti jadwal kemarin yaitu AQUA-REVIVE-AQUA-REVIVE dan aku akan update setiap hari sabtu/minggu secara selang-seling.

Oke, kuingatkan juga kalau aku sangat ngaret, jadi itu bukan jadwal pasti. Yang jelas, aku akan BERUSAHA buat update demi kalian dan demi diriku sendiri juga.

Ada hal yang membuatku ingin menyalahkan diri sekali lagi hari ini karena lagi-lagi aku belum menunjukkan konflik yang akan dihadapi oleh Rex dan Regina, tapi setelah kubaca ulang, aku mencoba menghibur diri dan mengatakan,

"Cin, tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha. Ini batas Revive yang bisa kamu buat, tapi kamu sudah berusaha."

#SelfReminder. Aku tahu suatu hari nanti aku akan membuka chapter ini lagi untuk revisi atau editing minor, tapi, aku juga perlu mengingatkan diriku yang ada di masa depan itu. Dia nggak boleh keenakan, karena sekarang aku ngetiknya tengah malam. 

Oke, aku akan melanjutkan APPETENCE yang belum kuupdate untuk porsi kemarin. Seandainya memang tidak bisa, aku akan update dua part untuk porsi kemarin dan hari ini.

GANBARE, PAUS.

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro