Review Cerpen "Di Bawah Pohon Kersen"
Aku memilih cerpen ini pertama-tama karena kusuka buah kersen sejak masih anak-anak dan sekarang anak-anakku pun menyukainya. Alasan berikutnya karena menurutku cerpen yang hadir di halaman Cerpen Kompas Minggu tanggal 23 Mei 2021 ini agak beda dengan cerpen-cerpen Kompas Minggu biasanya.
Cerpen-cerpen dalam terbitan Kompas hari Minggu merupakan bagian dari sastra koran yang melambungkan nama-nama penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Taufik Ikram Jamil, Nurzain Hae, dll (http://sastra-indonesia.com/2017/10/sastra-koran/). Muatan yang diusung biasanya tentang tema-tema sosial, politik, dan moralitas.
Bukan hal yang mengherankan kalau menemukan cerita pendek yang cenderung aneh di salah satu Kompas edisi Minggu karena hehe ... yah begitulah ... aku memilih menikmatinya meskipun kadang pemaknaannya baru kutemukan beberapa hari, atau bulan, atau bahkan bertahun-tahun berikutnya haha.
Dalam cerita ini, yang menarikku lebih jauh untuk menelaahnya adalah kalimat pertama:
"Aku berada di atas batang pohon kersen yang kuberi nama Tuwut bersama buku gambar bajak laut dan bolpen merah yang kucuri dari meja kerja Papi."
Deskripsi awal tentang si Aku di atas pohon - ini menarik sekali buatku -- apalagi karena di sini nama si Pohon Kersen disebutkan lebih dulu daripada nama tokoh manusianya. Diceritakan pula si Aku di atas pohon bersama buku gambar dan bolpen dari meja Papi, menunjukkan bahwa dia seorang anak, meskipun di awal belum jelas umurnya. Jarang-jarang cerpen Kompas memakai tokoh utama seorang anak.
Umur si Aku baru diceritakan di paragraf empat. Penulis membandingkannya dengan Sori, si anak tetangga. Namun sampai di sini masih belum jelas jenis kelamin si Aku. Di paragraf selanjutnya dikatakan si Aku membawa naik boneka-boneka kain ke atas pohon, memberikan petunjuk jenis kelamin si Aku. Barulah di paragraf ke-11, nama dan jenis kelaminnya menjadi jelas dari percakapan Mami dan Bu Madya.
Si Aku adalah anak perempuan 11 tahun bernama Mira yang suka memanjat pohon kersen bernama Tuwut. Penulis tidak menceritakan informasi penting ini sekaligus namun menyajikannya sepotong demi sepotong sehingga membuat pembacanya tidak bosan dijejali deskripsi tokoh.
Tokoh-tokoh lainnya dalam cerita ini adalah Papi, Mami, Tuwut si Pohon Kersen, dan para tetangganya: Sori dan Bu Madya.
Kedekatan Mira dengan orangtuanya ditunjukkan dengan keengganan Mira menerima ajakan Sori bermain di sungai karena lebih suka pergi ke sungai bersama Papi sambil menghabiskan bekal makanan dan minuman yang dibawakan oleh Mami. Hal ini ditunjukkan dalam paragraf ini:
"Sori mungkin sering melihatku bersama Papi di sungai. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Jika semua bekal makanan danminuman yang dibawakan Mami habis, barulah kami pulang ...."
Identitas Papi sebagai orang asing sebetulnya sudah ditunjukkan sejak paragraf awal, ketika mendeskripsikan tentang nama lengkap Sori, yaitu Anshori.
"... menurut Papi, akan lebih aneh lagi kalau namanya lengkap disebutkan, yakni Anshori. Papi pikir itu berarti "Maafkan aku." Mungkin bagi Papi itu terdengar sebagai "I'm sorry." Pada akhir bagian pertama baru dijelaskan secara gamblang bahwa Papi berdarah Skotlandia, sementara Mami berdarah Jawa.
Cerpen ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menunjukkan deskripsi tokoh, karakterisasi, setting.
Setting cerita ini tidak disebutkan secara jelas lokasinya. Namun tersirat rumah Mira berada di atas bukit dari kalimat berikut: "Dari atas pohon aku juga bisa melihat bagian utama dapur .... Aku bisa pula melihat bagian belakang rumah Bu Madya di bawah bukit sana."
Dan mengingat Sori mengajak Mira bermain di sungai dalam bahasa jawa: "Nang kali, yok!" maka kemungkinan besar lokasinya ada di Jawa bagian Tengah sampai Timur.
Jika dari awal cerpen ini, tone-nya ringan terasa seperti cerita anak-anak yang manis, maka menjelang akhir bagian pertama muncul konflik ringan yang bersumber dari perdebatan Papi dan Mami. Meskipun keduanya berbeda pendapat soal julukan yang "munyuk bule" yang diberikan tetangga kepada Mira, tetapi Papi-Mami menyelesaikan perdebatan dengan mesra, disaksikan oleh Mira dari atas pohon. Isi perdebatan itu sendiri menjadikan cerpen ini lebih berat untuk sebuah cerita anak.
Dalam perdebatan yang menjadi amanat kisah ini, Papi menjelaskan prinsip-prinsip kearifan alam. Kearifan alam adalah salah satu tema yang jarang diangkat. Istimewanya pada cerpen ini, tokoh yang dipakai untuk menyuarakannya adalah seorang asing, bukan penduduk lokal.
Papi menjelaskan pada Mami bahwa Tuwut berperan sebagai "guru" dan "teman" bagi Mira. Sedikit banyak cerpen ini mengingatkanku pada buku "the Giving Tree" karya Shel Silverstein. The Giving Tree juga yang mengusung kearifan alam melalui kisah persahabatan antara sebatang pohon dan seorang lelaki yang berlangsung sejak lelaki itu masih anak-anak sampai tua renta.
Bagian kedua langsung masuk ke peristiwa yang menjadi konflik utama dalam cerita ini. Dikisahkan malam itu ada empat lelaki yang menerobos rumah Mira. Papi menyuruh Mira bersembunyi dengan Tuwut. Selanjutnya dikisahkan Mira dapat merasakan Tuwut memeluk, menghangatkan dari angin malam, dan menimang-nimang, menidurkan.
Di sini selain sebagai guru dan teman, Tuwut juga berperan sebagai seorang penjaga.
Peristiwa keji yang terjadi di dalam rumah diceritakan melalui suara yang didengar Mira dariatas Tuwut. Bagian ini sungguh membuat hati terenyuh setelah sebelumnya disuguhi kisah keluarga harmonis dan relasi dengan alam yang manis.
Bagian akhir kisah ini dibiarkan terbuka dan diakhiri dengan Mira yang tidak ingin turun dari Tuwut karena hanya bersama Tuwut dia merasa aman. Apakah ini adalah penggambaran kearifan alam yang terampas oleh keserakahan manusia?
Entahlah, bagaimana menurutmu, Gaes?
Tentang Penulis Cerpen "Di Bawah Pohon Kersen"
Atta Verin adalah ibu penuh waktu, penulis, penerjemah, dan pegiat literasi. Novel terjemahannya antara lain "Namaku Merah Kirmizi (Orphan Pamuk 2006 - diterjemahkan bersama Anton Kurnia). Saat ini beliau bergiat di Ponggy (Ponggok Green Library) , sebuah perpustakaan dan area kreatif di Desa Ponggok, Klaten.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro