78. The Cursed Prince #SuChen #BaekChen Ⅲ
❥❥❥
"Hey, Cantik... mau ke mana? Main sama kita-kita dulu, yuk."
Seharusnya mereka mengabaikan Chen saja, seharusnya begitu, namun ketika tubuh Chen terhuyung kala ditarik oleh seseorang untuk bergabung ke tengah-tengah mereka. Belum sempat otaknya bereaksi dengan apa yang terjadi. Bokongnya sudah lebih dulu diremas dan bibirnya dicium paksa oleh seseorang yang mulutnya bau alkohol.
Chen berusaha memberontak, dia mendorong wajah seseorang yang tadi menciumnya.
"Wow! Wow! Wow! Wow! Kasar sekali!"
Chen menatap tajam orang yang tadi menciumnya dan kini bicara dengan mulutnya yang bau alkohol itu. Demi Tuhan, Chen ingin muntah. Kini dia bahkan mengusap-usap bibirnya dengan lengan bajunya.
"Minggir kalian bedebah menjijikkan, aku ingin lewat," umpat Chen dengan wajah yang memerah.
Dia berusaha mengambil kembali obornya yang tadi direbut oleh salah seorang dari mereka, namun perbedaan tinggi keduanya membuatnya kesulitan karena pria tinggi itu dengan sengaja mengangkat tangannya dengan senyum mesumnya itu.
"Hey, duduk lah bersama kami. Mengapa terburu-buru sekali? Apa ada setan yang tengah mengejarmu, Cantik?" tanya seorang pemuda dengan dua botol arak dikedua tangannya.
Perawakannya agak pendek, rambutnya hitam cepak, matanya belo, bibirnya berisi dan kulitnya bagus, dia cukup tampan. Chen mungkin saja akan jatuh cinta pada pemuda ini andai saja ia tidak urakan dan bukan di tempat ini mereka bertemu.
"Apa kau mau aku mengusir setan-setan itu untukmu? Tentu saja kau harus mau menemani kami minum-minum dulu di sini." Dia lalu mengakhiri omong kosongnya dengan tertawa.
Mengabaikan ocehan pemuda itu. Sekali lagi, Chen menepis tangan mereka yang berusaha memegang-megang tubuhnya.
"Sialan! Menjijikkan! Tak bermoral! Menyingkir lah dariku!" Chen hampir menangis.
Namun siapa yang peduli, justru reaksi Chen yang terlihat lemah ini lah yang membuat mereka semakin merasa di atas awan dan terus menggodanya.
"Pemuda manis itu tidak boleh kasar, nanti jodohnya kesasar," ejek salah seorang diantara mereka dengan kekehan diakhir kalimatnya.
Jalan pulang menuju rumah pemuda itu memiliki dua rute. Rute pertama cukup dekat, akan tetapi harus melewati hutan berkabut dan setra-pemakaman sementara-terlebih dahulu yang sialnya selain amat seram karena sering muncul menampakan, juga banyak jurang dan jalan-jalan licin yang sudah sangat sering memakan korban jiwa.
Sedangkan rute kedua adalah jalan setapak yang cukup jauh, namun aman dan nyaman. Sayangnya jalan tersebut sering digunakan oleh para pemabuk dan penjudi dipinggir jalannya.
Chen tentu saja cukup penakut untuk memilih rute pertama. Hari ini tidak ada ayahnya yang menjemputnya seperti biasa, lantaran pria separuh abad itu harus merawat istrinya yang terluka akibat tidak sengaja terjatuh dari atas kuda. Chen pikir, dia cukup beruntung untuk melewati orang-orang berandalan ini karena dia juga lah laki-laki.
"Aku harus pulang. Menyingkir dari hadapanku atau kalian akan menyesal." Chen menatap satu per satu pemuda kumal di hadapannya. Tangannya mengepal menaham kekesalan. "Kalau kalian ingin mencari seorang pelacur, carilah keberuntungan kalian di selokan!"
"Astaga, tidak sopan sekali ingin pulang ketika tengah diajak bicara," kata pemuda bertubuh tinggi dengan telinga lebar, "dan apa itu? Mulutmu pedas sekali, Cantik. Sini aku cium dulu agar bicaramu lebih manis sedikit."
"Kau pikir siapa yang tak sopan di sini!"
"Duh, jangan marah-marah gitu dong, nanti tak ada yang mau menikah denganmu, loh?"
Dia mendekatkan wajahnya pada Chen. Memiringkan kepalanya dengan bibir monyongnya yang bikin merinding.
Chen menendang selangkangan laki-laki itu. Dak!
"Aduh!"
Yang lainnya justru tertawa melihat rekannya kesakitan.
"Dasar Chanyeol bodoh!"
"Seret Chanyeol ke kuburan, burung pipitnya sudah tamat."
"Bedebah kalian! Berisik banget!" umpat Chanyeol. "Dan punyaku bukan burung Pipit, tapi Rajawali."
"Biarkan dia pulang dengan aman, kalian tidak berhak memperlakukan penduduk lemah yang seharusnya dilindungi seperti ini."
Diantara suara-suara yang mengoloknya habis-habisan, tiba-tiba terdengar suara lembut lagi tegas di antara kerumunan berandalan itu. Chen sungguh penasaran, dia seperti diselamatkan, namun takut untuk berharap demikian.
"Aku tidak pernah melihatmu, siapa kau?" tanya Chanyeol.
"Ada yang kenal orang sok baik ini?" kata Kai.
"Mungkin dia kenalannya Si Pemuda Manis yang menggoda kita tadi?" sahut Lay.
Sehun merangkul pundak Chen sok akrab, memepetkan jarak mereka menjadi terlalu intim dan mentoel dagunya. "Cantik, kau kenal orang sok baik yang berdiri di depan itu?" tanyanya.
Chen mengabaikan Sehun, dia menatap sosok rupawan yang bersembunyi di antara bayangan kegelapan di antara pohon-pohon tinggi itu.
"Dia ketakutan, tolong lepaskan dia."
Chanyeol mengambil parang, disusul Kai dan Kyungsoo yang mengambil belati, dan Lay yang mengambil kayu besar dengan ujung yang amat tajam. Mereka berjalan dengan angkuh ke arah sosok yang bersembunyi di kegelapan itu, mengacungkan senjata mereka seakan siap menghabisi orang itu kapan saja.
Chen sungguh ketakutan, dia tak menyangka akan berakhir dengan pertumpahan darah. Ketika ketiga orang itu menerjang sosok yang semula membelanya, Chen segera menutup matanya dengan kedua tangannya.
Dia tak ingin melihat apa yang selanjutnya terjadi. Jelas itu berita buruk. Chen tak kenal siapa orang itu, tapi yang jelas keempat orang berandalan yang menggangunya ini terkenal bengis dan tak ada ampun.
Beberapa saat kemudian setelah suara bak buk bak buk dan bunyi teriakan serta suara tulang patah, seseorang yang merangkulnya sejak tadi tiba-tiba melepaskan pundaknya, suara pecahan botol alkohol kemudian terdengar bersamaan dengan bau menyengat alkohol yang menusuk hidung, lalu dia seperti berlari - sambil berteriak bajingan - mungkin bergabung bersama ketiga temannya. Lalu tak lama kemudian terdengar suara seseorang jatuh ke tanah. Lalu sunyi.
Bau darah yang terbawa angin seketika tercium diindra penciuman Chen. Dengan keringat dingin yang masih mengalir dari pori-pori. Dengan perlahan, dengan perasaan berdebar hebat, Chen membuka kedua matanya. Liquid bening yang bersembunyi di balik kelopak matanya seketika jatuh, mengalir dipipinya. Rasanya begitu sejuk saat tersapu angin malam.
Kini, di depan mata Chen. Tubuh-tubuh yang sejak tadi mengintimidasinya itu terkapar tak berdaya di atas tanah, dengan sekujur tubuh lebam-lebam dan berdarah. Mereka semua tak sadarkan diri.
Sambil menutup mulutnya sendiri, Chen memekik syok sampai bokongnya terduduk di tanah. Batinnya: monster seperti apa yang telah menjatuhkan mereka semua dalam sekejap mata?
Lalu sebuah tangan mengulur di samping Chen yang masih menatap berandalan-berandalan itu tak percaya, kala Chen menoleh padanya, sosok yang semula dilihatnya bersembunyi di antara kegelapan itu kini tengah tersenyum seterang rembulan malam ini kepadanya.
Jarak mereka berdua amat dekat, namun disaat yang bersamaan Chen merasa mereka berdua berada di dunia yang jauh berbeda.
"Kau tak apa-apa?"
Chen terkesiap. Dia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menerima uluran tangan laki-laki itu. Chen lagi-lagi dibuat terkejut, tangan orang yang tampak selembut sutra itu nyatanya begitu kasar, seperti sebuah permata yang sudah sering tergesek bebatuan kali.
Chen mengulas senyum. "Terima kasih karena Tuan telah menolongku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku andai Tuan tak ada."
Pemuda dengan mata bulat dan kulitnya yang seputih rembulan itu membalas senyuman Chen. "Aku akan mengantarkan mu pulang," ucapnya mengalun lembut penuh wibawa, "tentu saja jika kau tak keberatan."
Tanpa sadar, sudut bibir Chen tertarik samar. Dia jatuh cinta pada pemuda yang menolongnya.
Chen mengangguk. "Jika aku tak merepotkan, Tuan. Aku akan dengan senang hati menerima kebaikan hati Tuan yang ingin memastikan keselamatanku."
Pemuda misterius itu mengambil obor milik Chen yang terjatuh sembarangan dan membukakan jalan untuk kemudian dilalui oleh Chen yang berjalan sedikit di belakangnya. Di sepanjang perjalanan, Chen sama sekali tak malu untuk terang-terangan memandangi wajah pemuda asing di sampingnya itu.
Hingga tanpa terasa, sosok itu berucap, "Kita sudah sampai."
Sesuatu yang benar-benar membuyarkan Chen dari lamunannya, sekaligus semakin menenggelamkan Chen ke dalam kekagumannya.
"Ooh, ya?" Chen tertawa canggung. "Aah, benar!"
Chen merutuki dirinya sendiri yang terlihat bodoh.
"Terima kasih banyak, Tuan."
Chen benar-benar masih ingin berlama-lama dengan pangeran yang telah menyelamatkannya ini. Hingga besok, hingga besoknya lagi, hingga besoknya lagi.
"Sekali lagi. Terima kasih banyak, Tuan. Berkat Anda, aku kini dapat pulang dengan selamat." Chen memegang telapak tangan orang yang telah menyelamatkan hidupnya itu.
Pemuda itu menarik tangannya dari genggaman Chen. Tanpa membalas perkataan Chen, dia berbalik memunggungi Chen, hendak pergi. Namun sebelum itu terjadi, Chen lebih dulu menggenggam tangannya kembali dan memanggilnya.
“Tuan, bolehkah aku tahu siapa namamu?”
Chen berharap, meski bukan malam ini, meski bukan hari ini, meski bukan esok hari. Chen berharap, mereka akan kembali bertemu dan ngobrol banyak.
“Aku Chen! Tuan bisa memanggilku Chen,” ujarnya memperkenalkan diri.
Pemuda yang wajahnya bagaikan rembulan yang dijauhi bintang-bintang itu menoleh pada Chen. Dia tersenyum sekilas, senyum yang begitu tipis bagai benang, namun begitu indah dan menyejukkan. Membuat hati Chen makin jatuh ke dalam pesonanya.
“Namaku Junmyeon.”
Chen tertegun, ketika mulut itu membuka memperkenalkan namanya, suaranya mengalun begitu lembut.
“Nama itu terdengar asing di Szivarvany, apakah kau berasal dari negeri seberang, Tuan?”
Chen pernah mendengar susunan nama yang mirip seperti nama pemuda itu, sudah sangat lama, mungkin sewaktu dia masih kecil, Chen pernah mendengar bahwa leluhurnya dulu memiliki nama yang mirip seperti ini sebelum akhirnya mati dimedan perang ditangan musuh.
Alih-alih menjawab, pemuda misterius bernama Junmyeon itu justru berlalu pergi tanpa mempedulikan panggilan orang yang telah ditolongnya. Menyatu dengan kegelapan malam. Chen menatapnya tanpa kedip, menatap punggung lebarnya hingga akhirnya tak terlihat lagi.
Chen berbalik, menatap rumahnya yang keseluruhannya terbuat dari kayu.
“Apa semua pria tampan selalu memiliki harga diri tinggi hingga diajak seorang pemuda asing berbasa-basi saja tak sudi?” gerutunya kesal.
Lalu, sesaat sebelum kakinya masuk ke dalam rumah di mana pintunya baru saja dia buka. Chen kembali berbalik, menatap semak-semak gelap di mana Junmyeon tadi menghilang.
Malam itu, di depan teras rumahnya, hanya ada Chen seorang, ditemani gelapnya malam, ditemani dinginnya malam.
Di tempat itu, tak ada siapa pun lagi selain dirinya, namun rasanya seperti ada seseorang yang sedang menatap Chen dari tempat yang sangat jauh.
Tempat yang sangat jauh yang bahkan tak bisa mengikis jarak diantara mereka.
"Omong-omong, dari mana Junmyeon tahu kalau aku tinggal di sini?"
***
Pagi-pagi sekali, bahkan ayam jago pun belum berkokok, tapi kedua orang tua Chen sudah heboh membangunkan putra sulung mereka tersebut.
Kepala Chen pusing, dia bahkan merasa baru saja merebahkan tubuhnya dan lagi, ini bukan jam di mana dia biasa bangun!
“Ada apa dengan mereka?”
Chen bangkit dari ranjangnya, ketika dia membuka pintu kamar, terlihatlah bahwa semua lentera di rumah mereka dinyalakan. Chen menyipitkan matanya; silau.
Tapi yang lebih membuatnya terkejut adalah, kini di rumahnya, ada banyak sekali barang-barang berkilau. Tumpukan baju-baju, karung-karung beras, patung-patung, bahkan emas yang menggunung.
Ketika adik perempuannya lewat, Chen menarik pergelangan tangan anak berusia delapan tahun itu.
“Hei, ada apa, sih?” tanyanya, “Cadelion, kau tahu sesuatu tidak?”
Anak perempuan berambut kepang itu menunjuk ke arah luar rumah. Dengan amat penasaran, Chen berjalan mendekati jendela untuk mengintip apa yang ada di luar sana.
Ketika dia membuka gorden, mata sipitnya seketika membelalak. Bagaimana tidak, kini, di depan rumahnya, ada banyak sekali prajurit Szivarvany.
Mereka sedang menurunkan barang-barang dari atas kereta kuda, untuk kemudian diletakkan ke dalam rumahnya. Chen menengok ke belakangnya, ke sekitarnya, berarti semua barang-barang ini juga lah turun dari kereta kuda kerajaan tersebut?
Tiba-tiba kepalanya bertambah semakin pusing.
"Chen, persiapkan dirimu. Kemas semua pakaian terbaikmu dan bersolek lah," ucap ibu Chen tegas, “mulai hari ini, kau akan keluar dari rumah ini.”
Chen yang masih bingung dikagetkan dengan ucapan seperti itu. “Ibu mengusirku?”
Wanita itu memegang kedua pundak Chen, menatapnya serius seakan berbicara dari mata ke mata. Chen menelan salivanya gugup. Padahal seingatnya ibunya masih sakit, tapi pagi ini, wanita yang telah melahirkannya itu tiba-tiba sehat walafiat lagi.
“Dengar, Nak. Pangeran Suho Acqua Rumorosa menginginkanmu sebagai pendampingnya.”
"Ha?"
Saking terkejutnya, yang keluar dari mulut Chen bahkan cuma angin.
Chen berpikir mungkin dia masih tidur dan saat ini sedang bermimpi. Mimpi indah dipersunting seorang pangeran. Tidur di kamar yang luasnya melebihi luas tanah rumahnya sendiri, setiap hari didandani dan memakai baju indah dengan taburan berlian, menyantap hidangan mewah setiap hari.
Tapi kemudian, Chen segera tersadar, saat ini dia bahkan cuma pakai kaos dan celana pendek belel bekas ayahnya. Mana mungkin hidupnya jungkir balik dalam semalam?
Sambil merapikan anak rambut putranya yang acak-acakan sehabis bangun tidur, wanita itu meyakinkan Chen.
"Karena mulai sekarang kau akan tinggal di istana, jaga tindak-tanduk mu dan bersikaplah selayaknya bangsawan meski pun kau berasal dari darah rakyat jelata. Mulai sekarang hidup kami bergantung padamu, Chen. Jangan membuat masalah yang dapat membuat keluarga kerajaan marah dan layani lah Pangeran Suho Acqua Rumorosa sebaik mungkin."
Chen masih tak mengerti. "Bagaimana bisa aku tinggal di istana, Bu?"
"Karena kau akan menikah dengan Pangeran Suho Acqua Rumorosa.”
Jika ini semua hanya mimpi. Maka Chen tak menginginkan mimpi ini berakhir, biarkan saja dia tertidur selamanya, menikmati mimpi indahnya.
***
Ada hal yang tak Chen mengerti. Seperti takdir, apakah takdir seseorang benar-benar telah ditetapkan sejak mereka masih dalam kandungan oleh Tuhan? Atau kah, ada seseorang yang begitu adikuasa hingga mampu mengendalikan takdir orang-orang seperti dirinya?
Itu adalah pemikiran sepintas yang ada dalam pikiran Chen saat pertama kali memasuki gerbang kerajaan Szivarvany. Saat gerbang setinggi tiga meter yang terbuat dari besi perak yang diukir indah itu terbuka untuknya.
Angin yang dihempas oleh gerbang perak tersebut menerbangkan anak rambut Chen, di mana dia mengeluarkan kepalanya untuk melihat keadaan luar.
Debu sedikit berterbangan, dia menyipitkan mata untuk itu. Lantas, kala kereta kuda yang ditumpanginya melaju masuk ke dalam halaman istana, sepasang mata Chen tak berkedip kala menyaksikan betapa megahnya bangunan istana kerajaan tersebut.
“Lebih indah dari yang ku lihat dikoran.”
Dan mulai sekarang dia akan tinggal di tempat ini.
Banyak pelayan dengan seragam hitam-putih dan prajurit lengkap dengan pedang, mereka berjajar di sekeliling jalan tempat kereta kuda yang ditumpangi Chen saat ini lewat, dengan malu, Chen menarik kembali kepalanya.
Sampai saat, pandangan Chen menangkap sesuatu yang terlihat aneh, seperti seorang anak kecil yang berlari-lari di belakang para pelayan dan prajurit tersebut?
Tingginya mungkin sepantar dengan adiknya Cadelion. Chen berusaha mencari-cari sosok anak kecil itu, sepertinya anak laki-laki? Lalu, dia menemukan keberadaan sosok yang dicarinya itu.
Dia tengah bersembunyi di belakang para prajurit, menatap Chen dengan matanya yang lebar dan gelap. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi Chen menebak mungkin umurnya sekitar 10 tahun.
Untuk sesaat, Chen bergidik ngeri tanpa alasan yang jelas. Dia lalu memalingkan pandangannya dari sosok yang masih terus menatap kereta kuda yang Chen tumpangi hingga Chen keluar dan masuk ke dalam istana.
Di dalam istana, Chen telah disambut oleh penguasa Szivarvany. Raja Michael Acqua Rumorosa dan sang permaisuri, Ratu Allesandra Acqua Rumorosa.
Ini adalah pertemuan pertama bagi rakyat jelata seperti Chen dapat bertemu dengan sang penguasa seperti ini dari jarak yang teramat dekat.
Chen terkagum-kagum, pemimpin negerinya terlihat sangat luar biasa dengan pakaian indah dan pesonanya yang agung.
Tapi Chen tak melihat keberadaan sosok seorang pria berusia 25 tahun yang mungkin adalah pangeran Suho. Berkat itu, senyum Chen sedikit luntur dan sangat dipaksakan.
Sang Ratu menyambut Chen dengan hangat. “Selamat datang di rumah barumu, Putra ku.”
❥❥❥ TBC .... ❥❥❥
Author notes.
Seharusnya udah selesai, tapi aku perang batin kalau cuma berakhir kayak gitu doang....
15 Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro