⁕ Sang Dewa dan Gadis yang Terseret Badai ⁕
Tidak seharusnya aku mengatakan ini, tapi ... berkat tsunami, aku justru bertemu dengan cinta sejatiku.
Seorang merman.
⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕
Sebelum kau melempari Madison dengan cacian egois dan semacamnya, kau harus tahu kalau tsunami itu justru membawa berkah yang lebih besar, sekaligus menguak misteri yang menghantui pulau terpencil itu.
Bertahun-tahun lamanya pulau ini dibuat ketakutan dengan ancaman gempa buatan. Dikelilingi oleh pulau-pulau lebih kecil yang dikuasai resor-resor mewah, pulau paling besar dengan penghuni empat ratus penduduk itu mulai dikunjungi buldoser-buldoser yang didiamkan pada dermaga.
Dermaga itu pun dibuat secara ilegal oleh perusahaan resor yang belakangan terkenal. Resornya milik pasangan artis fenomenal dari Barat, dan sayangnya cita-cita mereka didukung jutaan fans seluruh dunia yang tak peduli dengan nasib empat ratus penduduk ini. Lapangan pekerjaan? Bah. Kau tak tahu kalau gadis-gadis dan bujang-bujang yang dipekerjakan di pulau-pulau resor kecil itu dipaksa menerima pekerjaan malam yang memalukan.
"Sudahlah, bayarannya besar. Lagi pula mereka orang Barat—peduli apa mereka dengan kesucianmu?"
Penduduk pulau terpencil takut saat mendengar kisah-kisah tersebut. Tidak jarang mereka mendengar nasib kultur suku-suku yang tergerus oleh roda-roda uang. Mereka tidak mau seperti itu. Mereka berdoa pada dewa-dewi, tetapi ternyata Tuhan yang mengijabah.
Sebab dewa-dewi tak mungkin mau menggerakkan gelombang laut, tetapi tsunami lantas menghantam pulau tersebut.
⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕
Puing-puing berserakan. Berbagai alat berat yang menggetarkan tanah pulau terseret kembali ke laut ... ternyata sedemikian besar kekuatan tsunami yang bergulung-gulung mengguyur pulau. Dermaga ilegal hancur tak bersisa, bersamaan dengan pulau-pulau resor di sekitar yang terempas.
Madison, beserta 399 penduduk lainnya, tak tahu bagaimana mesti bereaksi. Benar rumah mereka hancur, tetapi mereka terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan goyang ombak. Kapal-kapal hanyut terombang-ambing dan mereka masih bisa tidur di sana. Buah-buah yang semalam dipersembahkan oleh para bujang di puncak gunung mati masih bisa disantap—tsunaminya tak sampai ke puncak gunung tersebut. Kaki-kaki mereka yang kuat juga berhasil membawa para penduduk ke tempat lebih tinggi, tetapi tidak dengan para suruhan ilegal yang hanyut tenggelam karena lebih memilih untuk melarikan diri dengan kapal. Tentu saja itu keputusan bodoh, sedangkal otak mereka yang hanya memikirkan duit dan duit.
Malam-malam pertama selepas tsunami dipenuhi kebimbangan. Tak ada ketakutan yang meliputi para penduduk pulau terpencil, bagi mereka amukan laut itu sudah biasa, walau tsunami ini tetap mengejutkan. Seperti ibu yang marah menggelegar sambil melempar vas bunga, ketika biasanya hanya mengomel dan menjewer saja.
Malam-malam selanjutnya, pulau digemparkan dengan temuan lain.
"Semua turun!" kata Ayah dan para nelayan lainnya, saat mereka tersengal-sengal berlari menuju kemah-kemah kami di gunung yang mati sambil membawa sisa-sisa harta benda.
"Dewa-dewi—" Ayah menarik dalam-dalam napas yang terbakar. "Dewa-dewi terdampar!"
⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕
Madison dan para penduduk yang masih muda buru-buru turun. Gadis itu bahkan nyaris terperosok saat menuruni bukit, beruntung Ayah merenggut lengannya dengan cepat.
"Hati-hati, Mady." Wajah Ayah yang pucat bersimbah peluh. "Kau harus bersama Ayah. Tugas kita untuk memastikan itu."
Madison mengangguk. Ayahnya memang bukan lagi kepala suku, tetapi pengetahuannya tentang dunia luar membuat Ayah menjadi salah satu tetua yang paling diandalkan dalam saat-saat seperti ini.
Bersama Madison, Ayah sebenarnya juga tidak percaya bahwa manusia-manusia berekor yang terbaring lemas di bibir pantai itu adalah dewa-dewi. Setelah berkelana di dunia luar dan mengenal keyakinan-keyakinan yang lebih agung dan hebat, mereka mulai berpikir bahwa dewa-dewi laut yang terlalu banyak jumlahnya itu tak lebih dari sekadar "alien"—anomali yang sebaiknya tidak dibicarakan kepada siapapun di luar pulau. Biarkan itu menjadi dewa-dewi penduduk yang takkan dipercaya orang luar.
Namun kini makhluk anomali itu terdampar di bibir pantai. Jumlahnya masih bisa dihitung jari. Kira-kira ada tiga lelaki—atau pejantan?—dan ada empat wanita. Sisik ikan menyelimuti pinggul dan pinggang mereka, merayap semu ke dada. Saat Madison dan yang lain melihat lebih dekat, tampak selaput di antara jari-jari mereka, dan rumput laut yang tersangkut pada kuku-kuku tebal nan tajam kehijauan.
Dari buku yang dihadiahkan Ayah, Madison tahu bahwa pejantan di bawah kakinya ini adalah seorang merman. Sisiknya hanya mencapai pusar, tetapi sekujur lengannya juga bersisik—tak seperti para mermaid. Potongan rambutnya kasar, seperti dipatahkan oleh batu tajam.
Namun bukan itu yang membuatnya takut untuk menyentuh sang merman. Sirip dorsal yang mencuat tajam dari tulang punggungnya membuat Madison gentar.
"Jangan khawatir, Mady." Ayah berjongkok di sisi punggung sang merman sambil mengagumi ekor panjang dengan sisik yang mengilap di bawah pancaran matahari pucat. Jarinya menunjuk Madison agar mendekati wajah si merman. "Kita harus membawanya."
"Kembali ke laut?"
"Ya, kita harus mencoba. Ini bukan wilayah mereka." Ayah mengangkat wajah dengan cemas, melihat ke arah para penduduk yang heboh sendiri.
"Dewa-dewi sekarat!" seru seseorang. "Kita harus pulangkan! Atau kita akan terkena kutukan lebih!"
Madison menelan ludah. Apapun alasannya, makhluk-makhluk ini memang tak semestinya berada di sini. Ia cemas melihat kulit sang merman yang mulai pecah-pecah. Saat gadis berambut kecoklatan itu mencondongkan tubuh, ia bisa mendengar napas sang merman memburu.
"Hei...." Madison menekan jarinya pada bahu merman dengan lembut. Ia terkejut menyadari betapa kasar dan kering kulitnya. "O—oh, tidak. Bertahanlah. Kamu harus kembali."
Madison berseru kepada ayahnya. "Kita harus bergegas!"
Ayah mengangguk. Sembari meminta tolong dua orang nelayan, mereka memanggul ekor sepanjang dua meter di bahu, sementara Ayah membopong pinggangnya. Madison, gadis di awal dua puluh yang sudah sepuluhan tahun membantu mengangkat keranjang-keranjang ke kapal ekspor, tidak terlalu kesulitan saat merangkul pundak sang merman untuk menyokongnya. Ia hanya agak kewalahan saat menghindar tusukan sirip yang tajam.
Mereka yang pertama kali membawa makhluk itu ke laut. Penduduk lain masih ketakutan untuk menyentuh dewa-dewi mereka, tetapi melihat Ayah dan Madison tidak gentar—dan tidak terkena bala—maka para penduduk pun mengikuti.
"Bertahanlah," bisik Madison saat merman itu bernapas makin pendek-pendek. Ujung siripnya sudah menyentuh laut, dan sang merman bereaksi. Tubuhnya mengejang ringan dan sisik-sisiknya seolah hidup. Madison sempat mengira kelopak mata sang merman hampir terbuka.
Napas makhluk itu meringan.
"Bagus, sedikit lagi," bisik Madison kepadanya. "Kau bisa merasakannya? Siripmu sudah mulai terendam ...."
Madison tidak lagi memerhatikan sang merman karena kondisinya yang membaik. Ia memerhatikan bagaimana nelayan terjauh kini perlahan-lahan mundur dan membiarkan sirip serta ujung ekor terendam di laut.
Perlahan-lahan ....
"Oh, hati-hati!" seruan Ayah terdengar saat dua nelayan di ujung tak sengaja menjatuhkan ekor sang merman—kira-kira bagian kaki. Sudah satu meter lebih yang dijatuhkan ke dasar pasir. Sekarang badan para manusia ini terendam kira-kira setinggi dada. Dua nelayan itu hampir berenang, berdiri dengan kaki berjinjit sementara empasan gelombang air membuat tubuh melayang ringan.
Belum ada tanda-tanda sirip sang merman bergerak. Ini agak mengkhawatirkan.
"Maju lagi!"
Sekarang Madison yang berjinjit, sementara Ayah dan kedua nelayan berenang dengan susah payah karena bobot tubuh sang merman yang tak kunjung bergerak. Apa dia masih pingsan? Padahal napasnya telah membaik. Ini aneh.
Air asin berulang kali terciprat ke wajah dan bibir, mata mengerjap perih, dan Madison harus berenang. Namun ia tak terbiasa berenang dengan membawa beban. Pada akhirnya ia berbisik, "Aku harus melepaskanmu."
Dan saat itulah, sang merman membuka mata. Matanya yang hijau pekat memandang lurus kepada Madison.
Segalanya terjadi begitu cepat. Tanpa memberi gadis itu kesempatan untuk berpikir, sang merman tahu-tahu melesat. Tangan Madison direnggut. Gadis itu terkesiap, napasnya terisi gelembung-gelembung air ketika ditarik tenggelam.
"Mady!" teriakan Ayah adalah hal terakhir yang didengarnya, sebelum digerus suara gemuruh laut yang dalam.
⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕
Prompt #11 :
"Hari ini kita cooling down dulu ya, sebelum kalian nangis darah sama tema selanjutnya."Buatlah cerita dengan setting pasca tsunami
Notes:
⁕ MANANYA YANG COOLING DOWN
⁕ Omong-omong kalau tulisanku monoton dan banyak repetisi, maaf ya~ ini memang live writing karena kejar-kejaran haha (setidaknya kita tahu draf pertamaku itu seperti apa)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro