Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

⁕ Putri Penari dan Dewa Hujan ⁕


Tiap-tiap kerajaan memiliki legendanya sendiri, tetapi sebuah kerajaan di masa Raja Keji belum punya sama sekali. Ini karena si raja sibuk menuruti nafsunya sendiri sampai-sampai dirumorkan bahwa legenda pertama kerajaan tersebut adalah tentang ketamakan penguasanya sendiri. Sungguh tidak indah.

Namun, segera akan ada legenda di kerajaan ini, dan kamu boleh turut serta menyaksikannya.

Ini bermula dari kekejaman berturut-turut Raja Keji yang membuat dewa-dewi enggan menganugerahkan karunia mereka. Satu per satu, para entitas agung itu mencabut kebaikan dari wilayah Raja Keji. Dewi Kesuburan membiarkan perkebunan layu dan ubi-ubi mengerut dalam tanah. Dewi Cinta malas mengirimkan bayi-bayi kedua dan ketiga pada tiap-tiap pasangan muda. Dewa Kekayaan pun membangkrutkan tiap pedagang yang berasal dari wilayah kerajaan itu, dan pada akhirnya, Dewa Hujan mengikuti langkah sang ibu Dewi Kesuburan untuk angkat kaki dari wilayah Raja Keji.

Kamu tentu tahu apa akibatnya. Gara-gara itu, Raja Keji pun mengorbankan satu-satunya putri yang ia miliki untuk langkah cepat.

"Lakukan ritual pemanggil hujan! Kita undur upacara naik tahtamu sampai kau berhasil membujuk Dewa Hujan. Orang-orang miskin itu tak mau mengikhlaskan penabalanmu jika tak ada yang bisa dipanen dari perkebunan mereka."

Kebahagiaan Putri Natessa sirna seketika. Padahal satu bulan lagi ia direncanakan naik tahta menjadi seorang ratu, menggantikan ayahnya yang kejam. Segala rencana telah ia rancang untuk memperbaiki kerajaan ini, tetapi perintah adalah perintah. Dengan berlinangan air mata, Putri Natessa harus menunda dulu mimpinya untuk mengangkat nasib kerajaannya.

Ia mesti menari, siang dan malam, untuk memikat hati Dewa Hujan yang beranjak paling terakhir dari wilayah itu. Sekiranya Dewa Hujan tidak berbalik punggung terlalu lama, kemungkinan tarian Putri Natessa bisa mencapainya.

Siang dan malam Putri Natessa menari. Ia hanya berhenti kala waktunya makan, berbasuh, dan jika dirinya hampir pingsan. Ia terus menari hingga ayahnya tewas mengenaskan oleh tikaman seorang pembunuh, dan pamannya yang tamak berganti merebut kursi tahta. Ia terus menari dan menolak lamaran setiap pangeran dan bangsawan. Dan ia terus menari, jika memang hanya itu yang bisa dilakukan untuk kerajaannya, sebab nasib Natessa telah terikat oleh perintah magis mendiang ayahnya.

Namun, hingga empat puluh tahun berlalu, dan di usianya yang hampir keenam puluh, Putri Natessa yang menua tidak kunjung mendapat jawaban.

Kakinya yang kapalan lebih keras daripada batu dan kerajaannya tinggal puing-puing dan gurun. Rakyatnya telah beralih menjadi penduduk kerajaan lain. Berkat sihir perintah ayahnya, Putri Natessa tidak bisa ditikam oleh siapapun, termasuk ratu kerajaan seberang yang datang mengambil alih dan merebut segalanya. Tarian Putri Natessa dan paviliunnya yang berlubang-lubang, serta air matanya tiap malam, adalah satu-satunya harapan yang ia punya.

Satu menit menjelang usianya yang genap enam puluh, sang putri menitikkan air mata lagi kala berdoa kepada Dewa Hujan. "Saya mulai merasa bahwa engkau bukan dewa lagi, melainkan hanya pemuda angkuh yang mengikuti kehendak ibunya selama puluhan tahun. Jika engkau tidak menjawab doa saya, maka saya akan mengubur diri bersama reruntuhan ini."

Di bawah langit malam yang nyaris tanpa cahaya bulan, dan berlatar pualam patah-patah, akhirnya muncul sebuah suara. "Kenapa kau masih menari untuk kerajaan yang mati?"

Putri Natessa, mengira suara pria itu tak lain adalah Dewa Hujan, merasa kelegaan bercampur kekecewaan membanjiri hatinya. "Karena saya berjanji akan memperbaiki kerajaan saya," katanya berusaha menahan isakan, "Walau penduduk saya tinggal jangkrik dan ular sekarang."

Tak ada jawaban selepas itu, tetapi rintik pertama hujan pun turun. Ketika rintik-rintik gerimis berubah menjadi hujan, lantas gemuruh bersahut-sahutan layaknya tangisan bayi yang dinanti-nantikan pasangan tua, barulah Putri Natessa berhenti menari. Ia ambruk dengan air mata membanjir, marah sekaligus bahagia bahwa hujan turun setelah empat puluhan tahun.

Dewa Hujan turun bersama kilatan petir yang membutakan mata. Kala Putri Natessa membuka mata lag dan mengerjap-kerjap, berdirilah seorang pria yang tampak begitu muda dan tua sekaligus, layaknya pria berusia tiga puluh yang bertahan selama tiga ratus tahun.

Dewa Hujan menatap Natessa dengan kalut. "Aku tidak mengerti apa kau dungu atau setia," katanya, "Kau selalu bisa meminta pertolongan penyihir lain untuk menggagalkan sihir ayahmu yang keji itu."

Putri Natessa menggeleng lemah. Rambutnya yang beruban lesu oleh hujan, dan keriput-keriput di wajahnya tampak lebih sendu. "Tujuan hidup saya bukanlah lari dari nasib. Saya terlahir sebagai calon ratu, bukan pengkhianat."

Kegetiran di nadanya membuat sang Dewa Hujan menghela napas. Ia berlutut di depan si putri renta dan menggenggam tangannya. "Barangkali hanya kau satu-satunya jiwa yang terlampau baik di dunia keji ini. Aku dan para dewa lainnya iba padamu, tetapi kami tak bisa ikut campur urusan manusia kecuali para penguasanya berkehendak. Karena itulah, aku menanti hingga tak ada lagi orang yang bisa mengganggumu, sehingga kau mutlak penguasa kerajaanmu sekarang."

Natessa tidak tahu apakah mesti kesal atau lega mendengarnya. Ada begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benak, tetapi ia tak tahu mesti mulai dari mana. Yang ia tahu, dewa-dewi itu juga seenaknya saja.

Natessa mengedarkan pandangan, pada hamparan wilayah kerajaannya yang bak gurun tersiram air bah. Derik ular tenggelam pada sahutan gemuruh. Tak ada suara kehidupan manusia selain dirinya.

"Sebagai ganti atas kesetiaan dan kegigihanmu, aku akan membawamu menemui Dewa Kehidupan," tambah Dewa Hujan. Sinar semangat berbinar-binar di matanya yang sebening air, seputih awan. "Akan kukembalikan empat puluh tahun usiamu agar kau kembali prima. Selama itu, kuberi kau kesempatan empat puluh tahun juga untuk membangun kembali kerajaanmu. Jika kau gagal, maka kerajaan ini akan sirna dengan kematianmu juga. Apa kau bersedia?"

Dewa Hujan mengulurkan tangan. Natessa tidak langsung menyambutnya, melainkan berpikir cepat. Hanya sekadar dikembalikan ke usia muda, lantas diberi waktu empat puluh tahun ... apakah itu bakal cukup?

Sekarang kau adalah penguasanya, dan kami tidak berhak ikut campur. Ucapan Dewa Hujan terngiang-ngiang lagi di benak Natessa, dan dengan dasar itulah, ia akhirnya menyambut uluran tangan sang dewa.

"Baiklah," katanya, "Dengan syarat, kau tidak boleh pergi dari sisi saya selama empat puluh tahun. Bukankah kalian memberi kontrak selama itu kepada saya? Maka, saya ingin mengajukan syarat saya sendiri."

Dewa Hujan mengangkat alis. Dengan seutas senyum samar, ia menggenggam tangan Putri Natessa. "Kuharap kau tidak membuatku menyesal, Natessa."

Kesepakatan itu, dan janji-janji setelahnya, membuat hati Natessa berbunga-bunga. Rasanya ini sudah cukup membuat sang putri renta kembali muda. Terbayang bahwa segala rencana untuk membangun kembali kerajaan yang benar-benar makmur dan bersih dari kekejian. Sesederhana itu, tetapi Natessa tersenyum lebar kala Dewa Hujan membawanya ke langit.

Setelah empat puluh tahun dan satu bulan, akhirnya sang putri mampu tertawa riang.


+ + +

Prompt: Buat cerita dengan tema, "Kebahagiaan yang tertunda".

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro