Pukul dua malam, ponselku berdering beberapa kali. Mulanya aku malas mengangkat. Kupikir itu alarm, tapi aku teringat tak pernah memasang alarm di ponsel. Maka dengan malas, aku meraba kasur dan mengambil ponselku.

Tertera nama seseorang di sana. Bangbang, bosku.

Ah, menyebalkan! Kenapa dia menelepon tengah malam begini, sih? Enggak tahu ini waktu orang beristirahat apa?

Dengan ogah-ogahan, aku pun mengangkat panggilan dari Bos.

"Nila," panggil suara di seberang sana.

"Ya, Bos?" Aku membalas sambil menguap ngantuk.

"Aku punya misi untukmu."

"Misi apa? Harus banget tengah malam begini, Bos?" tanyaku agak sewot.

"Harus, ini penting, darurat! Lab di markas pusat kebobolan oleh sekelompok orang bertopeng tak dikenal. Kau segera ke sana. Magen sudah bergerak duluan, menghadang mereka. Kami masih mencari tahu tujuan mereka. Kau, jangan biarkan mereka membobol lab lebih dalam lagi dan tangkap mereka."

Aku mengernyit. Lab markas pusat yang pertahanannya bagai langit ketujuh itu kebobolan? Yang benar saja!

"Lalu bagaimana dengan Dewangga? Kenapa dia tidak—"

"Kau mau tahu berita buruk? Dewangga ditemukan terbunuh di ruang kerjanya."

"Apa?!" Aku memekik, refleks menutup mulutku dengan telapak tangan.

Dewangga, peretas terbaik yang kami punya ... terbunuh?

"Nah, sekarang kau sudah tahu situasi sekarang, 'kan? Kalau begitu cepatlah."

Setelah berkata demikian, Bos memutus panggilan.

Aku mengacak rambutku frustrasi.

Ah, sial! Sial!
Bikin pusing saja! Baru juga aku mau tidur!

"Hhh!" Aku mendesah kasar, lalu segera mengganti pakaianku dan mengambil revolver di dalam laci untuk disampirkan di pinggangku

Keluar lewat pintu merepotkan, harus turun lewat tangga. Aku juga enggak mau membangunkan yang lain. Baiklah, tanpa berkata lagi, aku segera membuka kosen jendela kamar, lantas melompat setelah menutupnya kembali.

• • •

23 Juni 2021.