51 • Realitas [flash fic]
"Sayang, nanti malam kita main lagi, ya."
Yusa tak ingin mendengar itu. Ia ingin menggeleng, tapi tatapan lembut sekaligus intimidasi dari Hega seakan membuat Yusa harus menurutinya.
"Hmm." Yusa hanya menggumam. Ia baru selesai mengancingkan kemejanya. Sesekali melirik Hega yang tengah memakai dasi dengan pandangan terarah pada celana pendek hitam di atas lutut yang dipakai Yusa. Yusa memilih abai kendati ia tahu mata pria itu jelas-jelas menggerayang paha putih mulusnya.
"Iya, nanti kita main. Makasih untuk semalam, Pak." Yusa memelankan suaranya pada kata terakhir. Ia masih tidak nyaman memanggil Hega dengan embel-embel 'sayang'. Baginya, pria yang sudah tinggal bersamanya selama enam bulan terakhir hanya orang dewasa yang menyelamatkannya dari kehidupan jalanan di kota.
Hega berjalan melewati Yusa, mengabaikan perempuan itu yang melamun ke arah jendela.
"Uangnya aku taruh di nakas, walaupun semalam kamu nggak maksimal," pesan Hega dengan nada sinis. "Kamu boleh keluar hari ini. Aku berangkat."
Yusa tersadar. Cepat-cepat ia membalikkan badan. Hega sudah pergi. Pintu kamar ditutup, tetapi tidak dikunci seperti biasanya.
Baiklah, kali ini, ia bisa sedikit bebas.
Yusa mengambil gawai seharga delapan juta yang tergeletak di kasur. Ditatapnya gawai berwarna hitam dengan layar lebar itu sejenak. Kalau tak salah, gawai ini adalah pemberian Hega sebagai DP atas jasanya saat pertama kali mereka tinggal satu atap.
Jari Yusa yang hendak menggeser layar kunci terhenti kala pandangannya jatuh pada amplop cokelat di atas nakas.
Subuh tadi amplop itu belum ada. Ia pikir Hega akan marah karena semalam ia tidak bergairah sama sekali. Sekarang? Hega bahkan memperbolehkannya ke luar rumah. Terlebih, amplop cokelat itu terlihat tebal. Ah, sungguh! Yusa tak mengerti jalan pikiran pria itu.
Yusa menyalakan gawainya. Ada dua panggilan masuk dan lima pesan dari Kirana. Semuanya berisi ajakan untuk bertemu di kafe tempat biasa mereka bertemu. Yusa menimang sejenak, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau di kontak Kirana.
"Halo, Ran. Ya, aku ke sana."
***
"Jadi, kamu masih sama Hega?"
Yusa mengangguk singkat sambil menyesap espreso dingin yang baru disajikan. Sementara di hadapannya, seorang wanita yang terlihat awet muda walau umurnya sudah kepala tiga tak hentinya menatap Yusa.
"Akhir-akhir ini kamu jarang kelihatan. Kuajak bertemu juga selalu nolak. Hega melarangmu?" Kirana bertanya lagi.
Yusa bingung ingin menjawab apa. Memang Hega melarangnya untuk keluar rumah akhir-akhir ini. Ia juga jarang membuka gawai.
Kirana mendesah tak mendapat jawaban dari Yusa. "Sampai kapan kamu mau begini, Sa?"
Yusa berhenti menyesap espresonya. Pertanyaan Kirana itu membuat Yusa tertohok.
"... entahlah, Ran." Yusa menggeleng lemah.
"Kamu masih sembilan belas tahun, masih muda, Sa! Tinggalkan Hega. Masih banyak yang bisa kamu lakukan di usiamu."
Lagi-lagi Yusa menggeleng. "Nggak, Ran. Kalau nggak ada Hega, aku mau tinggal di mana? Dapat uang dari mana? Aku nggak mau terluntang-lantung di jalanan lagi, Ran." Genggaman pada batang cangkir espreso semakin erat. "Lagi pula ... kan kamu yang mempertemukan aku dengannya."
Kata-kata Yusa sukses membuat Kirana bungkam beberapa saat.
"Oke," Kirana mengembuskan napas panjang, "aku sangat menyesal untuk itu, Sa. Sumpah, aku nggak tahu kalau dia bakal membuatmu begini."
"Sebelumnya aku sudah begini, Ran." Yusa mendengkus. "Sebelum aku ke kota, aku memang sudah hancur. Dan di sini, aku nggak punya pilihan. Aku nggak kenal siapa pun, kecuali kamu dan Hega. Kalian penyelamatanku. Tapi, aku nggak bisa melakukan apa pun, selain dengan cara ini untuk bertahan hidup. Aku ini perempuan payah, Ran," kata Yusa diakhiri kekehan.
Kirana menunduk sembari memilin-milin ujung rambutnya yang bergelombang dan dicat merah.
"Kamu bisa tinggalkan Hega, lalu bekerja. Kalau mau, kamu bisa tinggal di apartemenku untuk sementara. Apa kamu nggak mau memperbaiki hidupmu, Sa?" Kirana tersenyum sedih.
Yusa membisu. Diam-diam ia terenyuh. Tentu, Yusa mau, sangat mau! Teringin ia memperbaiki hidup dan menikmati masa mudanya seperti remaja lain. Namun, ia sudah telanjur masuk ke dalam realita kehidupan kota.
Yusa mencoba tersenyum. "Aku ingin, Ran. Tapi, Hega nggak akan membiarkanku lepas." Lagi pula aku cuma orang yang arah hidupnya nggak jelas ke mana.
• • •
29 April 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro