14 • Love and Lies [side story]
Day 14
Jenis tulisan: side story cerpen Love and Lies
• • •
"Deza."
Suara halus nan lembut yang kerap kali kudengar membelai indra pendengaranku. Walaupun kepalaku rasanya berat sekali untuk bergerak, aku tetap mencoba menoleh ke asal suara barang sedikit.
Di depan pintu ruangan yang terbuka sebagian, Sherin tengah berdiri sembari melongokkan kepalanya sedikit. Tangan kanannya memegang kenop pintu, sedangkan tangan kiri menjinjing sebuah kantong kresek berwarna putih yang cukup besar. Sepertinya isinya makanan dan camilan.
"Masuk saja," balasku pelan disertai senyum tipis.
Tanpa menunggu lama, Sherin segera masuk. Tak lupa menutup pintu ruangan kembali. Ia meletakkan kantong kresek di atas nakas, kemudian menghampiriku yang terkulai lemas di ranjang rumah sakit.
"Za, gimana keadaanmu? Masih sesak napas?" tanya Sherin. Raut khawatir tak luput dari wajah cantiknya yang terlihat lesu.
"Iya, tapi udah membaik kok. Kamu nggak usah khawatir." Bohong. Kata Dokter, keadaanku makin parah.
"Benar?"
"Iya, benaran." Tidak, aku cuma tidak ingin kamu khawatir.
Gadis yang sudah menjadi sahabatku selama kurang lebih enam tahun itu bergeming sejenak, sementara aku memohon-mohon dalam hati agar Sherin tidak terlalu mempedulikannya.
Syukurlah harapanku terkabul. Sherin hanya mengangguk dan mengedikkan bahu tak acuh lantas mengambil kantong kresek yang dibawanya. Sekalian menyeret bangku yang ada di dekat televisi ke samping kanan ranjangku untuk duduk.
"Tadi aku beli banyak camilan."
Sherin membuka kantong kresek putih. Tangannya merogoh kresek dan memilah camilan apa yang akan diambilnya. Sekarang, masing-masing tangan Sherin menggenggam camilan.
Aku baru mengenali salah satu camilan itu setelah mencoba menyipitkan mata dan mendapati merek logo camilan kesukaanku yang tertera di kemasan.
Itu cokelat biskuit favoritku dan Sherin. Sudah lama aku tidak memakannya.
"Kamu mau, Za?" Sherin menyodorkan satu tangannya yang ternyata menggenggam sebatang cokelat kepadaku. "Kemarin pas Valentine, ada diskon di supermarket. Aku iseng ke sana, sekalian beli ini buat kamu. Maaf ya, baru sempat ngasih sekarang."
Aku menatap sebatang cokelat yang ada di tangan Sherin. Seharusnya, cokelat itu akan terasa enak seperti cokelat pada umumnya. Ditambah lagi, Sherin yang memberikannya. Tapi sekarang, buatku makanan dan minuman apa pun tidak ada rasanya. Semuanya hambar.
"A-ah, kamu nggak suka, ya. Maaf—"
"Nggak, aku suka kok. Makasih banyak, Rin," serobotku cepat, lalu mengambil sebatang cokelat itu dari tangan Sherin.
Aku tidak ingin menyakiti hati Sherin. Cokelat dari seseorang yang kucintai ... ini berharga. Aku akan memakannya nanti biarpun tidak ada rasanya.
Lalu, biskuit cokelat itu ....
Tiba-tiba aku mendengar suara tawa dari sampingku. Ternyata Sherin sedang tergelak. Apa yang dia tertawakan?
"Kamu lucu, Za. Pengin banget ya sama biskuit ini?" tanyanya sambil mengangkat biskuit cokelat di tangannya.
Aku hanya tersenyum malu. Benar, aku ingin. Lebih-lebih memakannya bersamamu, Rin. Ah, jadi teringat masa kecil kita, kan.
"Ketahuan banget, ya?" Aku menyunggingkan senyum tipis.
Sherin terkekeh. "Iya. Btw, sama-sama. Mau makan biskuitnya sekarang?"
Aku mengangguk pelan. Sherin membuka kemasan biskuit yang berwarna merah. Ditariknya plastik yang menjadi wadah biskuit, kemudian meletakkannya di atas nakas.
"Ini." Dia menyodorkan biskuit itu ke arahku. "Sudah lama kita nggak makan ini. Kenapa dari dulu aku nggak kepikiran beli, ya?"
Aku tertawa kecil, lalu mengambil biskuit cokelat berbentuk bulat itu dari wadah dan memakannya. Ada sedikit rasa manis. Bukan biskuitnya, tapi wajah Sherin yang sedang mengunyah biskuit cokelat. Biskuit yang semula tidak ada rasanya pun, akan terasa manis bila dimakan bersamamu.
"Biskuitnya enak dan manis, ya. Aku sudah lupa rasanya gara-gara sudah lama nggak makan," komentar Sherin dengan mulut menggumpal yang penuh biskuit.
"Iya ... manis." Semanis dirimu.
Sambil mengunyah biskuit, aku memandangi wajah Sherin. "Aku senang banget, Rin."
Sherin berhenti mengunyah. Satu alisnya terangkat. "Kenapa?"
"Karena masih bisa makan biskuit favorit kita bareng kamu," jawabku dengan senyum lebar.
Ya, kebahagiaanku begitu sederhana. Walaupun rasa biskuit ini sudah tidak ada, tapi rasa cintaku padamu akan selalu ada. Kamu lebih dari sekadar sahabat yang selalu ada untukku, Rin. Andai kamu tahu itu.
"Oh, sama!" seru Sherin. "Makanya, kamu cepat sembuh, Za. Biar kita bisa makan biskuit cokelat bareng lagi."
Senyum lebarku hilang. Berganti senyum palsu untuk menyembunyikan rasa sakit di dada.
"Iya," balasku singkat.
"Janji?"
Sherin menyodorkan jari kelingkingnya. Aku menatap jari mungil nan lentik itu sejenak. Lalu, dengan ragu menautkan jari kelingkingku di jarinya.
"Janji," sumpahku dengan nada pelan.
Dengan ini, sudah berapa kali aku beriming-iming janji kepadamu, Rin?
• • •
Ini ... bisa dibilang spin-off dari cerpen Love and Lies di C3T.
Kemarin bikin lanjutan PP, sekarang C3T. Entah kesambet apa diriku.
25 Februari 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro